webnovel

Listia Milik Tazki

Banyak hal di dunia ini yang dipertanyakan oleh Listia. Salah satunya tentang cinta. Hidup bersama tantenya sejak kecil membuat Listia tak banyak merasakan cinta kasih dari kedua orang tuanya. Tazki yang merupakan sahabat Listia sedari kecil selalu mencoba memberikan kasih cinta itu kepada Listia. Janji Tazki kepada Listia hanya satu, "Gue gak akan bikin lo sedih." All Right Reserved | 2023

floonately · Teen
Not enough ratings
9 Chs

Bab 6

Koridor sekolah mulai sepi. Bel masuk telah berbunyi semenjak lima menit lalu. Tetapi, dua murid yang saat ini tertawa dan sibuk bergurau sepanjang koridor, masih enggan memasuki kelas masing-masing setelah puas menyantap semangkuk bakso di kantin.

"Rambut lo bau banget dah." Tazki mengendus rambut sahabatnya dengan sengaja.

"Masa, sih?" hidung Listia ikut memastikan apa yang dikatakan Tazki.

"Tapi, bohong." laki-laki itu tertawa. Menarik rambut Listia ke belakang, lalu berlari mendahului gadis yang melipat wajahnya sambil mencoba mengejar jejak kaki lebarnya.

Listia memukul kepala Tazki begitu dirinya berhasil mensejajarkan langkah kaki sahabatnya. Alih-alih membalas, laki-laki itu justru tersenyum geli dengan mata yang menjurus ke arah Listia─yang masih melipat wajah.

Aha! Di kepala Tazki muncul sebuah ide cemerlang. Matanya bergerak tak tentu arah, pertanda bahwa ia sedang berpikir. Sejurus kemudian, satu kecupan ia daratkan pada pipi kanan sahabatnya itu yang berlangsung selama satu detik saja.

Listia terlonjak. Spontan membuka mulut dan matanya terbuka lebar. Lain lagi dengan Tazki. Laki-laki itu mengulum senyum geli, sesekali keluar tawa kecil yang berasal dari bibir jahilnya yang tak ada henti-hentinya menggoda Listia.

"TAZKI GILA, YA?!" teriak Listia histeris. Tazki buru-buru menempatkan telunjuk kanannya di depan mulut, menyuruh gadis itu untuk tetap tenang.

"Ada pelajaran!" desis Tazki. Kakinya dipercepat dan merangkul pundak Listia untuk mengikuti langkah.

"Kamu ngapain cium-cium Listia, hah?!" suara Listia juga berdesis. Jantungnya terpompa sangat hebat.

Tazki masih menyuruh sahabatnya itu untuk tetap diam dan memelankan volume suara. Listia berusaha melepas rangkulan pada pundaknya. Mereka beragumen dengan suara yang samar tanpa menyadari ada manusia lain yang memerhatikan mereka begitu lekat.

Perhatian manusia dengan jumlah yang sama seperti mereka sepertinya begitu menusuk, sehingga Listia menolehkan kepala, disusul oleh Tazki, mengikuti arah yang sama seperti gadis di sampingnya.

Napas Listia tercekat. Entah karena efek kecupan yang diberikan Tazki beberapa menit lalu atau karena melihat sosok laki-laki yang menatapnya dingin dari arah yang berlawanan. Gadis itu menarik lengan Tazki cepat. Menyembunyikan wajahnya yang memanas di balik lengan laki-laki di samping. Pemilik lengan menunjukkan wajah bingung selama beberapa detik. Kaki mereka masih bergerak maju. Tangan mungil Listia meremas lengan yang tertutup seragam dan memberikan kode untuk tetap berjalan.

Tazki tertoleh. Sejenak, matanya melirik salah satu kakak kelas yang terkenal sebagai juara pararel jurusan IPA seangkatan. Dirinya melepas nafas panjang. Mengalihkan pandang menuju Listia yang menunduk begitu dalam. Dapat ia lihat, ada titik-titik merah yang menghiasi wajah sahabatnya. Untuk kesekian kali, hatinya lagi-lagi memanas untuk alasan yang sama.

**

Setelah pertemuan tak terduga yang terjadi di salah satu koridor sekolah mereka yang terletak di lantai dua, baik Fatur maupun Roni sama sekali tak bersuara. Beberapa kali Roni melemparkan wajah penuh tanya, bibir Fatur masih terkatup rapat, enggan menjelaskan apa-apa.

"Itu tadi adek kelas yang ngirim lo surat?" Roni memberanikan diri.

Sayangnya tak ada jawaban dari Fatur.

"Amplop pink." tambah laki-laki itu. Dibalas tatapan datar. Roni justru menunjukkan cengiran lebar pada Fatur. "Lucu juga anaknya."

"Dih," timpal laki-laki di samping Roni yang terdengar sebagai gumaman. Bola matanya kembali lurus.

"Kok dia takut banget pas ketemu lo? Abis lo apain?"

"Gak gue apa-apain."

"Lo gigit, ya?" gurau Roni sambil terkekeh geli.

Fatur mendesis kesal. Tidak menindak lanjuti gurauan Roni yang menurutnya sangat-tidak-penting.

"Lo gak balik ke kelas?" ada kekesalan di balik kalimatnya untuk Roni.

"Kelas gue kan, di sebelah kelas lo, nyet."

Fatur berkedip beberapa kali. Baru teringat akan suatu hal dan berkata dengan enteng, "Oh, iya."

"Waaaaaa," Roni menggeleng pelan sambil berdecak. "Habis ketemu adek kelas yang itu jadi linglung gini lo." kemudian terbahak.

Langkah kaki Fatur terhenti tepat di depan pintu kelasnya. Wajahnya masih datar, menatap Roni. "Gak usah nyari perkara yang gak penting, deh."

Roni masih terbahak. Mencolek dagu Fatur tanpa dosa. "Ihiy! Abang Fatur."

"Anjir, apaan, sih?!"

"Waspada aja. Hati manusia itu punya tiga musim." tawa Roni mereda. "Hujan, panas, sama semi." wajah Fatur lantas kebingungan.

"Hujan pas lo lagi galau, panas pas lo lagi cemburu, semi pas lo lagi jatuh cinta." dia menjelaskan. "Gue bakal ketawa kalo musim semi lo, lo habisin sama adek kelas yang tadi." Roni tertawa geli.

"Ngomong apaan? Kagak ngerti gue."

Laki-laki itu menghela nafas panjang satu kali. Menepuk-nepuk pundak temannya yang masih terlihat bingung. "Intinya, jangan terlalu membenci suatu hal, jangan juga terlalu mencintai suatu hal. Kalo lo udah benci, bisa-bisa lo jatuh cinta. Sebaliknya juga gitu."

"Gak paham gue." kerutan di kening Fatur mengkerut.

Roni memutar bola mata. Merutuk Fatur dalam hati. "Susah ngomong soal hati sama cowok kayak lo. Gak pernah pacaran, sih."

"Ish," tangan Fatur melayang ke udara. Siap-siap melemparkan tinju ke wajah Roni. "Gak penting amat omongan lo."

Roni spontan mengambil langkah seribu untuk menghindari tinjuan Fatur. Sejenak terkekeh sambil menunjukkan wajah aneh untuk mengolok laki-laki yang masih berdiri di depan kelas.

"Nanti titip absen, ya?! Jangan lupa!" seru Roni.

Fatur tak berminat. Enggan mengiyakan amanah Roni. Kakinya memutuskan untuk melangkah masuk ke kelas yang masih ramai, menunggu guru pelajaran biologi masuk. Saat terduduk, otaknya berpikir. Hujan, panas, semi.

Sudah lama ia tak merasakan musim semi di hatinya lagi. Semenjak empat tahun itu terlewatkan.

**

"Listia pulang!"

Tita tertoleh. Kegiatannya terhenti. Ponakannya itu sampai di rumah tepat pukul tiga sore, di saat makanan yang akan ia sajikan belum selesai sepenuhnya.

"Belum selesai, nih. Kamu udah pulang aja." tangan Tita meletakkan tempat nasi beserta isinya di atas meja. Listia tertawa kecil. Mengambil langkah untuk melihat lebih dekat apa saja yang dibuat oleh tantenya.

"Tante tumben pulang jam segini? Gak lembur lagi?" gadis itu melepas tas punggung dan menempati kursi favoritnya.

"Sengaja pulang lebih awal, biar bisa makan sama kamu." jawab Tita tanpa meninggalkan urusan masak-memasaknya yang belum selesai. "Kamu biasanya makan apa kalo Tante tinggal?"

"Emm...." Listia berpikir. "Yang ada aja."

"Gak sampe makan mie instan, kan?"

"Enggak, lah!" timpal gadis itu kemudian. "Enggak kalo siang." disusul gelak tawa dari bibirnya.

Tita berdecak kesal. Matanya menyipit. Berjalan menuju meja makan sembari membawa dua piring di tangan, dengan isi yang cukup penuh di masing-masing piring.

"Menu hari ini soup merah dengan bakwan jagung." tutur tantenya semangat. Tersenyum puas saat meletakkan dua menu itu di atas meja, berdampingan dengan nasi yang masih mengepulkan asap panas.

Listia juga tersenyum riang melihat hasil kerja keras latihan memasak yang dilakukan Tita akhir-akhir ini. "Listia ganti baju dulu, ya? Gerah. Gak enak kalo makan sambil keringetan gini." lantas dirinya bangkit. Meraih tas punggung yang baru beberapa menit lalu diletakkan.

"Cepetan. Jangan lama-lama. Nanti keburu dingin." Tita buru-buru memperingatkan saat ponakannya itu mulai menaiki anak tangga.

Dengan langkah lelah dan berat, Listia menyahuti, "Iya!"

**

Mintil─kucing kesayangan keluar Bapak dan Ibu Hermawan─menyambut kedatangannya begitu dirinya membuka pintu rumah mereka dengan wajah lusuh seperti biasa. Kucing itu mengeong-ngeong manja pada majikannya yang saat ini tertawa gemas dan tengah mengusap bulu-bulu kucing berwarna abu-abu itu.

"Kamu kemarin lupa gak ngasih makan Mintil ya, Kak?" suara perempuan paruh baya yang sibuk memasukkan beberapa kotak bahan makanan ke almari es itu cukup membuat Tazki berjingkat. Mintil masih mengeong-ngeong seperti biasa.

"Lho, Ma? Kapan pulang?" tanya Tazki tak percaya. Seperti baru melihat sesosok makhluk astral di sore hari.

"Kamu sibuk apa sampe lupa ngasih makan kucing kita?" suara lain masuk begitu jelas ke indera pendengarannya. Mata Tazki semakin terbuka lebar dari detik ke detik.

"Lho, Pa? Ngapain di sini?" pertanyaan bodoh mencelos dari bibir tanpa disadari oleh dirinya sendiri.

Laki-laki yang tak lagi muda itu menarik kepala. Alisnya mengkerut karena pertanyaan Tazki. "Terserah Papa dong, mau ngapain di sini. Ini kan, rumah Papa."

Tazki masih belum mencerna situasi yang terjadi. Otaknya berhenti. "Kok gak bilang-bilang kalo pulang hari ini?" dirinya mendekat ke arah ayahnya yang terduduk di kursi tamu sembari memegang koran di kedua tangannya.

"Papa kamu kangen Mintil, jadi dia cancel semua rapatnya di Sydney." perempuan yang biasa disapa 'Tante Indah' oleh Listia menghampiri dua laki-laki paling penting di dunia sambil menyodorkan secangkir kopi dengan gula rendah kalori khusus untuk penderita diabetes.

Tazki bernapas panjang. Tidak puas dengan jawaban ibunya. "Yang bener deh, Ma." ucapnya setengah memohon.

Indah tertawa sesaat. Ikut terduduk bersama keduanya. "Papa pengen liat keadaan rumah selama ditinggal. Dan pas masuk, Papa kamu langsung masang tampang jijik liat cucian di mana-mana."

Mintil mengeong untuk sekian kalinya. Menjilati kaki Tazki yang masih terpasang kauskaki. Laki-laki tak merasa risih. Membiarkan kucing kesayangan keluarganya bergelut manja di kakinya yang memiliki bau khas seorang Tazki.

"Tata mana?" alih-alih menjelaskan tentang keadaan rumah yang jauh dari kata bersih, Tazki justru menanyakan keberadaan adik perempuan yang belum tertangkap mata semenjak dua bulan lalu.

Hermawan menyesap kopi buatan istrinya. Koran yang belum selesai ia baca, ditenggerkan di atas meja ruang tamu. "Dia langsung tidur. Kecapekan selama di pesawat."

"Adik kurangajar. Gak say hi ke kakaknya dulu, malah langsung tidur." gerutu Tazki entah pada siapa.

"Emang pas kamu ke Sydney, pernah sempet say hi ke adik kamu duluan? Paling juga langsung molor di kasurnya Tata sampe besok." Indah memberikan pembelaan pada anak perempuan yang masih terlelap.

Tazki terlihat pasrah. "Dari lahir sampe sekarang selalu Tazki dipojokin."

"Pada dasarnya cowok selalu salah, Taz." imbuh Hermawan yang meraih korannya lagi.

"Oh iya," suara ibunya membuat Tazki otomatis tertoleh. "Listia di rumah, kan?"

Laki-laki itu mengangguk sebelum menjawab, "Iya, tadi pulang bareng Tazki. Kenapa emangnya?"

"Mama punya oleh-oleh buat dia─"

"Sini, biar Tazki aja yang ngasih." potong Tazki pada kalimat Indah yang belum selesai. Tubuhnya bangkit dari sofa. Menanggalkan tas di bawah sofa yang ditempati.

"Apaan deh, kamu? Biar Mama sendiri aja yang ngasih." Indah menatap anak pertamanya penuh heran.

"Sini deh, biar aku aja yang ngasih. Udah lama juga gak ketemu sama Kak Listia." satu gadis menyela pembicaraan mereka. Berbalut pakaian rumahan yang terkesan amat santai, gadis itu menuruni anak tangga dan berangsur menuju dapur.

"Gak, gak. Gue aja." Tazki tidak begitu terkejut dengan kehadiran adik perempuannya yang tiba-tiba. Tangannya mengibas dengan raut wajah yang mulai kesal. "Balik tidur sana."

Setelah meneguk air putih banyak-banyak, gadis yang akrab disapa Tata itu lantas mengembalikan botol yang ia ambil dari dalam kulkas. "Bilang aja lo mau modus."

"Modus apa?" Indah menatap dua anaknya dari arah yang berlainan.

"Modus itu curi-curi kesempatan. Kebanyakan cowok yang ngelakuin itu ke cewek yang mereka suka." jelas Hermawan dengan santai.

"Nah," Tata menyetujui kalimat Hermawan. Tersenyum puas melihat wajah sebal kakaknya.

Indah terlihat bingung. Menjuruskan pandang lekat-lekat pada Tazki. "Kamu suka Listia?"

Tazki sontak terbatuk. Matanya hampir lepas saking kagetnya. "Enggak!"

"Halah! Kodok lu dasar! Kalo enggak, kenapa ngotot banget pengen ngasih oleh-oleh ke dia?" kalimat Tata memperkeruh keadaan.

"Gak usah bikin ricuh deh."

Tata melengos. Menaiki anak tangga untuk melanjutkan tidur. "Whatever, freak!"

Bibir laki-laki itu mendesis melihat tingkah adiknya yang begitu menyebalkan. Hampir melempar sepatu yang berada di luar jika Indah tidak segera mencubit perut ratanya.

"Jangan kasar-kasar sama adeknya!" Indah mendelik. Hermawan terkekeh. Mintil mengeong sembari bergelayut manja di kaki Indah, seperti ikut berada di pihak Tata yang kembali tidur.

Tazki memberengut. Kekesalannya bertambah saat matanya bertemu dengan mata biru kucing yang ia sayang dan benci dalam satu waktu. Merasa tak tahan, Tazki bangkit sambil menggeret tas sekenanya. "Cari makan sendiri lo, Til!"

"....meong~"