webnovel

The Azure Daisy

            Rabu, 9 Maret 20xx

Kemeja biru dilapisi blazer biru muda, celana bahan berwarna krem yang terpaksa dipakai sebagai celana yang tersisa karena beberapa hari terakhir ini aku malas mencuci, dan sneakers berwarna senada dengan celanaku. Semoga setelan yang memakan waktu sangat lama untuk kupilih ini bisa memberi kesan bagus bagi para petinggi Aster Biru. 

        Roti dengan selai kacang menjadi menu sarapan hari ini. Tidak mengenyangkan memang, tapi entah kenapa aku memang tidak terlalu berselera mengisi perut. Usai sekali lagi mengecek kelayakan penampilan dan memotivasi diri sendiri di hadapan cermin, akhirnya aku berangkat dari kosan dengan langkah mantap. Angin bertiup lembut menghembus rambutku yang diikat dengan gaya ekor kuda. Awal yang baru menanti, batinku. 

       Jam tangan menunjukkan pukul 08:45 saat aku tiba di halte terdekat dari kosan; 15 menit lebih awal dari jadwal penjemputan. Halte ini selalu cukup ramai khususnya di hari kerja, namun entah kenapa tak ada seorangpun yang berada di sana selain diriku. Bus kota yang biasanya hilir mudik pun tidak tampak. Aneh sekali memang. Setidaknya ini berarti aku bebas memilih tempat duduk untuk menunggu. 

          Waktu terasa berjalan lambat. Pikiranku melayang kembali ke surat yang kudapatkan kemarin. Sebuah limousine hanya untuk menjemput seorang guru? Yang benar saja. Apakah ini semacam prank untuk konten YouTube?

Seolah menjawab keraguanku, sebuah limousine hijau tosca berkaca hitam tiba-tiba muncul dari ujung jalan. Tepat ketika jam tanganku berbunyi 'bip', limousine itu berhenti di depanku.

         Kaca pintu depan terbuka dan dibaliknya kulihat seorang sopir berseragam dan bertopi berwarna senada dengan warna limousine. Matanya tertutup kacamata hitam.

"Ms. Levita Natsir?" tanyanya. 

"Ya, saya sendiri," jawabku singkat. 

Sang sopir mengangguk dan tak lama kemudian pintu belakang limousine terbuka. 

"Selamat pagi, saya Herman Mahmoed yang akan mengantar anda menuju Aster Biru. Silakan masuk," sopir itu memperkenalkan diri dengan ramah.

Jujur saja, dijemput limousine di sebuah halte sepi membuatku agak takut. Kuperhatikan sejenak limousine bernomor plat A 3927 V itu. Tidak ada yang mencurigakan. Semua terlihat sama seperti mobil mewah pada umumnya. Sekali lagi kuyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja, lalu kubuka pintu dan masuk ke dalamnya.

Limousine ini sangat mewah. Seumur-umur aku belum pernah naik mobil mewah seperti ini. Ketika sedang mengagumi interiornya, tiba-tiba aku diserang rasa kantuk yang luar biasa. Aduh, ini pasti karena aku belum ngopi pagi. Tak bisa kutahan kantukku. Penglihatan menjadi kabur seiring mataku yang terasa semakin berat, walau aku sempat melihat sekilas sebuah jembatan yang memiliki aneka warna, bagaikan pelangi. Semuanya kemudian menjadi gelap saat aku tertidur. 

Entah berapa lama waktu yang terlewat saat akhirnya aku tiba-tiba terbangun. Spontan kulihat jam tanganku. Hah? Hanya 5 menit aku tertidur? Tapi sepertinya lama sekali. 

Saat itu limousine berhenti di depan sebuah gerbang besar yang, setelah beberapa saat, terbuka secara otomatis. Loh, ternyata cepat sekali sampainya. Pasti lokasi ini tidak jauh dari kos-kosanku. Tapi kenapa aku sama sekali tak tahu?  Di mana ini?

            Ketika pintu gerbang terbuka, terlihat sepasang Siberian Husky terikat di tiang sebelah pos security. Walau terlihat santai, kewaspadaan terpancar dari mata mereka. Kalau anjing penjaganya saja seperti ini sudah pasti ini sekolah yang tidak murah, aku membatin. 

Apa yang kulihat selanjutnya membuatku semakin takjub. Sebuah bangunan luar biasa besar bercat dominan biru yang juga memiliki menara seperti istana di zaman abad pertengahan berdiri dengan gagah, dikelilingi taman yang penuh bunga aster berwarna serupa. Dengan melihat sepintas saja, aku menyadari bangunan ini dapat menampung ratusan, bahkan ribuan orang. Bagaimana mungkin tempat seperti ini tidak ada sama sekali di internet? 

Pak Herman menoleh sedikit ke arahku dan tersenyum tipis, seolah mengetahui apa yang kupikirkan. Walau demikian, dia tetap diam seribu bahasa tanpa mengatakan apapun. Aku bersiap mengutarakan pertanyaan, namun seperti bisa membaca pikiranku, tiba-tiba Pak Herman berkata,"Kita sudah sampai, Ms. Levita Natsir. Silahkan persiapkan diri Anda untuk turun."

        Limousine akhirnya berhenti di tengah sebuah lapangan. Pak Herman dengan cepat turun dan membukakan pintu. Saat turun dari limousine, aku melihat sepasang pria paruh baya berdiri di depan tiang bendera yang sepertinya menantikan kedatanganku. 

            "Selamat datang di sekolah Aster Biru, Ms. Levita Natsir. Senang bertemu dengan Anda," sapa salah satu pria tersebut sambil mengulurkan tangannya. Jenggotnya yang panjang dan rapi sangat mencolok. Pria yang menemaninya juga berjenggot rapi walaupun lebih tebal, dan sepertinya dia lebih tua dibanding pria yang menyapaku. 

            Aku berjalan mendekat dan berusaha menampilkan senyum terbaikku sambil menjabat tangan pria itu."Selamat pa…"

            Belum sempat aku menjawab salam secara utuh, tiba-tiba terdengar suara dentuman dari sebuah ruangan. Aku terkejut, tapi kedua pria di depanku hanya saling melirik sambil mengangkat bahu. 

            "Ehem, maafkan atas kejutannya. Itu...salah satu murid kami, Viktor, yang sedang berlatih. Selamat datang di SMU Aster Biru. Saya William Oktavian Dinarya, panggil saja Pak Wodin, Kepala Sekolah di sini,' ujar pria berjenggot rapi itu, sebelum memperkenalkan rekannya. "Ini Bapak Markus Ismail Mahabharata Ignatius Rombotter, panggil saja Pak Markus, Wakil Kepala Sekolah sekaligus penasihat akademik."

            Pak Markus hanya mengangguk singkat sambil menjabat tanganku. Kumis dan jenggotnya yang lebat sepertinya yang menghambatnya berbicara. Atau mungkin dia memang tidak suka banyak bicara? Entahlah. 

            "Mari kami ajak keliling sekolah," Pak  Wodin mempersilahkanku mengikutinya, disusul Pak Markus. 

            Baru saja aku akan melangkah, tiba-tiba terasa dorongan ingin buang air kecil. Pak Wodin menunjukkan arah WC dengan ramah dan, setelah berkali-kali minta maaf, aku bergegas mengikuti arah telunjuknya. Untunglah tidak terlalu sulit menemukan toilet itu. Tanpa membuang waktu, kubuka pintu toilet dan jantungku serasa mau copot saat melihat apa yang menantiku di dalam. 

          Aku melompat terkejut melihat tiga siswi menatapku dingin, tepat ketika aku membuka pintu. Satu duduk di sebelah wastafel, dua lainnya berjongkok di lantai. Wajah mereka sangat identik, hanya berbeda model rambut. Siswi yang duduk di sebelah wastafel berambut hitam panjang, sementara yang berjongkok di sebelah kanan berambut hitam bergelombang, dan yang di sebelah kiri berambut hitam pendek dengan model blow yang rapi. Apa yang mereka lakukan di sini? 

     Jantungku semakin berdebar saat mereka mulai menatapku tanpa ekspresi dan berbicara bergantian dengan nada datar. 

            "Guru baru?"

            "Selamat datang."

            'Senang bertemu dengan ibu."

            "Selamat datang, guru baru. Senang bertemu dengan ibu," tutup mereka bersamaan. 

            Aku tidak membuang waktu masuk ke salah satu toilet yang untungnya kosong. Cara  bicara yang ditambah tatapan dingin mereka benar-benar membuatku bergidik. Ketika akhirnya aku melangkah keluar dari toilet, mereka bertiga sudah menghilang tanpa bekas, seolah tak pernah ada siapapun disana sebelumnya. Tapi, kenapa tidak terdengar suara apapun? Jangankan suara langkah kaki orang ke pintu keluar, suara hembusan angin pun tidak kudengar. Kemana mereka? Atau jangan-jangan mereka itu… 

      Kurasakan bulu tengkuk meremang dan darahku berdesir. Aku menggelengkan kepala dengan keras untuk mengusir berbagai pikiran aneh yang bermunculan. Kejadian ini tidak boleh membuatku menjadi gentar. Kuyakinkan diriku bahwa tidak ada hantu dan semacamnya di sekolah elit ini.

       Setelah membasuh wajah berkali-kali di wastafel dekat pintu WC, kutatap cermin di hadapanku sambil berkata pelan. Mereka hanya sekumpulan siswi aneh…mereka hanya sekumpulan siswi aneh…kau hanya tegang, Levita…tarik nafas…lepaskan…

      Entah apa lagi kejutan yang menantiku di sekolah ini. Aku merasa pertemuan dengan tiga siswi barusan hanyalah permulaan dari rangkaian peristiwa yang semoga tidak akan mengurungkan niatku mengajar di sini.