webnovel

Kasih yang bocor

Matahari yang hangat, kicauan burung yang merdu, bunga-bunga indah bermekaran... semuanya bisa dengan mudah dia dapatkan. Dulu semua terasa begitu indah di matanya...

Dulu.. Dia tetap merasakan indahnya malam yang gelap, bulan yang menyinarinya tiap kali dia akan tidur malam. Tidak sekalipun dia takut akan gelap, karena dia tahu tidak akan ada yang bisa melukainya. Tidak ada yang bisa membuatnya sedih atau terpuruk sekalipun.

Namun.. sekarang semuanya berbeda. Tidak ada satupun yang indah di matanya. Bahkan indahnya mentari pagi terlihat suram baginya, kicauan burung yang dulunya indah didengar kini bagaikan teriakan yang menyakitkan di telinganya.

Tiap malam dia sering terbangun dari mimpi buruknya dan tidak bisa tenang. Hatinya selalu dilingkupi kegelisahan dan dia sudah melupakan bagaimana caranya tersenyum.

Dia merasa dihadapannya hanyalah jurang tak berdasar dan kegelapan yang menantinya. Dia tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa berbahagia.

"Hey! Kau! Pergi sana! Jangan menghalangi tokoku!"

Joy menatap sedih pemilik toko yang baru saja mengusirnya. Dulu saat dia masih hidup makmur, Joy dan keluarganya seringkali membantu pemilik toko tersebut bila dia meminta bantuan.

Dulu Joy adalah anak yang berasal dari keluarga yang terbilang makmur. Keluarganya memiliki lebih dari sepuluh usaha di berbagai bidang yang tersebar di seluruh negeri.

Ibunya adalah seorang yang memiliki hati yang baik. Beliau tidak bisa tidak menolong orang orang yang meminta bantuannya.

Sedangkan ayahnya... Ayahnya hanya bekerja sekali dalam dua tahun. Ibunya selalu mengatakan padanya bahwa ayahnya sangatlah bodoh dan malas. Ayahnya tidak suka bekerja dan sering menghamburkan uang keluarga.

Memang.. Joy seringkali melihat ayahnya berada di rumah semenjak kecil, sedangkan ibunya terus pulang pergi untuk bekerja demi menghidupi mereka semua.

Namun kala itu Joy masihlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa apa. Yang dia tahu baik ayah maupun ibunya sangat menyayanginya dan akan membelikan apapun yang dia mau.

Hingga suatu hari... seorang kakak dari ibunya datang berkunjung ke rumah mereka. Dia yang masih kecil tidak tahu apa apa hanya bermain di kamarnya.

Dia bisa mendengar teriakan dari luar kamarnya.. suara dua wanita dan satu pria. Dia bisa mengenal suara ayah dan ibunya tanpa diketahuinya bahwa mereka bertiga sedang bertengkar hebat.

Setelah beberapa menit saling berteriak, si tante pun memutuskan untuk pulang.

Di hari hari berikutnya, Joy tidak melihat si ayah untuk beberapa bulan namun sering melihat tante yang berkunjung secara rutin.

"Joy, apa kamu sayang sama mama?" suatu saat tante bertanya padanya yang masih berusia delapan tahun.

"Iya, Joy sayang mama."

"Kalau papa?"

"Joy juga sayang papa."

"Kasian sekali. Kamu pasti tidak tahu. Papamu itu bukan orang yang baik. Dia itu pemalas, suka menghamburkan uang. Coba liat mamamu.. kasian mama yang kerja terus setiap hari sampai sakit."

Hati Joy bergetar mendengar itu. Seolah dia tidak percaya akan ucapan sang tante, dia bangkit berdiri untuk mencari ibunya.

"Mama?" panggil Joy ragu-ragu untuk masuk ke kamar ibunya.

Disana dia bisa melihat wajah kurus ibunya. Wajah yang letih tapi tetap menunjukkan senyumannya saat melihatnya.

"Iya, sayang. Ada apa?" tidak lama kemudian beliau terbatuk batuk. Wajahnya tampak pucat dan tak bertenaga.

Tumbuh dipenuhi dengan keyakinan bahwa kedua orangtuanya saling mengasihi, Joy kecil bertanya dengan polos. Dia yakin kalau ayahnya tahu bahwa ibunya sakit, ayahnya pasti segera pulang.

"Dimana papa?"

Bruak!! Terdengar suara bantingan yang sangat keras membuatnya terkejut sekaligus takut.

"Jangan panggil papa lagi. Dia orang yang tidak berguna!! Mamamu sakit begini tapi yang kau pikirkan cuman papa, huh!?"

Tangan Joy bergetar ketakutan di belakang pintu kamar, matanyapun mulai memerah. Air matanya mulai mengancam untuk keluar dari tempatnya.

"Joy sayang.. jangan ganggu mamamu sekarang. Ayo ikut tante."

Joy yang sedang ketakutan menurut pada ajakan tante dan duduk dengan nyaman di ruang tamu.

"Tante, papa dimana?"

"Mana tante tahu, bisa saja papamu lagi tidur tiduran di hotel. Dia kan malas bekerja."

"..." Meskipun dia masih kecil, tapi dia tahu akan hal ini. Untuk mendapatkan uang, seseorang harus bekerja dengan giat.

"Makanya Joy, akan lebih baik kalau papa mamamu itu bercerai. Pasti mama sehat lagi."

"Bercerai?"

"Iya, cerai itu artinya Joy sudah tidak punya papa lagi. Cuman mama saja. Lebih baik Joy tidak punya papa seperti itu. Joy mau mama sakit terus?"

Meskipun kalimat tante sangat tidak disukainya, tapi entah kenapa nada suaranya terdengar lembut di telinganya.

"Joy tidak mau mama sakit terus." ucap Joy sambil mengelap sisa air matanya.

"Kalau begitu lebih baik cerai kan? Nanti waktu papa pulang, coba Joy bilang sama papa ya. Siapa tahu mungkin papa mau dengar Joy."

Begitulah bisikan lembut itu terus terngiang di kepala kecil Joy. Dia memastikan diri untuk tidak lupa pesan dari tantenya.

Hanya supaya ibunya bisa sehat kembali, Joy harus bilang ke ayahnya untuk bercerai. Karena itu dengan sabar, Joy menunggu kepulangan ayahnya.

Satu hari... dua hari... satu minggu.. hingga akhrinya dua tahun penuh semenjak dia tidak melihat ayahnya, akhirnya si ayahpun kembali pulang.

Begitu mendengar suara ayahnya dari kamarnya, Joy langsung keluar untuk mengucapkan kata yang sudah ditanamkannya. Namun.. begitu matanya bertatapan dengan mata ayahnya, senyuman lebar yang menghiasi wajah kerut ayahnya, kata yang sudah diingatnya menghilang entah kemana.

"Joy! Bagaimana kabar putri papa tercinta?"

Biasanya dia akan berlari dan memeluk sambil mencium kedua pipi papanya. Tapi itu dua tahun yang lalu, sebelum dia mengetahui sifat 'buruk' ayahnya.

"Joy baik-baik saja." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, dia pun kembali ke kamarnya tanpa menunggu ayahnya yang sudah berjalan hendak memeluknya.

Di hatinya saat ini sudah tidak ada rasa sayang ataupun hormat pada ayahnya. Dia tidak ingin berbicara dengan ayahnya lebih dari lima menit.

Meskipun begitu dia tetap tidak mengucapkan 'kata' itu meskipun hampir tiap hari dia mendengar 'kata' itu terucap di mulut ibunya.

Dia terus bertahan hingga dia berusia enam belas tahun.

"Sampai kapan kau begini terus? Usaha kita sudah mengalami kerugian besar! Kau harus segera menutupinya." bentak ibunya.

"Menutupi pakai apa huh? Uang sudah tidak ada, lagipula, itu semua adalah perusahaanmu. Lakukan saja sesukamu."

"Dasar pemalas. Sudah lima tahun kau tidak bekerja dan hanya makan dan tidur saja. Apa kau sama sekali tidak memikirkan keluarga ini huh?"

"Aku sudah capek. Aku sudah tidak mau bekerja lagi. Memang kau mau apa huh?"

Saat itu juga jantung Joy terasa berhenti. Dia memang sudah tidak menyayangi ayahnya. Dia sudah menganggap dirinya tidak memiliki seorang ayah lagi.

Namun sekarang hatinya dilingkupi rasa amarah yang besar. Rasa amarah yang belum pernah dia rasakan sebelumnya... Benci... Dia sangat membenci ayahnya.

Tidak. Dia sangat membenci pria ini.