webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Not enough ratings
48 Chs

Truth (2)

"Lennox!?" Teriak Raymond yang tadinya sedang sibuk membereskan meja makan itu segera menghentikan kegiatannya dan berlari mendekatiku.

"Selamat datang." Ucapku ketika Raymond sedang berlari ke arahku.

Aku sudah terbiasa melakukan ini, setiap Raymond pulang ke rumah aku selalu menyambutnya dengan kalimat selamat datang. Tidak hanya ketika aku melihatnya baru pulang kerja, bahkan jika aku baru bangun tidur dan dia sudah di dapur, aku juga pasti akan menyambutnya. Karena menurutku ketika aku melihatnya lagi setelah seharian terpisah, aku harus mengucapkan kalimat itu, tidak peduli apakah waktu itu tepat atau tidak.

"Kenapa tidak memanggilku?" Ucapnya yang kini sedang merangkul pinggangku.

"Aku haus." Jawabku jujur.

"Ah, aku pulang." Ucapnya lalu kemudian mengecup dahiku dengan cepat.

Aku hanya tersenyum kecil setelah mendapatkan kecupan di dahiku. "Malu, ada Eckart."

Aku melirik ke arah meja makan tempat Eckart sedang duduk. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Ada kerinduan dan juga kesedihan dari sorot matanya. Aku tidak mengerti kenapa Eckart memandangku seperti itu saat ini.

Dengan bantuan Raymond, aku berjalan menuju meja makan. Malu sebenarnya, tapi entah kenapa rasanya aku tidak punya tenaga yang cukup untuk berjalan dari posisi sebelumnya.

Raymond menarik salah satu kursi dan mendudukkanku, "Terima kasih."

Raymond tersenyum, "Aku ambilkan minum."

Dia berbalik dan berjalan beberapa langkah menuju dispenser, tak lupa mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Kemudian dia membawa air itu untukku.

"Minumlah." Ujarnya sambil meletakkan gelas itu tepat di hadapanku, "Kamu ingin makan? Aku membuatkan lasagna, masih ada dan tinggal di panaskan."

Aku mengangguk, "Sedikit saja."

"Baiklah, aku membereskan ini dulu sebentar ya." Raymond mengecup pucuk kepalaku dan kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda.

Eckart yang sejak tadi mengamati kami berdua akhirnya membuka suara, "Masih pusing?"

"Aku sudah baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya."

"Syukurlah. Aku sempat panik tadi pas kamu pingsan."

Aku hanya tersenyum, "Terima kasih sudah menolongku."

"Aku panik sekali tadi." Ujar Raymond.

"Eckart pasti menghubungimu?" Tanyaku.

"Ya. Pas aku pulang, sudah ada dokter dan kamu harus lihat wajah Eckart kalau lagi panik. Tidak seperti Eckart sama sekali." Ucap Raymond.

"Coba kalau kamu berada di posisiku Ray. Orang yang tadinya tersenyum sambil berbicang-bincang dengan Nuri dan kemudian tiba-tiba pingsan di hadapanmu. Apa tidak akan panik?"

"Sudah-sudah, yang penting aku sudah bangun kan?" Ucapku untuk membuat obrolan ini segera selesai karena kepalaku jadi sedikit sakit mendengar perdebatan kedua sepupu ini.

Setelah perdebatan tentang aku pingsan itu selesai. Kami akhirnya mengobrol ringan. Aku sambil makan, Ray sambil mencuci piring kotor, dan Eckart sambil mengamatiku makan.

Ray dan Eckart masih sibuk berbicara. Aku yang merada di abaikan kemudian meletakkan garpu dan sendokku. Menyenderkan tubuhku di kursi.

"Apa jadinya jika seorang Lennox Selim hamil?" Tanyaku tiba-tiba.

Suasana yang tadinya hangat kini menjadi sunyi. Tidak ada satupun yang membuka suara dan sepertinya keduanya mengetahui tentang kehamilanku. Tapi entahlah, aku tidak yakin Eckart tahu atau tidak.

Sreeekk..

Terdengar suara kursi yang bergeser memecah kesunyian.

"Sudah jam segini, sepertinya aku dan Nuri harus pulang." Ujar Eckart sambil berdiri dari kursinya.

##

Raymond kini telah kembali dari mengantar Eckart ke bawah. Aku juga tadinya ingin ikut, tapi Raymond melarangku. Angin malam tidak baik untuk kesehatan katanya dan aku pun menurut saja. Mengingat aku kan sedang hamil.

Sejak tadi aku duduk di sofa, menonton serial favoritku sambil memakan buah apel dan strawberry untuk mengganti lasagna yang sukses kumuntahkan sesaat setelah Eckart pamit ingin pulang.

Raymond duduk di sampingku, cukup dekat hingga lengan kami bersentuhan. Aku menghiraukannya, mataku tetap terfokus pada televisi di depanku serta tanganku yang juga sibuk menyuapi potongan apel ke mulutku.

Raymond menyenggolku pelan. "Lennox." Panggilnya.

"Mmn."

"Lennox." Raymond kembali menyenggol sambil memanggil namaku.

"Mmn."

Raymond menyenggolku lagi dan membuatku sedikit kesal.

"Apa? Lennax, Lennox." Ujarku dengan nada kesal.

"Hadap sini."

Aku menoleh, "Apa?"

"Jangan marah."

"Tidak marah." Jawabku sambil menoleh kembali menonton serial tadi.

Raymond menempelkan jari telunjukkan pada kerutan di antara kedua alisku. "Ini, tandanya kamu sedang marah."

"Aku tidak!" Ucapku dengan nada kesal.

Raymond yang mendapat respon seperti itu dariku kemudian mengubah raut wajahnya menjadi serius. Aku yang melihat wajah seriusnya merasa sedikit takut. Aku selalu tidak suka dengan wajah serius Raymond sejak dulu.

"Bagaimana kalau itu anakku?" Tanya Raymond.

"...."

"Lennox, aku tanya, bagaimana kalau itu anakku?"

"Ya bagus, berarti tinggal menikah nanti." Jawabku asal dan kemudian mengalihkan pandanganku ke layar televisi yang masih menampilkan serial favoritku.

"Kalau itu anaknya... Eckart?" Tanyanya dengan nada ragu.

"Ya tinggal menikah juga."

"Kalau an-"

Aku menoleh dan menatap Raymond dengan tajam. "Mau itu anak siapapun, aku tinggal menikah setelah aku melahirkannya. Aku tidak peduli. Dan jika kamu tanya aku marah atau tidak, jawabannya iya. Aku marah karena semua orang menyembunyikan kenyataan ini."

"... Aku koma hampir dua bulan lamanya. Aku kehilangan ingatanku. Parahnya lagi aku tidak tahu bagaimana hasil pemeriksaanku. Dan tiba-tiba saja aku dinyatakan hamil. Menurutmu bagaimana perasaanku?"

"... Aku kecewa, harusnya kamu jujur padaku, kamu yang berada paling dekat denganku sejak dulu dan juga saat ini. Kenapa Ray? Apa sesulit itu untuk mengatakannya?"

Aku meluapkan semua unek-unek yang sejak pemeriksaan itu.

"Hiks.. Aku kecewa." Aku mulai terisak.

Raymond mengambil mangkuk kecil yang masih berisi beberapa potong apel dan strawberry dari tanganku, meletakkannya di atas meja yang berada tepat di depan sofa yang kami duduki.

Dia kemudian menarikku ke pelukannya. Disandarkannya kepalaku di dada bidangnya. Raymond berusaha menenangkanku. Namun, bukannya semakin mereda, isakanku semakin menjadi-jadi. Kini mulai terasa elusan lembut di kepalaku.

"Maafkan aku."

"Hiks.. aku sudah.. hiks.. bilang, jangan minta.. hiks.. maaf."

"Lalu aku harus bagaimana Lennox?"

"Aku tidak.. hiks.. tau."

"Aku bukannya tidak ingin mengatakannya padamu. Aku juga bingung. Jujur, aku memang melakukannya denganmu ketika kamu sedang heat dan itu beberapa minggu sebelum kamu koma. Dan ada kejadian yang tidak terduga yang sepertinya bisa memicu kehamilanmu juga."

"... Tapi aku tidak yakin. Jika itu memang anakku, aku akan sangat senang sekali. tapi bagaimana jika ternyata itu bukan anakku? Aku tidak mau mengecewakanmu dengan fakta yang aku katakan itu ternyata hanyalah sebuah kebohongan."

"... Aku bingung Len. Aku bingung harus bagaimana."

Benar, benar yang dikatakan Raymond. Dia tidak bisa gegabah. Aku seharusnya bisa mengerti perasaan Raymond. Bukan justru menyalahkannya. Bukan juga menumpahkan semua tanggung jawab padanya.

"Maaf."

"Tidak perlu minta maaf."

"Maafkan aku Ray."

"Tidak, bukan salahmu. Aku memang seharusnya mengatakan semuanya. Ini salahku."

"Aku..."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Raymond melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.

"Sudah, jangan bersedih lagi, okay?"

Aku menggelengkan kepala, "Tidak. Tidak sedih lagi."

Raymond menyeka sisa air mataku. "Yang terpenting sekarang kamu harus tetap sehat. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Bagiku, mau anak siapapun mereka, aku akan tetap menyayanginya."

"... Jadi sekarang kamu jangan nangis ya, nanti Lennox junior ini ikut menangis juga."