webnovel

Love and Fight (Triangle Love)

Ketika cinta segitiga yang rumit menjadi semakin rumit ketika banyak orang yang ikut campur. Tidak hanya kisah klasik antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga tentang bagaimana seorang laki-laki yang entah kenapa tiba-tiba tertarik pada sesama laki-laki. Akankah hubungan terlarang itu terus berlanjut? Atau justru laki-laki dan perempuan lah yang bersatu?

Kimkim_Zee · Urban
Not enough ratings
3 Chs

01 : Awal Mulanya

____________________________________

Beijing, China,

20 Oktober 2020

Cinta memang sangat sulit untuk dimengerti. Terkadang tanpa bicara pun semua orang paham bahwa dua orang yang sering bersama adalah pasangan kekasih, tetapi pada kenyataannya masih ada yang tidak memahami arti cinta yang sesungguhnya. Mereka yang lahir dengan sendok emas di mulutnya sebagian besar sudah terbiasa dengan perjodohan bisnis. Merelakan cinta sejatinya kandas demi melanjutkan bisnis keluarga agar sumber uang tidak hilang.

Kali ini yang akan terjadi adalah sebuah perhelatan besar karena merupakan sebuah penyatuan sempurna antara dua perusahaan paling besar di Asia. Dua insan keturunan Crazy Rich Asia akan segera memulai lembaran baru dunia pernikahan mereka; tidak luput dari melanjutkan kisah keluarganya masing-masing.

Semua persiapan sudah selesai sejak kemarin karena acara hari ini jangan sampai memiliki kekurangan barang satupun. Perlahan namun pasti, ruangan aula hotel mewah yang tadinya sepi berubah menjadi ramai oleh para tamu undangan. Dari pakaian yang dikenakan, kita bisa tahu seberapa kaya, terhormat, dan berpengaruhnya orang-orang tersebut untuk dunia bisnis.

Seorang wanita paruh baya nampak anggun dengan balutan gaun putihnya berjalan santai sambil menyapa para tamu. Dia adalah ibu dari mempelai pria. Langkah anggun nan tegas itu terhenti saat bertemu dengan wanita yang sebentar lagi akan menyandang status besan keluarganya. Saling bertegur sapa lantas tertawa kecil saat membicarakan sesuatu yang dirasa cukup menggelikan.

"Dia pasti akan membuat putrimu bahagia. Aku bisa menjamin itu karena putraku, Web, sangat mencintai Lulu." Wanita itu—Nyonya Wang—bicara dengan nada anggun dan bibir tersenyum senang.

"Aku tahu itu dan sangat percaya kalau dia juga akan menjadi menantu terbaik di dunia ini." Lawan bicaranya—Nyonya Hu—menimpali lantas tersenyum.

Perbincangan itu terus berlanjut sampai akhirnya harus terpaksa diakhiri karena pengumuman mengatakan kalau mempelai pria sudah datang dan akan segera memasuki aula. Semua tamu berdiri dan memandang antusias ke arah pintu masuk yang perlahan-lahan dibuka oleh pelayan hingga menampilkan sosok laki-laki bertubuh tinggi yang nampak gagah dengan berbalut setelan tuxedo berwarna hitam-putih.

Laki-laki itu tidak lain adalah Wang Yibo atau lebih akrab dipanggil 'Web' oleh semua orang yang mengenalnya; tidak peduli itu keluarga atau para penggemarnya. Ia berjalan pelan ke arah altar dengan diiringi musik klasik yang begitu menentramkan jiwa dan hati siapapun yang mendengar.

Tidak lama setelah dirinya berdiri di altar, pintu utama kembali dibuka perlahan yang menandakan bahwa mempelai wanita sudah datang dan siap melangkah anggun di karpet merah bersama sang Ayah menuju altar. Semua orang menyambutnya dengan sangat antusias, tetapi yang disambut justru hanya bisa tersenyum tipis dan memaksakan diri untuk tetap terlihat tegar. Jika teliti maka akan terlihat bagaimana kedua netranya berkaca-kaca. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

Setelah kedua kakinya berpijak di tempat yang sama degan sang calon suami, gadis itu—Xuan Lu atau Lulu—hanya terus menunduk sambil sedikit memainkan buket bunga lili putih untuk menutupi rasa gugupnya. Sosok yang berdiri di hadapan pun hanya melemparkan senyuman miring yang tajam. Gestur yang seolah mengatakan bahwa dirinya bahagia setelah memenangkan sebuah pertandingan.

Xuan Lu terlihat agak risih ditatap seperti itu untuk waktu yang lama. Tidak ada lawan jenis yang pernah menatap dia sebegitu intens selain mahasiswa fakultas sastra yang sudah dikencaninya sejak tiga tahun yang lalu. Rasa gugup dan takut yang Xuan Lu rasakan memang bukan tanpa alasan. Ia masih denial dan tidak rela jika harus berpisah dari kekasihnya—Xiao Zhan.

"Jangan memikirkan kekasihmu jika tidak ingin dia jadi cacat dan menderita seumur hidupnya." Wang Yibo berbisik sambil merapikan sarung tangannya yang memang agak longgar.

Merasa tidak bisa menyanggah apapun, Xuan Lu semakin memperdalam tundukan kepalanya sebelum kemudian berdiri tegak dan menatap ke dalam dua netra hitam legam di hadapannya itu. Mencoba membuat garis lengkung di bibirnya agar terlihat tulus untuk semua orang di sekitarnya. Wang Yibo pun membalas senyum itu dengan hal yang sama.

Acara yang sejak tadi ditunggu-tunggu pun dimulai. Pendeta sudah bersiap di tempatnya untuk memimpin semua rangkaian tata cara pernikahan dengan mengucap janji suci di hadapan Tuhan. Semua berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Sampai akhirnya semua berubah gaduh karena Xuan Lu tiba-tiba berlari meninggalkan aula dengan kaki telanjang.

Beberapa bodyguard yang coba menghentikannya dengan cara menghadang di depan pintu pun tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik. Xuan Lu yang meski menggunakan gaun, tetapi dia sudah lulus dari semua kategori bela diri. Bisa dipastikan kalau ia akan dengan mudah menumbangkan para pria bertubuh kekar nan identik dengan pakaian serba hitam dan alat komunikasi di telinga masing-masing tersebut.

Tidak peduli dengan sorotan kamera media yang mengambil gambar ataupun videonya secara berdesak-desakan. Xuan Lu hanya peduli dengan keselamatan statusnya sebagai kekasih Xiao Zhan. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan padanya juga tidak ada satupun yang dijawab. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, Xuan Lu hanya mengatakan agar media bertanya langsung saja pada Wang Yibo.

Sementara calon pengantin wanita sudah pergi dengan mobilnya, Wang Yibo yang masih di dalam aula bersama para kerabat dan tamu paling penting pun hanya bisa berteriak frustasi. Ia sangat marah dan mengacak-acak dekorasi apapun yang ada di dekatnya.

Orang tua dan kerabat Xuan Lu berusaha meminta maaf dan berjanji akan membawa putri mereka kembali ke pelukan  Wang Yibo. Hanya saja, kata maaf dan janji semata sama sekali tidak membuat Wang Yibo merasa puas. Ia mulai tertawa sinis dan berkacak pinggang di hadapan keluarga wanita yang sudah mempermainkan perasaannya itu.

Wang Yibo melempar tiga guci antik berukuran cukup besar hingga pecah berserakan setelah membentur dinding dan lantai aula. Amarahnya memuncak. "Maaf? Untuk apa kata maaf?! Untuk apa?!"

Teriakan itu membuat aula sejenak menjadi sangat hening karena semua orang terkejut. Melihat bagaimana reaksi Wang Yibo yang terlihat begitu depresi, para wartawan pun mengambil kesempatan untuk mengabadikannya karena hal tersebut bisa menjadi berita yang sangat besar dan menguntungkan perusahaan redaksi.

Melihat banyaknya kelap-kelip lampu kamera, Wang Yibo langsung beranjak mendekati semua wartawan dan tanpa aba-aba menepis dan melempar semua kamera yang berhasil ia dapatkan. Tidak lagi ia peduli bahwa tindakan itu justru semakin memperkeruh keadaan.

Di sisi lain, sang ibu yang sudah lemas karena pusing menahan rasa malu yang teramat besar ditambah dengan melihat betapa frustasi anak ketiganya itu langsung jatuh pingsan dan membuat panik pada kerabat. Wang Yibo yang tadi masih berusaha mengambil kamera wartawan seketika menoleh dan sontak berlari menghampiri wanita yang telah melahirkannya itu.

"Aya cepat bawa Ibu ke rumah sakit, Kak!" Seorang gadis berusia delapan belas tahun terlihat sudah menangis tersedu-sedu.

"Cepat bawa Ibu ke rumah sakit terdekat! Biar lain kali saja kuurusi para bedebah sialan di sini!" Wang Yibo sedikit melirik ke arah kerabat Xuan Lu saat menyebutkan kata 'bedebah' tadi.

Setelah semua anggota keluarga Wang pergi dari sana, giliran keluarga pengantin wanita yang kini merasa frustasi. Mereka harus menanggung rasa malu paling besar dalam kasus ini. Pasangan suami-istri—Nyonya Hu dan Tuan Shen—yang merupakan ibu kandung dan ayah sambung dari Xuan Lu itu sudah ikut berusaha dengan melacak keberadaan putri mereka.

"Anak sialan! Bisa-bisanya dia kabur seperti ini. Apa dia dilahirkan dengan tidak memiliki rasa malu? Apa aku pernah memberikannya pendidikan yang rendah?! Dasar tidak tahu diuntung!" Nyonya Yu akhirnya bisa mengomel setelah tadi sempat ditahan.

"Perusahaan kita bisa mengalami defisit kalau begini ceritanya. Anakmu itu benar-benar tidak tahu terima kasih!" Kali ini giliran Tuan Shen yang meluapkan amarahnya.

* * * * *

Seorang remaja laki-laki tengah asyik menyirami tanaman hiasnya yang tumbuh subur di sebuah taman kecil di pekarangan sebuah rumah minimalis. Hanya saja, kesenangan itu harus berakhir setelah melihat sebuah mobil berwarna hitam metalik berhenti tepat di dekat pagar. Mengenali siapa si pemilik mobil, remaja itu lantas berlari kecil untuk menghampirinya.

Sedetik kemudian, entah ia harus bersyukur atau marah karena wanita tercintanya tidak jadi menikah dengan orang lain. Remaja itu—Xiao Zhan—memberikan sebuah pelukan hangat pada Xuan Lu yang baru datang dengan penampilan yang jauh dari kata rapi; membuatnya terlihat tidak seperti keturunan darah biru nan terkenal di seantero tempat tinggalnya bahkan dunia.

"Bukannya kau ...." Xiao Zhan agak ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Akan kujelaskan nanti, Sayang. Sekarang kita harus pergi jauh dari kota atau bahkan negara ini. Aku tidak ingin dipisahkan darimu untuk yang kedua kalinya." Xuan Lu menangis hingga membuat bahu kanan Xiao Zhan terasa hangat dan basah.

"Ta-tapi aku tidak mungkin meninggalkan Ibu, Yuchen, dan A-Xing di sini." Xiao Zhan terdiam sejenak, "lagipula, kemana kita harus pergi?"

Xuan Lu jadi ikut terdiam. Sejurus kemudian ia membawa mobil masuk ke halaman belakang rumah Xiao Zhan yang cukup tertutup karena pagar temboknya yang cukup tinggi serta banyak pepohonan berdaun lebat yang rasanya cukup untuk menyembunyikan kendaraan roda empat tersebut.

Bukannya lancang, tetapi Xuan Lu sudah terbiasa keluar-masuk rumah Xiao Zhan sejak awal berpacaran. Ia sudah akrab dengan seluk-beluk rumah paling sejuk dan asri di lingkungan tersebut. Di dalam, ia mendapati sosok wanita paruh baya yang tengah menemani seorang anak kecil bermain permainan bongkar pasang. Ia menyapa wanita yang tidak lain adalah Liu Tingyu—Ibu Xiao Zhan.

Awalnya wanita yang biasa disapa Nyonya Liu itu terkejut dan tidak habis pikir tentang penampilan Xuan Lu saat ini, tetapi setelah mendengarkan semua penjelasan dari semua kejadian yang dialaminya satu jam yang lalu itu berhasil membuat Nyonya Liu jadi paham.

Akan tetapi, wanita berusia lima puluh tahun itu tetap saja merasa harus memarahi Xuan Lu. Ia yang juga berstatus sebagai seorang ibu pasti bisa mengerti lebih baik tentang bagaimana perasaan ibunya Xuan Lu saat ini. Nyonya Liu yang tegas dan bijak namun tetap bertutur kata lembut itu mulai mengomel dan menasehati Xuan Lu  di waktu yang sama.

Setelah situasi menjadi lebih tenang, Xuan Lu mengatakan bahwa ia berniat kabur ke negara lain bersama Xiao Zhan. Sebelum wanita paruh baya itu menyuarakan protesnya, Xuan Lu sudah lebih dulu memberikan penjelasan yang masuk akal serta berjanji akan segera pulang setelah pemberitaan di media tentang kasus hari ini sudah surut.

Dengan berat hati, Xiao Zhan menuruti Nyonya Liu yang memintanya untuk melindungi Xuan Lu. Wanita itu juga mengatakan bahwa dirinya dan Zheng Fanxing—adik tiri Xiao Zhan—akan baik-baik saja selama ada Chao Yuchen—sepupu Xiao Zhan—di samping mereka. Ia juga meminta agar keduanya tidak membuang-buang waktu karena mungkin saja sekarang dua keluarga yang kehilangan jejak itu tengah berusaha mencari tetap ya keberadaan Xuan Lu.

"Zhan Gege, aku ingin ikut pergi." Bocah berusia empat tahun itu memeluk kaki kanan Xiao Zhan sambil terus merengek ingin ikut.

Merasa tidak tega, Xiao Zhan pun Coba untuk memberi pengertian. "Gege janji akan menjemput A-Xing, Ibu, dan Chen Gege untuk ikut pergi secepatnya. Untuk sekarang biarkan Gege dan Jiejie berangkat duluan, ya, anak baik. Sudah, jangan menangis. Laki-laki tangguh itu tidak boleh meneteskan air matanya kecuali saat kehilangan orang tua."

"Janji akan menjemput kami, ya." Zheng Fanxing menunjukkan jari kelingkingnya sambil berusaha menahan air mata yang berusaha mendobrak pertahanan kelopak matanya yang memerah.

"Iya, janji!" Xiao Zhan menautkan jari kelingkingnya dengan milik Zheng Fanxing.

* * * * *

Perjalanan dari Beijing ke Jilin mungkin tidak sampai memakan waktu seharian, tetapi tetap saja melelahkan karena mereka harus melangkah dan bergerak dengan waspada; terkadang sampai harus sembunyi-sembunyi di tempat yang tidak layak saat tidak sengaja melihat beberapa orang yang mereka kenal.

Di kota itu, Xiao Zhan dan Xuan Lu menyewa salah satu kamar di sebuah bangun flat sederhana untuk dijadikan tempat tinggal. Beruntung Xuan Lu berhasil mencairkan semua uang di tabungan rahasianya bersama Xiao Zhan dan akan digunakan sebagai bahaya hidup dan mungkin juga bisa untuk dijadikan modal usaha. Meskipun bisa saja keuntungan dari usaha atau bisnis sederhana itu tidak besar, tetapi pasti akan cukup untuk memenuhi biaya hidup.

Setelah tiga jam melakukan pekerjaan beres-beres, Xuan Lu dan sang kekasih akhirnya jatuh tertidur karena merasa kelelahan. Sampai pagi menjelang, bahkan saat matahari sudah cukup tinggi pun keduanya belum juga bangun. Dan, di pukul tiga sore akhirnya Xuan Lu terbangun dan segera pergi mandi. Ia juga membangunkan Xiao Zhan dan mulai memasak serta menyajikan hidangan makan hari ini sementara sang kekasih mandi.

Setelah selesai makan dan mencuci piring, Xuan Lu mulai membahas soal ide Xiao Zhan yang mengatakan ingin membeli sebuah kedai untuk mereka berjualan karena mengingat bahwa keduanya sama-sama sangat pandai memasak, baik itu masakan lokal ataupun mancanegara.

Di sini mereka sekarang, berdiri di depan sebuah kedai bergaya klasik dan sedikit sentuhan interior modern. Bangunan berlantai dua yang berhasil mereka beli dengan harga yang ramah untuk kondisi keuangan mereka saat ini. Xiao Zhan bersyukur tentang fakta bahwa Tuhan memang tidak pernah memberikan ujian yang melampaui batas kemampuan semua makhluk ciptaan-Nya.

"Kita akan mulai bekerja lusa nanti, Xuan Lu. Sekarang waktunya menata ulang kedai ini, membeli peralatan dan bahan-bahan masakan, setelah itu memikirkan tentang menu apa saja yang harus kita jual nanti." Xiao Zhan merangkul pundak kekasihnya itu dengan lembut.

"Bagaimana kalau kita buat satu masakan istimewa dan membagikannya secara gratis bersama sebuah selebaran? Aku yakin cara itu bisa membuat kedai kita mendapatkan pelanggan dalam waktu cepat." Xuan Lu memberi saran lalu tersenyum.

"Ide yang bagus. Kalau begitu jangan hanya makanannya saja. Bagaimana ditambah segelas kecil minuman segar?" tanya Xiao Zhan antusias.

Xuan Lu mengangguk cepat. "Aku setuju!"

____________________________________