webnovel

Love My Enemy

Segala sesuatu yang dimiliki di Dunia ini. Harta, tahta, dan sederet wanita. Tak membuat Jace Montana merasa dimiliki. Dia tetap saja terasing dalam gelapnya malam menyeretnya merasakan kesunyian, kehampaan, dan kesendirian. Apa tidak ada yang mencintainya? Tentu saja ada, tapi yang dicintai hanyalah yang melekat kuat dalam dirinya. Lalu tanpa itu semua apalah arti seorang Jace Montana? Sebab itulah Jace berfikir bahwa semua wanita itu sama, hanya tunduk pada sesuatu yang silau. Nyatanya, anggapannya itu salah besar. Emily DC.Hitson, seorang perancang busana terkenal asal Florida, yang tak lain adalah wanita misterius yang Jace cari-cari selama ini. Menyusup masuk ke kehidupannya dengan motif balas dendam, menyamar sebagai sekretarisnya, Lucia. Bagi Jace, Emily adalah secercah cahaya. Namun bagi Emily, sebaliknya. Jace adalah awal kehancuran. Perbedaan visi misi menjadikan seorang Jace Montana harus bekerja extra keras demi meluluhkan hati Emily yang dikelilingi banyaknya duri. "Tidak peduli seberapa banyak duri yang kau tancapkan. Aku akan tetap berada di sisimu karena aku Malaikat pelindungmu." - JACE MONTANA - Babak baru kehidupan Emily di mulai. Ia bukan lagi gadis lemah lembut melainkan berperangai dingin, misterius dan nyaris tak tersentuh. Itulah cara Emily menyembunyikan duri pesakitan berselimut dendam atas kehilangan anggota keluarga. "Tidak sekarang, nanti, atau di masa depan. Kehidupanmu ada dalam genggamanku. Karena kau adalah pionku yang akan kulemparkan ke tempat paling mengerikan." - EMILY DC.HITSON - Di saat kenyataan baru tentang penyebab kematian anggota keluarganya terungkap. Di saat itulah daun-daun berguguran diiringi rintih kesakitan. Pelepasan nyawa menepi, siap berlabuh pada Dunia baru. Tetapi, Tuhan memberi kesempatan. Kembalinya Jace Montana merenggut hidup Emily, melemparkannya ke dalam kegelapan berselimut racun mematikan. Penasaran dengan akhir dari kisah mereka? Temukan jawabanya hanya di -LOVE MY ENEMY-

Yezta_Aurora · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Chain Miami

Dentuman musik terdengar memekak telinga. Jace harus setengah berteriak agar suaranya terdengar.

Saat ini ia sedang berada di lantai dansa. Tubuhnya meliuk mengikuti irama di temani seorang wanita, tentunya bukan Lilia.

Dia muak. Para wanita di lantai dansa mengerubunginya seolah dia ini gulali.

"Membosankan." Lalu melingkarkan tangannya ke pinggang sang wanita menuju ruangan VVIP. Namun, seseorang menghentikannya. Jace memutar tubuh dan tersenyum. "Hai, Daniel."

"Di mana Lilia?" Daniel bertanya tanpa tersenyum.

"Selalu Lilia, Lilia, dan Lilia. Dengarkan aku Daniel. Aku bosan dengannya dan sekarang ini aku sedang bersama sayangku." Mencium bibir sang wanita.

"Baby, lelaki ini siapa?" Tanya sang wanita.

Melirik Daniel. "Dia pengganggu." Mengecup kembali bibir sang wanita lalu merengkuh pinggangnya "Ayo, darling. Kita pergi dari sini."

--

Daniel mencari keberadaan Lilia. Di mulai dari lantai dansa, tapi Lilia tidak dia temukan di dalam club ini.

"Apa Lilia tidak ikut?" Memutar bola matanya. "Itu artinya dia masih di hotel?"

Daniel bergegas menyusul Lilia ke hotel.

Setelah beberapa saat, dia sudah sampai di hotel, di depan kamar Lilia.

Sudah lebih dari 5 menit, Daniel berdiri di depan kamar Lilia, tapi tidak ada tanda-tanda pintu terbuka.

"Lilia, kenapa ponselmu tidak aktif?" Mengusap kasar rambutnya. "Kau di mana?"

Daniel mulai kebingungan mencari Lilia.

Petugas hotel memberi informasi bahwa Lilia pergi sendirian, tidak ditemani Jace.

"Pasti ada yang tidak beres antara kau dan Jace. Karena Jace tidak pernah membiarkanmu menjauh sejengkal pun darinya."

--

Lilia sedang berada di Chain Miami, club yang sama dengan Jace. Hanya saja ia terpisah dari Jace karena memang mereka tidak berangkat bersama. Bahkan keduanya tidak tahu kalau ada di tempat yang sama. Masing – masing saling melepaskan diri dari penatnya pikiran yang mulai membelenggu.

Apakah Jace akan marah seandainya dia tahu Lilia meninggalkan hotel? Tentu saja. Bahkan Jace akan sangat murka. Dia paling tidak suka miliknya di lirik lelaki lain. Jika itu sampai terjadi, tanggung sendiri akibatnya.

Lilia pun tahu mengenai konsekuensinya, tapi ia sudah muak. Sangat muak dengan sikap Jace yang secara terang-terangan mengagumi gadis lain.

"Aku tidak mau lagi tunduk pada perintahmu, Jace Montana." Geramnya dengan kedua tangan mengepal erat lalu duduk di kursi depan bar. "Bukakan aku satu botol-" melirik deretan minuman bermerk mahal dari berbagai belahan Dunia. "Ehm, minuman terbaik apa yang kau punya?"

Lelaki yang bertugas di bar tak langsung menjawab. Tatapannya mendamba pada tubuh molek Lilia.

Suka di tatap penuh minat. Lilia menyibak rambutnya ke belakang memperlihatkan leher putih mulus juga kedua lengannya yang ramping.

Mode dress ini tertutup pada bagian bawah leher, di tengahnya terdapat potongan oval bertabur berlian pada pinggirannya. Dress ini menekankan kemewahan dan keanggunan.

Di suguhkan pada penampilan Lilia. Lelaki tersebut tidak sadar sudah berapa banyak air liur menetes.

"Aku memintamu menyiapkan minuman, bukan mengagumi kecantikanku."

"Nyatanya Anda sangat cantik, Miss Hitson." Meraih jemari Lilia mengarahkannya ke bibirnya. Ketika hendak menciumnya. Lilia menarik kasar tangannya. "Kau sangat murah." Tatapannya mengejek. "Dan aku tidak suka pria murahan." Ungkapnya secara terang-terangan.

Lelaki tersebut menggeram kesal.

Masa bodoh dengan wajah kesal lelaki tersebut. Lilia memainkan ujung rambutnya. "Siapkan aku minuman terbaik yang kau punya."

"Di sini ada beberapa koleksi minuman terbaik. Anda mau yang ma-"

"Yang mana saja yang penting enak." Potong Lilia.

Minuman terbaik yang di miliki club ini telah di hidangkan di hadapan Lilia, pasion azteca platinum liquor.

Matanya melotot bahkan nyaris jatuh ke lantai. "Oh My God, tequila ley ini kan mahal. Harganya mencapai ratusan juta. Jace bisa marah, tiba-tiba tagihan kartu kreditnya membengkak."

"Miss, apakah Anda berubah pikiran?" Mengurungkan niatnya membuka botol pasion azteca platinum liquor.

"Hidangkan untukku." Masa bodoh dengan tagihan kartu kredit. Dia sudah memberikan kartu kreditnya padaku. Artinya aku bisa menggunakan sepuasku. Lanjutnya dalam hati.

"Hai, Miss Hitson." Sapa seseorang dari arah belakang.

Lilia menolehkan wajahnya. Seorang lelaki tampan sedang tersenyum padanya.

Mata Lilia berbicara. Apakah kita saling kenal?

Paham dengan yang di pikirkan Lilia. Lelaki tersebut menjelaskan. "Sebelumnya, kita tidak saling kenal, tapi sekarang-"

"Dari mana kau tahu nama ku?" Tanya Lilia tak bersahabat.

"Siapa yang tidak mengenalmu sebagai teman kencan Mr. Montana. Seluruh Dunia mengenalmu."

Garis bibir menyungging senyum masam. "Kalau kau tahu bahwa aku teman kencan Mr. Montana, lalu untuk apa kau di sini? Enyahlah dari hadapanku sebelum Jace melenyapkan mu."

"Itu tidak mungkin terjadi."

"Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Jace, tidak suka berbagi. Jace, tidak suka wanitanya di lirik pria lain."

"Aku tidak sedang melirikmu, tapi melihatmu."

Aku di sini untuk memenangkan diri, tapi lelaki ini ...

"Shittt, apa maumu, hah?" Geram Lilia.

"Menemanimu minum."

Menajamkan tatapannya. "Dengarkan aku. Lebih baik kau pergi sebelum nyawamu melayang."

"Yang baru saja kaukatakan terdengar naif." Menyungging senyum miring lalu menoleh ke belakang. "Lihatlah ke sebelah sana." Dagunya menunjuk pada sofa paling ujung. "Mr. Montana, sedang bercumbu dengan wanita lain."

Wajah Lilia merah padam menahan amarah.

Dan lelaki tersebut senang melihatnya. "Kalau dia saja bisa bersenang - senang dengan banyak wanita. Kenapa kau tidak?"

Lilia tersentak, terlebih tidak suka dengan yang lelaki itu ucapkan. Itu terdengar seperti sebuah penghinaan.

Bibirnya mengetat, tangannya mengepal sampai-sampai terasa sakit karena hampir tertancap kuku sendiri. "Kau tidak ada bedanya dengan Jace. Tidak bisa menghargai wanita." Desisnya.

"Tidak perlu tersinggung dengan ucapanku." Lalu tatapan lelaki itu mengikuti arah pandang Lilia yang terpaku pada Jace yang sedang mencium teman kencannya. "Apa kau tidak cemburu melihatnya?"

"Tidak."

Di depan lelaki asing ini Lilia harus terlihat mahal meskipun hatinya meronta-ronta.

Sekali lagi, melemparkan lirikan pada sejoli yang sedang bercumbu. Ingin mengamuk saja rasanya. Menjambak rambut wanita itu lalu menyeretnya keluar club. Tapi untuk apa? "Aku sudah berjanji tidak lagi tunduk pada perintahnya. Itu artinya hubunganku dan dia berakhir." Gumamnya.

"Berarti kau tidak mencintainya, kan? Kalau begitu tidak ada salahnya kalau kita berkenalan. Perkenalkan, aku Michael Qisling, dan kau cukup memanggilku Mike saja." Mengulurkan tangan, akan tetapi di abaikan begitu saja.

Lilia sama sekali tidak tertarik pada lelaki tampan di depannya. Dan sikap jual mahal Lilia inilah yang membuat Michael sangat penasaran.

"Berkencanlah denganku, Miss Hitson."

"Apa yang bisa kau beri untuk teman kencanmu?"

Michael tersenyum senang. "Kemewahan."

Menoleh pada Michael. "Aku saja tidak tahu seberapa besar kekayaanmu. Bagaimana aku bisa yakin kau bisa memanjakanku dengan kemewahan?"

Membuka layar ponsel lalu menunjukkan foto gedung menjulang tinggi. Di bagian atas gedung tertulis Qisling Company yang di tulis besar-besar.

Garis bibir membentuk senyum licik. Dasar laki-laki bodoh. Tentu saja aku tahu bahwa kau pemilik dari Qisling Company. Aku hanya mengetesmu saja dan sepertinya kau sangat mudah di bodohi.

"Apakah perusahaanmu ini sebesar perusahaan Jace?"

"Tidak sebesar perusahaan Mr. Montana, tapi aku bisa memanjakanmu sama seperti dia memanjakanmu. Dan tidak ada wanita lain di kencan kita." Bisik Michael. Jarak yang sangat dekat membuat Lilia dapat merasakan deru nafas hangat menggelitik sepanjang kulit tengkuk.

"Tawaran yang cukup menggiurkan, tapi sayang sekali aku tidak tertarik berkencan dengan pria mana pun selain Jace." Ungkap Lilia secara terang-terangan.

Ayo, Mike, buat tawaran lebih besar lagi. Contohnya, langsung belikan aku barang-barang branded atau transfer ratusan juta ke rekeningku. Dengan begitu aku akan memikirkannya.

Seolah bisa membaca apa saja yang bersarang dalam otak cantik Lilia. Michael menyodorkan kartu atm. "Saldo di kartu ini milyaran dan-" menjeda kalimat. Tatapannya mengunci pada Lilia. "Berkencanlah denganku dan kartu ini menjadi milikmu." Menyelipkan kartu nama di bawah gelas Lilia. "Hubungi aku jika kau sudah siap. Sopirku yang akan menjemputmu."

Sebelum Lilia membuat keputusan. Michael sudah pergi.

Senyum penuh arti menghiasi bibir seksi Lilia ketika membaca kembali kartu nama Michael. "Tampan, kaya. Ehm, boleh juga."