webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Not enough ratings
48 Chs

Kisses

Aku sedang mengeringkan rambutku ketika pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Aku sudah tahu siapa pelakunya, jadi aku tidak terkejut sama sekali ketika membuka pintu kamarku. Sang pelaku hanya terdiam mematung.

"Kalau tidak terlalu penting, besok saja. Aku mau tidur." Ujarku sambil mendorong pintu kamarku.

Namun tangan kekar itu menahannya, "Aku mau bicara, tapi tidak di sini."

Aku menghela nafas, "Baiklah."

Eckart berbalik dan berjalan menuju ruang keluarga. Aku mengekor di belakangnya.

Hanya ada kami berdua, Nuri sudah di kamarnya. Aku dan Eckart duduk saling berhadapan. Dengan aku yang tidak berani menatapnya. Mataku berlarian kesana kemari.

"Kejadian kemarin, aku minta maaf." Ujarnya lemah, hampir seperti gumaman.

"Aku sudah lupa, jangan dibahas lagi."

Kami kembali terdiam. Hanya terdengar suara detik jarum jam yang terus berdetak memecah kesunyian di antara kami berdua.

Aku yang tidak tahan dengan suasana ini memutuskan untuk berdiri, "Kalau sudah selesai, aku pamit tidur."

Aku yang baru akan melangkah tertahan oleh genggaman Eckart.

"A-aku belum selesai."

Sambil menyelesaikan kata-katanya, Eckart melangkah mendekatiku. Sekarang kami saling berhadapan dengan posisi yang sangat dekat. Aku bahkan bisa mencium aroma tubuhnya. Tangannya masih menggenggam pergelangan tanganku. Seperti tidak ada niat sama sekali untuk melepasnya.

'Kenapa Eckart jadi seperti ini?' Batinku.

"Apa lagi?" Jawabku dengan nada tidak bersemangat.

"Pria itu, siapa?"

Aku menatapnya dengan tatapan bingung, "Pria yang mana? Bukannya kamu sudah tahu."

Ya, Eckart sudah tahu siapa yang berani menebar begitu banyak feromon di rumahnya pada hari itu.

"Tadi pagi, pria yang tadi di ceritakan Nuri."

"Bukan urusanmu." Jawabku acuh.

Eckart terdiam, tidak dapat berkata apa-apa. Aku yang menyadari hal ini kemudian melepaskan genggaman pada pergelangan tanganku.

"Lepas, aku mau tidur." Mehentakkan tanganku dan berbalik.

Eckart kembali menangkap pergelangan tanganku. Tangannya yang bebas kemudian meraih pinggangku dan membawaku dalam dekapannya. Aku yang terkejut, tidak dapat melakukan apa-apa. Tidak juga memberikan penolakan. Seperti tersihir oleh tatapannya yang sayu.

Tatapan kami saling bertemu. Bola mata coklat itu mencoba mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa. Tatapannya tajam seolah dapat mengorek semua isi dalam pikiranku.

Sepersekian detik otakku yang tadinya berhenti bekerja, kini berfungsi kembali.

"Eckart lepas."

Aku mencoba mendorong tubuhnya agar terlepas dari pelukannya. Namun sia-sia, Eckart jauh lebih kuat dariku. Dekapannya semakin erat, bahkan sekarang wajah kami seperti akan berciuman.

Aku yang mengira Eckart ingin menciumku ternyata salah besar. Sekarang kepalanya bersandar di pundakku. Tubuh Eckart sedikit membungkuk, mengingat perbedaan tinggi kami berdua cukup jauh.

"Sebentar saja." Ucapnya lirih.

Seperti sudah terbiasa, kedua tanganku membalas pelukan Eckart. Sepertinya suasana hatinya sedang risau, jadi aku berinisiatif menepuk lembut punggungnya yang lebar.

Tapi ternyata aku mendapatkan reaksi yang berbeda. Tubuh yang tadinya biasa saja kini menegang, aku bisa merasakannya melalui otot punggung Eckart yang walaupun terhalangi kaos masih bisa dirasakan jari-jariku dengan jelas.

Menyadari hal ini, aku merasa sedikit takut. Jantungku mulai berdetak cepat.

"Eckart." Panggilku.

'Cup!'

Aku merasakan sentuhan lembut bibir Eckart di leherku - sekali.

'Cup!'

'Cup!'

Kecupan itu berlanjut dan berpindah-pindah tempat. Kini bibir itu mengecup leherku bagian depan.

Walaupun pikiranku menjerit memerintahkan diriku untuk menjauh, tapi tubuh bodohku ini ternyata lebih jujur. Aku tidak bergerak sama sekali. Seperti tersihir oleh setiap sentuhan bibir yang mendarat di leherku.

Setelah puas menciumi seluruh bagian leherku, Eckart kini menatapku dengan tatapan sayu. Nafasnya tidak teratur. Wajahnya memerah dan aku bisa merasakan suhu tubuh Eckart kini menghangat.

'Ini pertanda buruk.' Batinku.

Dan benar saja, kini Eckart mendaratkan bibirnya di bibirku. Aku tidak merespon ciumannya sama sekali. Bibirku masih tetap terkunci rapat.

Merasa tidak mendapatkan respon, tangan Eckart yang tadinya memeluk tubuhku kini salah satunya bergerak dan kemudian menyentuh telingaku dengan lembut. Aku kaget dan mulutku yang tadinya terkunci kini terbuka.

Seperti mendapatkan kesempatan, lidahnya kini menerobos masuk ke dalam rongga mulutku.

Otakku berteriak, antara marah dan kegirangan. Aku tidak tahu, tapi yang pasti tubuh omega bodohku ini merespon ciuman itu dengan senang hati. Mataku terpejam menikmati pagutan dari bibir Eckart yang entah kenapa terasa manis sekali.

"Nghh..." Sebuah lenguhan lolos dari mulutku dan kemudian terdengar di telingaku. Mataku terbelalak.

'Sial!'

'Sial!'

'Sial!'

Eckart menghentikan ciumannya. Wajahnya menjauh. Tatapan yang tadinya sendu kini berubah penuh gairah. Dia kembali memagut bibirku tanpa memberikanku waktu untuk mengatur nafas. Dan seperti tersihir, aku mebalas ciuman Ekcart.

Aku kehabisan nafas, Eckart yang mengetahui hal ini pun menghentikan ciumannya. Dia tetap menatapku sambil mengangkat tubuhku kedalam gendongannya. Kulingkarkan kakiku di pinggang Eckart sedangkan tanganku merangkul lehernya erat agar tidak terjatuh.

'Kepalang basah. Hitung-hitung meredakan sisa-sisa heatku yang memang belum berakhir.' Pikirku.

Kami berjalan menuju kamarnya sambil terus berciuman.

Sesampainya di kamar, Eckart membaringkan tubuhku di atas tempat tidurnya dengan sangat hati-hati. Seolah-olah tubuhku akan hancur berkeping-keping. Berbeda sekali dengan Raymond yang - begitulah.

Aku kini berbaring sedangkan Ekcart sedang berdiri di depanku kini mulai membuka bajunya.

Otot pada tubuh Ekcart tidak lebih kekar dari Raymond, tapi entah kenapa, menurutku terlihat lebih seksi dan menggoda. Aku ingin menyentuhnya.

Entah setan mana yang merasukiku, aku tanpa sadar melepaskan feromonku.

Eckart yang sepertinya mencium feromon yang kulepaskan memberikan reaksi yang sama. Kini aku dapat mencium aroma khas dari tubuhnya. Aroma ini, ternyata aroma yang selalu aku rasakan disetiap pagiku ternyata milik Ekcart.

Aku menghirup feromon yang terasa manis dan menyenangkan ini seperti orang rakus, takut angin membawanya pergi dan aku tidak dapat menghirupnya lagi.

Eckart mendekatiku, membuka bajuku dan melemparnya entah kemana. Kini kami berdua sudah bertelanjang dada.

Setiap sentuhan yang Eckart berikan seperti menyihirku. Bibirnya sibuk mengecup setiap sudut tubuhku. Tangannya sibuk menggerayangi setiap bagian yang bisa dijangkaunya.

Setelah puas mencium dan menyentuhku, Eckart mendongak. Tatapan kami bertemu.

"Boleh?" Tanyanya meminta persetujuan.

Aku mengangguk, "Yup, but don't do it raw."

Eckart yang seperti mendapatkan jackpot tersenyum kegirangan. Dengan cepat dia bergerak menuju nakas dan mulai mencari benda yang di sebut kondom.

Setelah mengobrak-abrik isi nakas tersebut, Eckart menatapku dengan lesu, "Aku tidak punya."

"Di kamarku, coba cari di nakas di laci paling atas."

Tanpa basa-basi, Eckart berlari dengan semangat menuju kamarku. Meninggalkanku sendiri dengan kondisi yang masih bergairah. Tapi entah kenapa, mataku terasa berat sekali.

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali menahan kantuk. Namun tak ayal, akhirnya aku tertidur juga.