1 Bukan Malam Biasa

"Iya, jimat. Kertas dengan tulisan aneh dibungkus kain putih," jelas Gita. Ia menggigit-gigit jemarinya sendiri untuk menghilangkan kebingungannya.

"Memangnya Lissa butuh itu?" tanya Ratna. Perempuan itu tak kalah bingung. Gestur tubuhnya mondar mandir tak bisa diam.

"Itulah, aku juga nggak paham apa maksudnya. Dia bilang Lissa diikuti penampakan yang bisa mengganggunya. Aku nggak percaya itu," pungkas Gita. Ia benar-benar masih tak habis pikir dengan persoalan baru yang di dihadapinya kali ini.

"Ehm, tapi kalau dia benar bagaimana?" tanya Ratna mulai bimbang. "Soalnya di kampungku, aku pernah ketemu kasus seperti itu. Ada orang-orang yang memang bisa melihat hal-hal gaib," ujar Ratna.

Gita termenung sebentar. "Aku nggak tau. Tapi memang tadi dia bilang, dia tahu kalau saat ini Lissa sedang sakit. Dia bilang penampakan yang mengganggu Lissa mulai mengganggu anak itu, bahkan bisa mengancam nyawanya."

"Hah? Lissa nyawanya terancam?" ulang Ratna kaget. Kedua bola matanya membelalak, terkejut sekaligus cemas bersamaan.

Gita mengangguk pelan. "Tapi tidak-tidak, aku tak percaya dia. Kita sudah menangani Lissa dengan cara yang benar. Sudah dirawat dokter dan sekarang berada di tempat yang aman bersama Pak Surya."

"Iya, betul juga. Semoga dia baik-baik saja di sana," balas Ratna. Meski begitu tetap saja kegusaran tak bisa disembunyikan dari roman mukanya. Tiba-tiba ...

TING

Sebuah pesan masuk di gawai Gita. Ia memeriksa dan membacanya. Wajahnya cepat berubah, terlihat panik. "Lissa ..."

"Ada apa lagi??" tanya Ratna cepat, ikut penasaran.

"Itu si Rachmat kirim pesan, kata dia orang itu tahu semua tentang Lissa. Dia datang untuk memperingatkan kita," jelas Gita. Perempuan itu mondar mandir di ruangan depan. Sesekali mengintip ke pos jaga. Rachmat dan orang asing itu masih terlihat mengobrol.

"Sudahlah, tak usah terlalu dipedulikan. Ini sudah lewat jam 11 malam. Ayo tidur saja," ajak Ratna tak mau semakin dalam terlibat dalam situasi kacau.

"Tapi bagaimana dengan Rudi? Orang aneh dari jauh itu?" galau Gita. Urusan rumah singgah memang menjadi tanggung jawab utamanya.

"Sudah biarkan itu jadi urusannya si Rachmat," tanggap Ratna. Berulangkali ia menutup mulutnya yang menguap. "Aku ngantuk sekali," ujarnya.

"Tidur saja dulu. Nanti aku menyusul," ujar Gita. Wanita itu kemudian sibuk dengan ponselnya.

"Ya, aku tidur dulu ya. Seminggu ini bolak-balik rumah singgah dan rumah sakit, baru terasa capeknya sekarang," ungkap Ratna.

"Makanya, tidur saja dulu. Sebentar lagi aku juga akan istirahat. Tubuhku seperti mau rontok rasanya. Aku kabari Rachmat dulu untuk memastikan orang itu pergi dan tak menerima jimat atau apapun dari orang itu," jelas Gita.

Ratna berlalu masuk ke kamar. Sebelum menutup pintu, ia melongokkan kepala dan mengingatkan Gita untuk mengunci pintu.

"Jangan lupa semua pintu dikunci sebelum tidur," ujarnya.

"Ya." Gita menjawab pendek.

Sesudah selesai berurusan dengan Rachmat, Gita mengunci pintu dan mengecek jendela. Ia ingin memastikan semuanya aman.

Semua anak rumah singgah itu sudah terlelap dalam tidurnya ketika Gita berkeliling melihat mereka satu-satu. Dengan sabar dan perhatian, ia membetulkan selimut atau menyelimuti mereka yang lupa memakainya.

Anak-anak yang berada di rumah itu rata-rata berasal dari jalanan atau dari keluarga yang tak mampu. Mereka terpaksa menjalani kehidupan yang keras karena keadaan.

Naluri Gita yang peka berinisiatif mengumpulkan mereka dan berusaha memberikan kehidupan yang layak. Ia memberikan pendidikan dan mengobati jiwa-jiwa mereka, berharap suatu hari mereka bisa hidup lebih layak dan tak berada di jalanan lagi.

Tiba di dipan Lissa, Gita berhenti. Tempat tidur itu kosong dan agak sedikit berantakan. Ia kemudian merapikan seprai dan menata bantalnya. Saat menumpuk bantal, Gita menemukan buku gambar kecil milik Lissa di bawahnya. Iseng ia membukanya.

Pada lembar-lembar awal Lissa menggambar bunga-bunga dan tumbuhan. Coretannya cukup rapi dan bagus untuk anak seusianya. Gita asyik membolak-balik lembaran buku itu hingga ia menemukan gambar-gambar aneh di lembar-lembar terakhir.

Lissa menggambar api, beraneka bentuk senjata, juga tubuh-tubuh manusia yang mati mengenaskan. Gita bergidik melihat semua itu.

Gambar di halaman terakhir makin membuat Gita shock. Lissa menggambar sosok dirinya yang dikelilingi oleh bayangan-bayangan hitam menakutkan!

Gita teringat pada Rudi yang mengatakan kalau Lissa diikuti oleh penampakan-penampakan yang menakutkan. Merekalah yang membuat anak itu sakit-sakitan dan memiliki penglihatan yang aneh-aneh. 'Apakah benar apa yang dikatakan oleh orang asing itu?'

Gita mengambil gawainya dan bertanya pada Rachmat apakah Pak Rudi masih di depan.

Penjaga itu menjawab bahwa orang itu baru saja pergi.

"Apa dia sudah jauh?" tanya Gita.

"Perginya belum lama, Mbak. Tapi ini saya lihat di jalan sudah tak kelihatan sosoknya," jawab Rachmat.

"Cepat banget jalannya," ujar Gita. Prasangka aneh kembali muncul di benaknya.

"Eee ... Iya, Mbak. Duh, jadi bagaimana ya? Memangnya ada apa tanya dia lagi? Rachmat balik bertanya.

Gita termenung sebentar. Rasanya tak enak juga menjelaskan kejadian-kejadian aneh malam-malam begini.

"Nggak apa-apa, Mat. Aku tanya saja. Ya sudah, lanjut jaga ya, sampai ketemu besok," ucap Gita.

Terdengar Rachmat menjawab "Ya, Mbak" dari ujung telepon.

Gita menyimpan buku gambar Lissa ke dalam tasnya. Ia berniat membawa dan menanyakan tentang maksud dari gambar-gambar itu saat bertemu dengan psikolog nanti. Atau mungkin akan menunjukkan gambar itu terlebih dahulu pada Surya.

Malam semakin larut, Agak terhuyung Gita melangkah ke kamarnya. Gabungan rasa lelah dan ngantuk yang bertumpuk.

***

Sementara itu di rumah besar Surya, lelaki itu belum juga tertidur. Ia masih menunggui Lissa di kamar anak, bergantian dengan Bella yang sudah pulang ke kamarnya sejak tadi.

Surya memperhatikan wajah Lissa dalam-dalam saat tidur. Rambut jeraminya kini terjalin rapi karena tadi disisir dan ditata dengan gaya princess oleh Bella. Hidung mancungnya tampak serasi dengan bibir mungilnya.

'Saat besar nanti pasti kau jadi gadis yang cantik sekali, Lissa. Hanya manusia yang tak punya hati yang tega membuangmu.' Batin Surya. Rasa sesak dan berat memenuhi ruang hatinya.

Semakin lekat Surya menatap wajah Lissa, lama-lama ia menemukan kesamaan dengan sosok bocah perempuan yang sering hadir dalam mimpinya. Ia terhenyak!

'Wajah mereka mirip sekali, hanya saja anak ini lebih lebih penakut dan pemuram. Sementara anak dalam mimpiku sangat ceria, seperti tak memiliki beban hidup.' Surya membuat kesimpulan sendiri.

Surya berada di kamar Lissa sampai lewat tengah malam, ia sendiri sebenarnya sudah merasa mengantuk tapi enggan meninggalkan anak itu.

Berulangkali ia menguap dan menyandarkan kepalanya di dinding. Ia tertidur sambil duduk menjaga Lissa.

Goncangan ringan di tangan membuat Surya membuka matanya. Dilihatnya Sarah sudah ada di depannya dan membangunkannya.

"Ayah, pindah tidur ke kamar sana, biar gantian Ibu yang jaga Lissa," ucap Sarah. Perempuan itu tampak baru saja mencuci muka. Wajahnya terlihat segar, siap bergantian berjaga.

"Eh, iya ... Iya, Bu. Sudah jam berapa sekarang?" tanya Surya geragapan. Ia mencari-cari ponselnya yang tadi sembarangan diletakkan di atas tempat tidur Lissa.

Sarah menengok jam dinding yang ada di kamar. "Jam 2 lewat. Sudah sana tidur, biar aku yang di sini," ujarnya. "Ayah masih bisa tidur beberapa jam sebelum besok ke kantor," imbuhnya.

Surya berdiri dan meregangkan badannya. "Oke, gantian berjaga. Kalau ada apa-apa bangunkan Ayah ya, Bu," pesan Surya.

Sarah menjawab pendek,"Ya, pastinya."

Sepeninggal Surya, Sarah ikut berbaring di samping Lissa. Tempar tidurnya cukup luas hingga bisa dipakai untuk tidur orang dewasa di sebelahnya.

Naluri keibuan Sarah terus bertambah pada Lissa seiring semakin seringnya mereka bersama.

Jauh di lubuk hati Sarah ia senang memiliki anak lagi. Seandainya suaminya menghendaki anak itu untuk diadopsi, ia pasti akan mendukungnya. Sarah tersenyum kecil.

Lissa tiba-tiba membalikkan badan dan memeluknya. "Mama ..." gumamnya.

avataravatar
Next chapter