Malam ini Mika benar-benar membuatku bahagia, dia berusaha membuatku tertawa dengan kata-kata yang dilontarkannya. Meski aku belum menjawab pertanyaannya permintaannya yang memintaku jadi kekasihnya tapi Mika tak mempermasalahkannya. selesai makan mereka berjalan-jalan di taman kota
Kami duduk di bangku taman menikmati suasana malam yang romantis meski suasana taman cukup ramai karena banyak orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Aku dan Mika bercerita tentang banyak hal termasuk pekerjaan dengan bersemangat Mika bercerita bagaimana jatuh bangunnya dia dalam membangun perusahaannya mulai dari nol hingga sebesar sekarang.
Aku mendengarnya dengan seksama sembari membayangkan perjuangan dia bagaimana dia membesarkan perusahaannya dengan lembur selama berhari-hari dan tidak tidur, bagaimana dia sampai bertengkar dan ditinggalkan beberapa temannya ketika dia memperjuangkan perusahaan ini tetap menjadi miliknya karena mereka ingin menjualnya dan bergabung dengan perusahaan besar. Bagaimana dia dan teman-temannya yang masih setia berusaha bersaing dengan perusahaan besar untuk mendapat investor pada produk keamanan yang mereka ciptakan.
Mendengar ceritanya, aku menjadi kagum padanya, aku mulai paham kenapa sikapnya sangat menyebalkan dan tak mudah percaya pada orang karena dulu ternyata justru orang terdekatnyalah yang mencuri hasil karya yang mereka kerjakan selama berbulan-bulan untuk dijual di sebuah perusahaan besar yang mengimingi-imingi mereka bayaran besar, agar hak paten produk tersebut menjadi milik perusahaan besar bernama The Tech itu.
Saat ini posisi Starlight bisa dikatakan sejajar dengan The Tech, kalau saja waktu itu Mika mau menjual perusahaan yang baru dirintisnya maka saat ini tak ada starlight. Sebuah perusahaan kecil yang dimulainya saat dia masih kuliah kini telah menjadi salah satu perusahaan dibidang teknologi yang sangat diperhitungkan.
"Jangan memandangku kagum begitu!" kata Mika sambil tertawa geli, tangannya mencolek hidungku membuatku refkeks memukul lengannya.
"Aduh, ternyata kamu galak juga, Cha. Bisa bonyok nanti kalau aku kalau pacar kamu," Mika terkekeh menatapku.
"Makanya jangan sentuh-sentuh!" gerutuku sambil menahan tawa melihat tingkahnya yang dilebih-lebihkan.
"Tapi kalau nyentuhnya begini, kamu marah gak ya?"
Belum sempat aku paham maksudnya, bibir Mika telah menempel di bibirku, membuka kaget dan berdebar sangat kencang. Untuk sesaat aku terdiam tapi detik berikutnya aku mendorongnya karena panik. Aku makin panik saat Mika jatuh dari kursi karena dia tak menyangka reaksi yang aku berikan.
"Oh, maaf."
"Kamu bener-bener, Cha!" Mika nyengir sambil bangkit dari jatuhnya.
"Maaf," kataku sekali lagi dengan perasaan bersalah, aku juga takut dia akan marah padaku dan melakukan hal yang lebih jauh lagi.
Mika malah tertawa menatapku.
"Kamu belum pernah berciuman, ya?"
Aku hanya diam, pipiku pasti sangat merah, untungnya lampu taman yang temaram menyembunyikan warna pipiku.
"Itu artinya, aku yang pertama bagimu," Mika menahan diri untuk menjawil pipiku yang memerah.
Aku tak menanggapi ucapannya.
"Dan aku ingin hanya aku yang akan menyentuhmu, selamanya,"
Mika tersenyum lebar membuat aku salah tingkah, jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini mendengar apa yang Mika ucapkan. Sudah pasti jantungku hampir meledak mendengarnya. Seorang Mika yang sangat menyebalkan mampu mengucapkan hal yang membuat perempuan siapapun akan meleleh.
"Temanku ada yang bekerja di di Starlight, dia bilang kamu menyebalkan," kataku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan perasaan berdebar, dia marah ya aku bilang menyebalkan? Tapi memang kenyataannya sebagai bosku sangat menyebalkan, sangat berbeda dengan laki-laki yang saat ini ada di sampingku.
"Oh ya, siapa?"
"Dia hanya staf biasa kamu tidak mungkin tahu siapa dia,"
"Hmm," Mika menyeringai.
"Dia pernah cerita kalau kamu adalah atasan yang sulit karena kamu nggak pernah puas dengan kinerja asisten kamu. Temanku cerita katanya asisten kamu enggak ada yang bertahan sampai satu bulan kalau bukan kamu yang mau memecatnya maka mereka yang mengundurkan diri," aku berkata dengan hati berdebar dan juga takut dia akan marah tapi juga lega karena aku bisa bertanya apa yang membuatku penasaran selama ini.
Mika kembali menyeringai.
"Itu karena mereka tidak bisa mengikuti ritme kerja aku dan mereka tidak tahu apa yang aku inginkan, lagipula tidak suka kalau ada yang berusaha menggoda aku!" wajahnya yang dari tadi tersenyum berubah menjadi datar.
"Adakah asisten kamu yang mampu bertahan lebih dari satu bulan dan alasan kamu tidak memecatnya?" aku makin bedebar saat menyakan hal ini, terus terang aku penasaran kenapa dia masih mempertahan aku sebagai asistennya.
"Asisten yang sekarang, dia sudah lebih dari satu bulan menjadi asistenku. Dia beda dengan asisten yang lain. Dia cakap dan mau belajar dengan cepat, dia bisa mengetahui apa yang aku inginkan ketika aku memberinya pekerjaan."
Aku merasa senang dengan ucapannya yang dia memuji kinerja aku tapi aku berusaha menyembunyikan ekspresiku.
"Dia cantik, ya?" godaku sambil tertawa kecil untuk menutupi kegembiraanku. Tiba-tiba aku ingin tahu pendapat Mika saat melihatku sebagai Nat.
"Kenapa? Cemburu ya?" tangan Mika terulur di udara dan diturunkannya lagi, mungkin dia merasa gemas dan ingin menyentuh sesuatu di wajahku membuatku tak bisa menahan tawa.
"Aku apanya kamu sampai aku harus cemburu?" aku mengerucutkan bibirku.
"Kekasihku," jawabnya santai.
"Uh, aku kan belum menjawab mau apa tidak." protesku
"Kamu memang belum menjawab tapi aku yakin kamu akan menerimanya." Mika kembali tertawa.
"Dasar narsis!"
"Oke, mengenai asistenku dia sebenarnya gak banget sih dari segi penampilan. Kalau gak ingat bagaimana kerja dia yang sangat efektif, mungkin aku sudah memecatnya. Penampilan dia bikin sakit mata karena dia seperti badut dengan make upnya yang sangat tebal dan fashion dia yang sangat buruk. Untungnya dia tak berusaha menggodaku," Mika tertawa
Deg! Aku menatap Mika dengan berbagai perasaan tapi aku sadar penampilanku di kantor emang culun banget, aku memang sengaja berpenampilan seperti itu untuk tidak menarik perhatian tapi mendengar opini Mika yang nota bene seorang laki-laki membuatku merasa buruk.
"Sudahlah, kita gak usah membahas ini, merusak suasana saja," desis Mika sambil tertawa.
Aku tertawa garing.
"Ayo, kita pulang, sudah malam." katanya kemudian.
Aku melihat jam tanganku dan melihat angka yang tertera di sana menunjukkan angka sembilan lebih dua puluh lima menit. Belum terlalu malam sebenarnya tapi aku mengangguk dan mengikutinya berdiri. Kami berjalan menuju tempat di mana mobil Mika di parkir.
Kami berjalan tanpa banyak bicara, aku membiarkan Mika menggandeng tanganku saat tangannya meraih tanganku setelah kami berjalan beberapa meter. Kami saling bertatap sebentar sebelum kembali berjalan dalam diam. Aku menikmati bunyi jantungku yang berdetak semakin kencang dan berusaha mengatur nafasku untuk mengatasi kegugupanku.
Sampai di mobil Mika diparkir, Mika segera membukakan pintu untukku kemudian menutupnya setelah aku duduk di kursi penumpang. Mika segera berputar melalui depan mobil dan duduk di sebelahku. Kami saling bertatap cukup lama sebelum Mika menjalankan mobilnya. Kami tak banyak bicara selama dalam perjalanan pulang ke apartemen Rani.
Setengah jam kemudian kami sampai di depan apartemen, aku membuka pintu mobil dan menoleh kepada Mika.
"Terima kasih untuk makan malamnya," kataku sambil tersenyum dan melepas sabuk pengamanku dan menginjakkan kakiku di lantai.
Mika menatapku tersenyum, tanpa mengatakan apapun dia turun dari mobil dan mengikutiku. Kami berdiri di sisi mobil Mika.
"Selamat malam," kataku canggung, aku melangkah meninggalkan Mika yang masih berdiri menatapku.
"Cha," Aku menoleh.
Langkahku tertahan karena tanganku digenggam digenggam oleh Mika dan detik berikutnya dia menarikku ke dalam pelukannya dan menempelkan bibirnya di bibirku.
***
AlanyLove