webnovel

Bab 1. Dua Dunia Yang Berbeda.

FROGNER, OSLO.

Sekar memperhatikan dua orang pria berkulit putih yang tengah menggotong sebuah upright piano masuk ke dalam kamarnya.

"Hvor kan du legge piano (mau di letakkan di mana pianonya)?" tanya salah seorang pria itu pada Sekar dengan bahasa Norsk yang tak ia mengerti. Namun Sekar masih bisa mengira-ngira kalau pria itu sepertinya menanyakan di mana ia harus meletakkan pianonya.

Sekar menunjuk dinding yang segaris lurus dengan tempat tidurnya. Kedua pria itu meletakkan pianonya di sana dan mengatur segala sesuatunya.

"Takk (terimakasih)," ucap Sekar dengan satu-satunya kata dalam bahasa Norsk yang ia ketahui.

Setelah kedua pria itu berpamitan dan keluar dari kamarnya, ia pun mengangkat kursi dari meja riasnya dan meletakkannya di depan piano.

Jemarinya pelan menekan tuts-tuts hitam putih itu mengalunkan nada-nada melankolis dari Chopin, Nocturne Op.9 No.2. Ia begitu mendalami rasa dari permainan pianonya. Memejamkan matanya menikmati irama lembut yang dihasilkan oleh jari-jari lentiknya.

"Wah, udah makin jago aja nih anak Mama."

Suara selorohan dari balik punggungnya itu membuat Sekar menghentikan permainan pianonya. Ia berbalik dan mendapati sang Mama tersenyum padanya.

"Makasih pianonya, Ma," ucapnya senang.

Wanita berumur empat puluhan yang terlihat cantik dan elegan itu mengelus pipi Puteri semata wayangnya dengan lembut. "Mama tahu kamu nggak bisa hidup tanpa benda ini," katanya membuat Sekar meringis malu.

"Ohya, besok hari pertamamu masuk sekolah, ya, Se?" tanya sang Mama.

"Iya, Ma ...." Sekar kembali teringat akan kecemasannya esok hari memasuki sekolah baru. Beradaptasi dengan lingkungan baru adalah hal yang paling tidak ia sukai. Wajahnya pun murung seketika.

"Kenapa, Sayang? Kok murung begitu?"

Sekar hanya menggeleng. "Nggak papa, Ma. Cuma dikit nggak enak aja harus jadi murid baru," kekehnya.

Sang Mama tersenyum. Ia paham karakter Sekar yang sedikit sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi di negeri asing yang segala sesuatunya berbeda.

"Mama sama Papa masukin kamu ke sekolah internasional biar kamu nggak merasa beda sendiri. Mama yakin kamu pasti bisa lebih gampang beradaptasi di sana."

"Tapi bahasa Norsk susah, Ma," keluh Sekar sembari memanyunkan bibirnya.

"Kamu anak pinter, pasti bisa, lagi pula di sekolah kamu itu sebagian besar pakai Bahasa Inggris," hibur sang Mama sembari membelai rambut panjang Sekar lembut.

"Kalau aku kena bully gimana, Ma?"

"Nggak ada bully-bullyan, Sekar. Yang sekolah di sana itu rata-rata anak-anak diplomat dari berbagai negara, juga anak-anak pejabat. Mereka punya pendidikan etika dan moral yang bagus. Percaya sama Mama. Mama nggak mungkin masukin kamu ke sekolah sembarangan."

Sekar menghela napasnya pelan. Di Indonesia, anak pejabat banyak yang kelakuannya bejat.

"Ya udah, Mama mau nengok Mbok Maryati dulu di dapur, dia udah selesai belum siapin makan malam," ujar Sang Mama menyebutkan nama asisten rumah tangga yang dibawanya dari Indonesia. "Sambil nunggu Papa pulang juga," lanjutnya sembari mengelus pipi Sekar lembut sebelum akhirnya keluar dari kamar Puterinya itu.

Sekar melangkah menuju jendela kamarnya. Memandang keluar jendela memperhatikan suasana di luar sana. Matahari masih bersinar terang walaupun jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Awal musim semi di bulan maret yang masih begitu dingin. Mata Sekar dimanjakan oleh salju yang berserakan di mana-mana. Di jalanan, di atap-atap rumah mewah, dan di pepohonan.

***

GRØNLAND, OSLO.

"Einar!!"

Wanita paruh baya dengan rambut digelung dan wajah yang tampak pucat itu menggedor pintu kamar bercat abu-abu lusuh dengan keras.

"Skru ned gitaren din (kecilkan suara gitarmu)!" serunya sembari memijit kepalanya. Suara lengkingan gitar electric dari dalam kamar yang cukup keras membuat kepalanya semakin berdenyut.

"Einar!" panggilnya dengan setengah berteriak. Ia kembali menggedor pintu. Berharap si penghuni kamar yang ia panggil dengan mama Einar itu mendengarnya di sela-sela suara berisik di dalam sana.

"Drittsekk (dasar breng sek)!" makinya kesal.

Suara distorsi gitar dari dalam kamar berhenti. Perlahan pintu dibuka dari dalam. Sosok jangkung berambut panjang hitam kecokelatan dengan wajah tampan yang sedikit pucat muncul dari baliknya. Sepasang mata berwarna hazel brown itu menatap si wanita paruh baya dengan sebal.

"Hva (apa)?" tanyanya setengah menghardik.

"Aku tadi mau bilang, kecilkan sedikit suara gitarmu. Aku sedang sakit kepala."

Einar memutar bola matanya sembari menghembuskan napas kasar. Lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.

Ia kembali meraih gitarnya dan melanjutkan permainannya yang tertunda. Mencabik-cabik senar gitarnya dengan membabi-buta.

"Sialan!" makinya ketika salah satu senarnya putus. Ia pun melepas kabel jack gitar dari amplinya dan melempar gitar warna hitam itu ke atas kasur sempitnya.

"Gitar murahan!" makinya kembali. Ia melepas kaos hitam bertuliskan Mayhem yang dikenakannya dan melemparnya sembarang, memperlihatkan tubuh berkulit pucatnya yang penuh dengan tattoo.

Ia menghempaskan badan ke atas sofa bean bagnya. Lalu meraih botol whiskey yang hanya tinggal setengahnya saja. Sebatang rokok ia nyalakan dan menghisap asapnya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya ke udara. Matanya menyapu ruang kamar sempitnya yang penuh dengan poster-poster bergambar pria-pria berambut panjang dengan lukisan wajah hitam putih.

***

***

***