webnovel

Secangkir kopi

• Semanisnya gula di dalam kopi tidak akan bisa mengalahkan rasa pahit di dalamnya •

 

Secarik rindu sang pecandu

Hilir mudik di kala senja

Sunyi penuh sakit

di antara ribuan bintang

 

Menari jemari diantara duri

menabuh gendang biar gaduh

dan semakin gaduh

Gugusan bintang pada malam

 

Bertahan sendiri disini

merinduku pun jua sendiri

Adakah sudi

cahaya menikam jantungku?

 

Di waktu ini aku menghirup aroma asap robusta tanpa gula. Seperti katamu kemarin semakin pahit kopi semakin pula tahu akan arti hidup sesungguhnya. Kopi tidak akan berkhianat denganmu walau bubuk kopi menyatu dengan setumpuk sendok gula. Kau masih suka saja membelai rambutku, mencium dahiku. Apakah ada aroma kopi tertinggal di belahan rambutku?

'Apakah kau juga merindukanku?'

Kuminum seteguk robusta mengalir ke kerongkonganku. Pekat sekali, lebih kuat dari arabika yang sering ku minum kala dulu bersamamu. Sepertinya benar rasa pahitnya bagai laksana petir kehidupan yang pahit tapi masih bisa untuk dinikmati.

'Bagaimana caranya kau bisa tetap menikmatinya kekasihku?'

Sekarang aku sudah mengeluh betapa pahitnya si kopi tapi kau masih saja tertawa dan tertawa saja. Sempat aku heran dengan semua ekspresi dirimu sayang. Adakah kupu-kupu masuk di rongga perutmu?

Aku menyerah!

Sekali lagi aku terus mengecap rasa ini, kau selalu berusaha terus mencekokiku dengan filosofimu bagai semangat yang membara sehingga rasa tagih ini muncul lagi dan lagi memenuhi jiwaku yang sudah kosong. Haruskah ku bilang sisa kopi tersisa setengah cangkir lagi?

Ku ingin berteriak kepadamu yang masih ganas menyeruput sisa kopiku tanpa perasaan menyesal sama sekali. Oh Tuhan aku ingin sekali menjitaknya sebagai umpan balik karena tindakan super nakalnya. Aku tertawa terbahak-bahak sebagai cowok yang naif.

'Apa kau sedang merayuku?' Aku tidak akan tergoda kali ini titik enggak pakai koma sayang. Kau selalu berusaha merayu dan terus merayu tanpa ampun.

'Ternyata kopi ini sekarang jauh lebih enak dari sebelumnya, ada rasa bibirmu yang tertinggal.' Begitulah kata hipnotismu. Apa sekarang kau pemuja Dewa sembilan belas?

Pria gombal sepertimu sepertinya pantas di hajar sekali pakai cinta. Kau seperti pujangga cinta yang merobek seluruh jantungku sayang.

'Awas ya aku akan menggelitik kupingmu. Aku tahu letak sensitifmu hingga nanti kau akan minta ampun padaku.'

Aku tertawa...

Kemudian terdengar suara benda lagi yang efeknya dapat merusak gendang telinga. Tak kalah hebat dari sebelumnya perabot berat juga terbang ke arah dinding. Suara khas penuh caci maki yang sudah tak asing lagi di telinga. Segala kata-kata kotor yang terlontar menusuk sanubari.

Aku manusia yang punya rasa sakit dan amarah tapi bisa apa?

 

'Dia lagi' batinku menguap rasa benci.

"Hei jalang ternyata kau masih saja gila ya. Kau masih saja tidak sadar akan kegilaanmu cih." Pamer segala kekuasaannya sebagai seme.

"Ternyata kau sudah berani denganku sekarang ya. Cowok jalang yang menjual diri dan jiwanya padaku apa pantas punya mimpi untuk kembali padanya? hardiknya sembari menampar pipiku. Ingat kau juga yang membuangnya demi aku. Apa kau lupa itu?

''Tinggalkan aku atau membiarkanku mati sekarang. Aku menyesal dan Tuhan telah menghukumku."  renggekku sambil memijat kedua kakinya. Tak terasa darah sudah mengalir begitu saja dari sudut bibirku.

"Apa kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja? Kau tidak akan pernah lepas dariku!"

"Maumu apa menyiksaku seperti ini?"

"Aku sudah habis-habisan mengeluarkan uang untukmu tapi kau tidak bisa memuaskanku. Kau membuatku sial saja."

"Aku bisa berusaha mengembalikan uangmu asal kau membiarkanku pergi. Aku bisa mencari uang diluar sana."

"Seberapa bisa kau mendapatkan uang hah?"

"Bakatmu saja tidak ada hanya modal tubuh yang sudah kulukis berulang kali dan selalu ada bekas dariku."

"Setidaknya kau membiarkanku hidup dalam fantasiku dan kau boleh menyentuhku kapan saja sesukamu."

"Kau pikir aku senang kau masih memikirkan pria jalang itu?. Ku beritahu padamu aku sudah menyingkirkannya."

"Kenapa kau melibatkannya hah?"

"Kau monster berkedok manusia. Lebih baik kamu bunuh saja aku seperti kau melenyapkannya!"

Sungguh aku tak sanggup lagi hidup bersama manusia sadis dan gila. Aku juga tidak peduli caci makiku sudah menyakiti hatinya. Sudah terlintas wajahnya yang dingin tanpa ekspresi menatap begitu tajam. Sekali lagi dia membanting barang yang berada di dekatnya dengan keras, seberusaha apapun kekejamannya untuk menyakiti atau sengaja menakuti sekalipun tidak akan menjilat kembali ludahku. Suasana ini begitu panas dan mencekam, semua terasa menyesak dan hampa.

 

Pria selingkuhanku begitu kasar dan tanpa ampun menuju koridor kamar. Sungguh menyakiti hatiku sekiranya diriku yang telah memilihnya sebagai pelabuhan terakhir. Aku sedang menerima karma dari Tuhan atas dosa masa lalu. Ingin kembali tapi semua terlambat dan paling ku sesalkan adalah pilihan yang di idam-idamkan menjadi mala petaka. Sungguh ironis!

 

Aku melihatnya kembali sambil membawa seutas tali yang bersembunyi di belakang tubuhnya. Di duniaku sekarang berputar seperti menertawakan kebodohanku. Sekali lagi matanya penuh rasa benci. Kelihatan tangannya membentangkan tali untuk mengetahui seberapa panjang mengikat untuk seluruh tubuhku. Aku sudah tak peduli toh sekarang tiada siapa pun  orang bersamaku. Aku semringah lepas, aku tahu sebentar lagi terbebas olehnya.

 

Menamparku lagi!

Sebuah akhir cerita indah dalam hidupku pada ujung sebuah goni tua. Aku lepas tanpa beban dan rasa sakit. Aku tersenyum simpul pada kedua bolak mataku yang sudah terpejam selamanya.

 

Dalam siksa dan sakit untuk terakhir kalinya, seseorang tersenyum manis di sampingku. Dia mengecup dahiku seperti biasa dan memelukku erat. Lalu menyanyikanku sebuah lagu yang klasik. Tetesan embun jatuh dan semua tampak gelap.

 

FLASH BACK

 

"Putus!"

 

Seseorang meraung padaku dan meminta agar berpikir ulang. Penuh nafsuku sudah di ubun-ubun dan muak sekali pada hubungan yang terlalu mulus. Tidak hanya cinta tapi realita yang ada. Aku bertanya padanya.

 

"Apa kau bisa melindungiku?"

"Apa kau bisa memenuhi seluruh syaratku?"

"Apa kau bisa mewujudkan mimpiku?"

Aku menegaskan sekali lagi padanya bahwa kenyataan alasan untuk memutuskan hubungan ini. Aku katakan hidup juga membutuhkan uang bukan sekedar cinta semata.