webnovel

Suasana Baru

Aku sangat senang akhirnya bisa menginjakkan kaki di pulau ini. Sangat menyenangkan bisa bekerja di tempat surga ini. Aku akan melakukan segalanya agar tidak mengecewakan bosku, Pak Santana.

Rasanya penuh semangat bekerja sebagai manajer Kuta Hotel.

Saat berjalan berdampingan dengan Pak Santana, aku tidak bisa berhenti memikirkan cara terbaik untuk meningkatkan layanan Hotel.

"Tidak usah terlalu tenggelam dalam berpikir, Bu Jingga," ucapnya secara tiba-tiba.

Aku menoleh dan tersenyum padanya. "Saya hanya memikirkan pendekatan yang baik kepada pelanggan, Pak. Saya juga memikirkan bagaimana meningkatkan layanan Hotel."

Pak Santana tersenyum. "Saya tahu karena saya mempekerjakanmu karena suatu alasan. Bagaimanapun, saya percaya kemampuanmu."

Senyumku melebar mendengar ucapannya. Sangat lucu jika dipikir bahwa dia memiliki kepercayaan pada kemampuanku.

Saat kami memasuki Hotel Kuta, Pak Santana memperkenalkan akusebagai manajer baru. Karyawan Hotel terlihat tampak baik.

"Besok kamu akan mulai bekerja," ucaonya. "Untuk saat ini, istirahat dulu. Atau, kamu bisa berkeliaran untuk mengenal pulau."

Seseorang memberiku kunci. "Ini adalah kunci penthouse tempat Anda tinggal. yaitu di lantai 40 hotel ini. Ada dua kamar, jadi kamu bisa mengundang keluarga untuk menginap jika kamu mau."

"Terima kasih, Pak Santana."

“Jangan sebut dia. Semua mantan manajer Hotel tinggal di sana. Sebenarnya itu dibuat untuk anakku tapi ternyata, dia lebih suka hutan dan binatang daripada pantai dan pulau.” Wajahnya muram saat aku menyebut nama anaknya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku merasa tidak salah mengatakan sesuatu karena memang tidak mengenal putranya. Jadi aku hanya diam dan menunggunya berbicara lagi.

"Yah," ucapnya, memecahkam keheningam. "Saya pergi. Semoga berhasil, Bu, Jingga."

"Terima kasih, Pak."

Aku mengikuti tatapan Pak Santana hingga menghilang dari pandangannya.

Aku perlahan berjalan ke lift yang akan menuju ke penthouse. Aku tersenyum saat naik lift ke lantai paling atas di mana penthouse berada.

Ketika tiba dan melihat penthouse tersebut, aku kagum betapa indahnya tempat itu. Tak bisa dipungkiri juga bahwa perabotan di dalam penthouse pasti mahal harganya.

Aku melepas sandal sebelum menginjak lantai berkarpet. Rasanya sangat lembut. Pasti mahal, dan ketika melihat ke kanam, senyum muncul di bibirku ketika melihat mini-bar penuh dengan minuman keras yang berbeda.

" Ini surga atau apa?" ucapku dengan seringai di wajah.

Akau mendekati bar dan menuangkan segelas sampanye.

Saat menyesap sampanye, mataku berkeliaran ke sekitar. Ada satu set sofa kulit di tengah dan lukisan-lukisan mahal digantung di dinding. Kemudian mataku berhenti di pintu sebelah mini-bar.

Rasa ingin tahuku semakin mendalam.

Aku berjalan ke pintu sebelah mini bar lalu membukanya.

Angin dingin menyerang ketika membuka pintu. Sebuah balkon? Aku perlahan berjalan mendekati pagar balkon.

Adegan di depannya membuat napasnya terengah-engah. Matahari berada di puncak dan sinarnya membuat lautan berkilau bagai berlian. Pemandangan dari sini benar-benar indah.

Aku tidak tahu berapa menit berdiri di balkon dan menatap laut. Saat cuaca panas, aku kembali ke dalam dan menyesap sisa sampanye dari gelas lalu menuju pintu dekat ruang tamu. Ketika membukanya, aku tidak tahu apa harus berkomentar apa..

Kamarnya sangat bagus.

Lantainya dilapisi karpet Persia, dindingnya dilapisi warna putih-merah muda dan terlihat enak dipandang. Aku pergi ke tempat tidur dan duduk di sisinya. Sangat lembut, rasanya enak sekali tidur di ranjang seperti ini. Tapi alih-alih tidur, aku meninggalkan kamar untuk berkeliling pulau.

Aku tidak memiliki hobby untuk tidur, aku harus mengenal pulau itu.

#####

Carlos duduk di sofa, di sebelah ibunya. Mereka memanggilnya tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya, dia tahu apa alasannya dan mereka memanggilnya dan itulah alasan dia pulang ke Indonesia.

Dia duduk diam bersama ibu seraya menunggu ayahnya datang.

Beberapa menit telah berlalu dan akhirnya sang ayah datang. Ayahnya memiliki ekspresi tegas di wajahnya.

“Apakah kamu di sini hanya untuk berkunjung?” tanya ayahnya.

"Tergantung mood saya."

"Kamu tahu kami membutuhkanmu, kan? Perusahaan membutuhkanmu," ucap ibu.

Dia menatap ayahnya, kemudian tatapannya beralih ke ibunya. "Saya tidak tahu, masih menimbang."

Sang ibu duduk di sebelahnya dan memegang tangannya. "Ayah dan Ibu sudah tua." Suaranya diwarnai dengan kesedihan dan Carlos merasa bersalah. "Kami hanya memintamu sekali. Ketika kamu memberi tahu kami bahwa ingin belajar fotografi, kami membiarkan, meskipun kami ingin kamj mengambil Manajemen Bisnis. Ketika kamu memberi tahu kami ingin pergi mengejar impian, kami membiarkan , karena kami mencintaimu. Kami membiarkanmu melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan karena kami ingin kamu bahagia. Kami tidak menghentikan, tetapi sekarang, kami sudah tua. Jadi kami memintamu untuk membantu kami. Jangan anggap enteng, jika tidak, perusahaan akan dipegang oleh siapa saja. Tolong pertimbangkan tawaran kami."

Carlos merasa tercekik saat mendengar ibunya memohon agar dia mengambil alih Perusahaan. Apakah dia anak yang buruk karena hanya memikirkan dirinya sendiri?

Merah menatap ayahnya. "Saya tidak tahu apa-apa tentang bisnis, Ayah. Perusahaan mungkin bangkrut karena saya. Namun saya tidak menginginkan itu."

"Saya akan mempekerjakan orang yang dapat membantu memahami bisnis. Dan saya akan mengajarimu secara pribadi, jadi, jangan khawatir."

Carlos menarik napas dalam-dalam. "Ayah, bagaimana bisa begitu yakin bahwa saya bisa belajar sesuatu? Bagaimana bisa begitu yakin bahwa saya bisa menjalankan perusahaan sendiri? Saya seorang Fotografer, bukan lulusan Manajemen Bisnis."

Ayahnya tersenyum. "Karena kamu anakku dan bisnis berjalan dalam darah kita."

Carlos melihat ke bawah dan tidak berbicara. Dia tahu kapan akan menolak dan kembali bekerja di Geo, orang tuanya pasti akan membiarkannya pergi bahkan jika mereka tidak setuju dengan keputusannya. Begitulah cara mereka mencintainya. Mereka selalu menginginkan kebahagiaannya lebih dari apapun di dunia ini. Mungkin, ini saatnya dia melakukan sesuatu untuk orang tuanya. Sudah waktunya baginya untuk membuat mereka bahagia.

Dia mengambil napas dalam-dalam. "Saya akan berusaha tapi saya tidak menjanjikan. Saya tidak ingin menjanjikan sesuatu yang tidak pasti."

Ayahnya tersenyum. "Itu cukup bagus untuk kami. Besok, kamu akan memulai latihanmu."

Pelatihan? Betapa dia berharap pelatihan ini pergi ke hutan untuk memotret pemandangan indah yang berbeda, tetapi dia tahu lebih baik, bagi ayahnya, pelatihan berarti duduk di belakang meja yang penuh dengan kertas kerja yang membosankan.

Keesokan harinya, Carlos bangun pagi-pagi untuk mengikuti pelatihan yang dikatakan ayahnya. Dia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang panjang.

"Apakah kamu siap?" Ayahnya bertanya apakah dia bisa masuk ke kantornya.

Dia mengangkat bahu. "Saya tidak tahu siap atau tidak, tapi, ayo lakukan ini."

Ayahnya tersenyum dan menyuruhnya duduk di kursi tamu untuk memulai latihannya.

#####

Jingga bangun dengan senyum di wajahnya. Ini hari pertamanya sebagai Manajer Kuta. Dia sangat bersemangat untuk bekerja.

Setelah mandi, dia berdandan dan pergi ke kantor Manajer.

Sesampainya disana, sekretarisnya yang bernama Andi sudah ada disana. Ini adalah sekretaris Manajer Hotel terakhir yang sudah pensiun.

"Selamat pagi, Andi." Dia menyapanya dengan senyuman.

Sandi tersenyum kembali. "Selamat pagi juga, Bu Jingga."

"Lepaskan formalitas, panggil saja, Jingga." Apa yang paling dia tidak suka adalah mendapat panggilaan Ibu.

"Baiklah, Nona Jingga."

Nah, itu lebih oke daripada Bu. Dia tersenyum pada Andi dan masuk ke dalam kantornya.

Ketika masuk ke dalam, dia segera mulai bekerja.

Jingga tidak menyadari waktu, ketika melihat jam di tangannya, itu adalah waktu makan siang.

Dia bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke Restoran Kuta yang ada di dalam Hotel. Saat memasuki restoran, dia duduk di meja samping dan tidak terlalu diperhatikan oleh orang-orang yang masuk. Dia memesan makan siang sederhana. Saat dia makan, matanya berkeliaran di sekitar restoran. Sepertinya dia tidak perlu mengubah apa pun di hotel, yang harus dia lakukan hanyalah Mengelola Hotel dengan benar.

"Halo wanita cantik." Suara memanggil dari belakangnya.

Dia menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang itu. Seorang pria tampan, mungkin sedikit lebih tua darinya. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Kamu sangat cantik, saya tidak bisa menahan diri. Saya harus mengenalmu lebih baik."

"Tidak, tinggalkan saya sendiri."

Pria itu tersenyum kecut.

"Hei, namaku Revi Sanders. Kalo kamu?

"Apa yang membuatmu menyangka bahwa saya akan memberitahumu?" Jingga menjawab dengan ketus.

Senyum pria itu tidak goyah. "Karena saya tampan dan ...."

"Dan penuh dengan percaya diri," jawab seorang pria membawa nampan makanan.

"Apakah ini seorang pelayan? Pelayan ini tampan." Jingga berkomentar dalam hati.

Pria itu meletakkan nampan makanan dan mengulurkan tangannya. "Hei, namaku Revan Sanders."

"Sanders?" Jingga mengangguk lalu menatap Revi. "Saudara?"

"Saudara kembar." Revan mengedipkan mata padanya. "Tapi jangan bilang siapa-siapa. Saya malu mengakui saudara kembarku."

Dia menahan diri untuk tidak tersenyum. "Oke, saya tidak akan memberitahu siapa pun."

"Bagus." Revj tersenyum. "Jadi siapa namamu?"

"Jingga, nama saya Jingga Amelia."

"Apa?" ucap keduanya sekaligus. Seolah-olah terkejut dengan namanya.

"Apa?" Jingga memelototi keduanya.

"Anda Manajer Hotel yang baru?" Keduanya bertanya secara bersamaan.

Dia mengangguk. "Ya, bagaimana kamu tahu?"

Sebelum keduanya bisa menjawab, seseorang memanggil mereka. Revi dipanggil oleh seorang wanita seksi dan Revan dipanggil oleh seorang pelayan. Setelah mereka pergi, Andi mendekatinya tepat pada waktunya.

"Bapak kenal mereka, Andi?" Dia bertanya pada sekretarisnya.

"Ya, Nona Jingga. Pria yang datang ke dapur, itu Revan, dia Chef Hotel. Yang dipanggil wanita penggoda, itu Revi, dia Manajer seluruh Pulau."

Jingga tercengang. Koki dan Manajer Pulau?

"Nona JIngga?" Andi membangunkannya.

"Ya?"

"Pak Santana menelepon dan saya mencari Anda. Dia bilang dia tidak bisa menghubungi ponsel Anda jadi dia menelepon kantor."

Dia menerima ponsel itu. "Terima kasih, Andi."

Dia meletakkan telepon di telinganya. "Pak Santana, ini Nona Amelia yang berbicara."

"Oh, halo, Nona Amelia. Mungkin kamu bertanya-tanya mengapa saya menelepon, ya, karena saya ingin bertanya apakah kamu bisa membantu saya?"

Dia bingung. "Bantu saya? Bapak ingin bantuan saya untuk apa, Pak?"

"Ya, ini tentang anak saya. Dia membutuhkan orang yang sangat profesional yang akan mengajarinya cara mengelola Hotel. Itu bagian dari pelatihannya. Saya akan sangat menghargai jika kamu menjawab ya. Kamu salah satu karyawan saya yang terampil. dan cukup cerdas untuk mengajari anakku.”

Siapa dia jika menolak? Dia telah dipuji dan satu lagi, memalukan jika dia menolak. Dia hanya akan mengajari putranya bagaimana menangani Hotel. Itu tidak sulit.

"Baik Pak. Saya setuju untuk mengajar anak Anda."

"Terima kasih banyak!" Santan berseru gembira. "Dia akan berada di sana dalam waktu tiga minggu. Dia masih berlatih di departemen akuntansi. Saya akan meneleponmu jika sudah waktunya dia pergi ke sana."

"Oke, Pak." Jingga tersenyum.

"Terima kasih." Santana berkata dan suaranya diwarnai dengan sukacita. "Oke, saya harus menutup telepon. Terima kasih lagi."

Panggilan itu mati dan dia menutup telepon. Dia melihat ke luar restoran di mana laut terlihat jelas.

Dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan makannya. Kemudian dia akan memikirkan bagaimana cara mengajar putra Tuan Santana.