webnovel

Masih curhat

Adriana tersenyum tipis mengingat masa di saat kuliah bersama Jenna. "Pria idaman, suami, pacar, belum tentu menjadi jodoh kita yang akan menemani kita hingga tua. Semua bisa terjadi di luar dugaan. Dulu, aku sangat mengagumi Mark, mempercayai keseriusan nya, ternyata itu hanya karena dia menjadikan aku sebagai bayangan kekasihnya yang telah meninggalkan nya."

"Dia sungguh keterlaluan. Dia tidak memikirkan Evan menjadi korban dari semua ini," gumam Jenna geram. "Bagaimana dia bisa meninggalkan kamu dan putra kalian hanya untuk gadis yang pernah meninggalkannya? Kurasa Mark adalah pria bodoh!"

"Dia tidak bodoh, tapi masih memiliki rasa cinta yang begitu dalam pada gadis itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakannya, karena meski dia menginginkan aku untuk bertahan, itu berarti aku harus berbagi cinta atau dia akan terus selingkuh," ucap Adriana kemudian merebahkan tubuhnya, menatapi langit dan merasakan hembusan angin malam yang sangat membuatnya sejuk.

"Bagiku tidak ada alasan yang bisa membernarkan sebuah perselingkuhan. Mark adalah pria brengsek. Suatu hari dia akan merasakan apa yang kamu rasakan sekarang!" geram Jenna.

"Dia pasti dapat karma!" sahut Amanda yang berhenti memainkan gitarnya hanya karena ingin ikut andil membicarakan tentang Mark.

Andriana yang awalnya serius, kesal, jadi terkekeh geli melihat Amanda dan Jenna yang kebakaran jenggot pada sikap Mark. "Kalian seperti menyumpahi nya padahal aku yang berhak."

"Kami merasa berhak karena kamu adalah bagian dari kami, Adriana," seru Jenna tegas, kemudian mengambil keripik ketela dan segera melahapnya hingga menimbulkan suara dari dalam mulutnya karena camilan itu sangat renyah.

"Tidak baik mendoakan keburukan untuk seseorang ... Aku sudah terima garis takdir ini karena selalu ada hikmah dibalik kejadian," sahut Adriana santai.

Hening sejenak di antara Adriana dan Jenna sementara Amanda pamit untuk kembali masuk ke rumah karena dia baru ingat belum mengerjakan tugas kuliahnya. Mereka berbaring sembari menatap bintang sembari memakan camilan dan minum-minuman yang Adriana sediakan.

"By the way apa rencanamu setelah ini? Apa kamu akan langsung mencari cinta baru mencari ayah yang baik untuk Evan?" tanya Jenna. "Beberapa teman kita yang pernah menyukaimu ada yang masih single."

Adriana menghela napas Jena yang sudah pikirkan jodoh untuknya. "Baru tadi siang aku resmi bercerai dari Mark. Aku tidak mungkin mencari cinta baru sedangkan aku belum bisa melupakannya."

"Kamu akan sukses melupakannya ketika kamu mencoba menerima pria baru. Kesendirian hanya akan membuatmu selalu teringat padanya kamu perlu mengisi hatimu yang kosong," seru Jenna yang tidak ingin Andriana terus tenggelam dalam luka.

"Entahlah ...." Adriana menghembuskan nafas kasar kembali menatap langit. "Aku masih lelah dengan yang namanya cinta ... Yang menjadi prioritas gue sekarang adalah kebahagiaan ibu dan Amanda karena mereka segalanya untukku."

"Ngomong-ngomong ... Apa kamu membutuhkan pekerjaan? Di perusahaan tempatku bekerja sedang membutuhkan karyawan baru dibidang marketing." Jenna bertanya sambil kembali duduk.

"Aku hanya lulusan SMA tidak akan diterima di perusahaan itu. Aku akan fokus mengurus toko ibu saja. Aku kasihan jika ibu harus mengurus toko sedangkan perlahan semakin tua dan sering sakit," jawab Adriana yang mulai menyesal karena tidak melanjutkan pendidikannya hingga sarjana. 'Andai aku bisa menjaga diri saat itu ... mungkin aku bisa meraih gelar sarjana dan tidak menikah dengan Mark ... Tapi aku juga tidak menyesal karena ada Evan yang menjadi anugrah dibalik semua kesalahanku.' batinnya dengan perasaan campur aduk.

___

Di tempat lain ...

Zach sedang lembur di ruang kerjanya yang berupa studio foto bernuansa metalik dilengkapi dengan furnitur modern dan peralatan yang bersangkutan dengan dunia fotografi. Dia duduk di kursi berwarna hitam di depan meja, sibuk mengedit foto-foto model yang diambilnya untuk dijadikan sebagai foto yang akan diliput dalam majalah fashion week ataupun event lainnya dengan menggunakan laptop.

"Zach," panggil seseorang dari arah pintu.

Zach menoleh ke arah pintu dan melihat yang datang adalah ibunya yang menghampirinya sembari membawa nampan berisi secangkir kopi.

Christie meletakkan secangkir kopi itu ke atas meja kerja Zach, kemudian duduk di sofa. Dia memperhatikan putranya yang sedang fokus bekerja.

"Sepertinya, besok ibu akan pergi," ucap Christie.

"Pergi ke mana?" tanya Zach tanpa menatap sang ibu.

"Ibu akan ke Harington untuk menjenguk teman ibu yang sakit," jawab Christie. "Sebenarnya ibu ingin kamu mengantar ibu karena di sana ada gadis yang ingin berkenalan denganmu," lanjutnya pelan.

"Siapa?" tanya Zach.

"Putri teman ibu. Dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan ternama di Harington. Dia pernah melihat fotomu dan tidak keberatan jika diajak berkenalan denganmu, karena dia juga sedang mencari jodoh," jelas Christie dengan tatapan meyakinkan.

"Tapi aku tidak sedang mencari jodoh, Bu. Lain kali saja aku berkenalan dengannya jika aku sudah memiliki niat untuk mencari jodoh," sahut Zach kemudian mengambil kopi yang dibuatkan oleh ibunya, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit.

Christie menghela napas, melirik Zach dengan kekecewaan di hatinya. "Sampai kapan kamu akan begini. Di usiamu saat ini, seharusnya kamu sudah menikah dan memiliki anak. Ibu jenuh di rumah selalu sepi. Ibu menginginkan menantu .. cucu ... Tapi kamu tidak memahami itu."

"Ibu tidak tau yang sebenarnya terjadi," gumam Zach sambil meletakkan cangkir kopi itu ke atas meja.

"Apa maksudmu?" tanya Christie.

"Suatu hari ibu akan paham, dan semoga aku bisa melalui semua ini dan ... Menikah, lalu memiliki anak. Seperti yang ibu inginkan," ucap Zach kemudian beranjak berdiri dan beralih mengambil album foto yang berisi foto-foto kenangan saat dirinya masih sering bersama Adriana ataupun Jack.

Merasa dikecewakan, akhirnya Christie memutuskan untuk meninggalkan ruang kerja putranya itu. Namun sebelum pergi dia berkata, "Jangan sampai ibu mati lebih dulu sebelum kamu menikah."

Seketika Zach menoleh menatap ibunya yang kini berlalu pergi. Dia menghembuskan napas kasar, kembali duduk sambil menatapi foto-foto lamanya. "Ibu elalu menggertak. Padahal, aku tidak mudah mendapatkan jodoh karena Adriana selalu menghantuiku!"

Zach tersenyum simpul saat melihat foto saat dirinya bersama Adriana sedang merayakan ulang tahun Amanda yang ke 17 tahun. Di sana terlihat Adriana membawa kue kecil berwarna cokelat, sedangkan Amanda meniup lilin di atas kue itu, lalu dia membawa sebuah balon bergambar boneka Barbie yang sedang berdansa dengan pangerannya.

"Adriana, dulu kita sangat dekat, tapi kemunafikan membuatmu membenciku ... Apa masih ada kesempatan jika aku ingin memperbaiki semuanya? Aku tidak bisa memungkiri, hanya kamu yang bisa menyalakan api cinta di hatiku." Zach menatapi foto itu sambil tersenyum, kemudian membenamkan ke dadanya dan mendongak menatap langit-langit kamar sambil menyandarkan punggungnya pada bahu kursi.

Zach terkesiap setelah beberapa saat membayangkan Adriana. Dia beralih menatap kalender di atas meja kerjanya dan melihat tanggal hari ini.

"Besok dia ulangtahun ... Dia ulang tahun setelah bercerai, pasti hatinya masih terluka ... Bagaimana jika aku menghiburnya?" Zach mulai berpikir keras untuk kembali membuat Adriana bahagia.