webnovel

Lelaki Dalam Kabut

Bagi Mimi, mimpi adalah bagian dari kenyataan. Apapun yang hadir dalam mimpinya akan hadir pula di dunia nyata. Namun ada satu mimpi yang tak kunjung jadi nyata, mimpi tentang lelaki yang wajahnya selalu tertutup kabut. Berbagai petunjuk hadir tentang lelaki dalam kabut tersebut, namun Mimi tak juga menemukan lelaki itu didunia nyata. Sahabatnya menganggap Mimi sudah gila karena jatuh cinta pada lelaki dalam mimpi yang bahkan tak diketahui wajahnya seperti apa. Dia juga mengabaikan cinta yang nyata ada dihadapannya karena lelaki kabut itu. Apakah lelaki itu memang benar-benar ada? Dan apakah yang dirasakan Mimi adalah cinta atau obsesi semata? Akankah pencarian Mimi membuahkan hasil? 

Zianaabia_79 · Teen
Not enough ratings
74 Chs

Duka dan Bahagia

"Mau apa ke Bandung Mi? Kok mendadak ngajaknya?" tanya Bunda.

"Kita susul Bang Rendra sama jenguk Ayahnya Mba Maya,." jawab Mimi. "Kan Mba Maya juga udah dekat sama kita Bun, Bunda juga udah anggap Mba Maya seperti anak sendiri kan? Masa ngga nengok pas Ayahnya sakit?" lanjutnya lagi.

"Gimana Yah?" tanya Bunda.

"Ya udah, kita jenguk Ayahnya Maya. Udah lama juga kita ngga ke Bandung. Sekalian lah jalan-jalan. Tapi Ayah harus minta ijin dulu. Sementara itu kalian siap-siap saja dulu!".

---

" Kita beli kue dulu ya Yah, buat dibawa ke rumahnya Maya," kata Bunda.

"Bun, beli agak banyak kue nya. kalau bisa bolu aja dan langsung minta dipotong-potong." kata Mimi.

"Lho, kenapa Mi? Kan nanti bisa dipotong sendiri di rumah Maya," tanya Bunda.

"Biar ngga repot Bun. Disana mungkin banyak orang nanti," kata Mimi dengan pandangan menerawang.

Akhirnya Bunda menuruti saran Mimi.

"Coba kamu hubungi Rendra, minta share location rumahnya Maya!" pinta Ayah.

"Udah tadi Yah. Rumah Mba Maya di daerah Parakan Saat," jawab Mimi.

Kira-kira tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan. Mimi langsung menelpon Rendra. Tak lama Rendra menyambut mereka di halaman rumah Maya.

"Yah, Bun!" sapa Rendra sambil mencium tangan keduanya.

"Gimana kondisi Ayahnya Maya Ren?" tanya Bunda.

"Masih lemah Bun," jawab Rendra.

Kemudian Rendra mengajak mereka masuk ke dalam. Maya menyambut mereka di dalam rumah.

"Om, Tante, Mimi, terima kasih sudah datang, " kata Maya.

Bunda mengusap bahu Maya. Kamu sehat May? Jangan ikut-ikutan sakit ya!"

Maya mengangguk, lalu, "silahkan duduk Om, Tante, Mimi! ".

" Kami mau melihat ayahmu dulu May," kali ini Ayah yang berbicara.

Lalu mereka diajak ke kamar, untuk melihat Ayah Maya.

Mimi terpaku melihat sosok yang tengah berbaring di ranjang itu. Benar, itu adalah sosok yang dilihatnya dalam mimpi semalam. Mimi menggenggam erat tangan Rendra.

"Kenapa Dek?" tanya Rendra heran.

"Abang, aku mau bicara sebentar sama Abang."

Rendra mengajak Mimi ke teras depan.

"Ada apa Dek?".

" Bang, Abang masih sayang sama Mba Maya? Maksudnya, seandainya Abang diminta menikahi Mba Maya, Abang siap?".

Rendra menatap Mimi, "kamu kan tahu sekali soal ini Dek!".

" Oke, aku paham Bang. Seandainya kondisi di dalam nanti memaksa Abang untuk menyatakan kesiapan Abang, Abang siap ya? Abang siap langsng mengambil inisiatif maksud aku."

"Memangnya nanti akan begitu Dek?" Rendra malah balik bertanya.

"Pokoknya Abang siap ya?".

" Insya Allah, Abang siap. Kata Rendra tegas."

---

"Kenapa ngga dibawa ke rumah sakit?" tanya Bunda pada Maya.

"Sebenarnya sudah sebulan lebih Ayah di rawat di rumah sakit Tan, seminggu lalu beliau minta pulang, dan tiga hari lalu drop lagi. Tapi beliau tidak mau dibawa ke rumah sakit lagi, " jelas Maya.

"Disini siapa yang menjaga Ayahmu?".

" Ada adik Ayah Tan, keluarga adik Ayah memang tinggal disini."

Maya adalah anak tunggal, Ibunya sudah meninggal saat Maya masih SMP.

"May!" terdengar suara paraumemanggil Maya.

"Ya Ayah," kata Maya lalu menghampiri ranjang tempat Ayahnya berbaring.

"Ada siapa?".

" Ada orang tua dan adiknya Rendra Yah. Mereka mau jenguk Ayah." jawab Maya, sambil mengusap tangannya.

Mereka menghampiri ranjang, lalu duduk di kursi yang ada di sana setelah bersalaman dan saling memperkenalkan diri.

"Terima kasih sudah menjenguk saya. Saya sudah banyak mendengar cerita tentang keluarga Rendra. Saya sangat berterima kasih karena sudah begitu baik pada Puteri saya."

Ayah dan Bunda tersenyum, lalu Ayah berkata,

"Maya sudah kami anggap sebagai Puteri kami Pak, jadi tak perlu sungkan."

"Sebenarnya, saya khawatir dengan Maya. Kalau saya pergi nanti, siapa yang akan menjaga dia? Saya ingin sekali melihat dia menikah, tapi sepertinya tak akan sempat."

"Ayah jangan bilang begitu. Ayah pasti akan sehat," kata Maya mulai terisak.

"Kamu harus siap May, mungkin umur Ayah tak lama lagi. Maafkan Ayah kalau nanti tidak bisa menemani di hari bahagiamu, entah dengan siapa."

Maya langsung memeluk Ayahnya sambil menangis. Dia tak tahu harus berbicara apa. Ada perasaan menyesal dia tak bisa mewujudkan keinginan Ayahnya.

Mimi menatap Rendra seolah memberi kode. Rendra menghembuskan nafasnya, seketika rasa gugup menyerangnya. "Harus kah sekarang?" tapi tatapan Mimi seolah mendorongnya untuk berani bersikap.

"Om, Ayah, Bunda, Maya, saya boleh bicara?"

Semua memandang kearah Rendra dengan tatapan bertanya.

"May, aku minta maaf, karena tidak pernah membicarakan ini sebelumnya sama kamu. Tapi sekarang, di depan orang tua kita, aku mau menyatakan bahwa aku berniat untuk menikahi kamu, itupun jika kamu tidak keberatan, dan orang tua kita merestui." kata Rendra dengan sedikit gugup.

Maya yang tak siap dengan pernyataan Rendra sempat tertegun sejenak. Sementara orang tua mereka saling melempar senyum. Maya menatap Rendra lalu kembali menatap Ayahnya, seolah bertanya.

"May, Ayah ngga akan memaksa kamu. Tapi jika Rendra adalah orang yang nantinya akan menjaga kamu, Ayah akan merasa sangat tenang."

"Ren, bisa kita bicara dulu?" kata Maya pada Rendra.

---

Rendra POV

Maya mengajakku leluar dari kamar Ayahnya. Sekarang kami duduk berhadapan di kursi halaman belakang rumahnya.

"Ren, kamu serius dengan ucapan kamu?".

" Aku ngga pernah seserius ini May.x

"Bukan karena kasihan?".

" Maksud kamu?".

"Ya kasihan karena ucapan Ayahku tadi."

Aku menggelengkan kepalaku, "ngga May, aku melamar kamu karena aku memang menyukai kamu, mencintaimu kamu dan ingin selalu menjaga kamu. Sebenarnya aku sudah lama mempunyai perasaan lebih dari sekedar sahabat sama kamu. Tapi aku khawatir itu bisa merusak persahabatan kita. Jadi aku sengaja tak pernah menyatakannya."

"Lalu sekarang kenapa kamu menyatakannya?".

" Ya karena aku kira, ini sudah saatnya, dan aku tidak menawarkan hubungan lain, selain pernikahan sama kamu. Aku kira, kita tak perlu lagi masa-masa penjajakan, karena kita sudah sangat saling mengenal. Tapi kalau kamu keberatan, aku ngga masalah."

"Jadi kalau aku ngga mau, kamu ngga akan marah?".

Aku menggeleng, " ngga, aku ngga marah, dan kita tetap bersahabat. Aku tetap akan jaga kamu, sampai kamu bertemu dengan lelaki yang kamu anggap layak untuk jadi suamimu."

Entah apa yang membuatku bicara demikian. Mengapa aku jadi sok kuat, padahal aku tahu pasti, kalau aku akan hancur jika Maya menolak lamaranku.

"Okey, kita masuk!".

Aku mengikuti Maya masuk kedalam rumah lagi. Aku sudah pasrah. Sepertinya tak ada harapan untukku."

Rendra POV end.

---

Maya dan Rendra sudah kembali berada di dalam kamar Ayah Maya. Orang tua mereka dan tentu saja Mimi sudah menunggu mereka.

"Ayah, Om, Tante, aku tadi sudah bicara dengan Rendra, dan aku sudah punya keputusan," katanya sambil melirik Rendra.

Yang ditatap hanya menunduk lesu. Seolah tahu akan kecewa.

"Aku putuskan untuk menerima lamaran Rendra," kata Maya.

Rendra terperanjat mendengar jawaban Maya.

"Eh, aku ngga salah dengar kan?" tanya Rendra seolah tak percaya.

Maya tersenyum, "kamu ngga salah dengar kok Ren!".

Senyum lega terpancar dari orang tua mereka. Ayah dan Bunda memeluk Rendra seraya mengucap selamat. Lalu Rendra mencium tangan Ayah Maya.

" Titip Maya ya Ren? Tolong jaga dan sayangi dia, seperti saya menjaga dan menyayangi dia," bisilk Ayah Maya lirih.

Mimi tersenyum melihat kebahagiaan Rendra. Rendra menghampirinya dan langsung memeluk Mimi dengan penuh sayang.

"Makasih ya Dek, ini semua berkat kamu, " setitik air mata jatuh dari sudut mata Rendra saat memeluk Mimi. Hal itu membuat Ayah dan Bunda bingung. "Ada apa dengan anak-anak mereka? mengapa Rendra tampak begitu emosional saat memeluk Mimi?" batin mereka.

Ayah Maya tersenyum senang sekaligus lega.

"May, Ayah mau tidur dulu ya!".

" O iya Yah, kami tinggal Ayah ke ruang tamu, supaya Ayah bisa istirahat."

Maya membetulkan selimut sebelum akhirnya pergi keluar.

--

"Bunda senang, Maya yang akan jadi menantu Bunda." kata Bunda saat mereka berkumpul di ruang tamu rumah Maya.

Maya tersipu malu mendengar ucapan Bunda.

"Jadi kapan mau melamar secara resminya Ren?" tanya Ayah.

"Mungkin menunggu kondisi Ayah Maya membaik dulu. Gimana May?" tanya Rendra pada Maya.

"Iya Om, nanti Maya akan bicara sama Ayah dan keluarga yang lain. Semoga bisa secepatnya."

"Wah, aku dapat seragam dong ya Bang?" tanya Mimi.

"Mau seragam sama siapa kamu Mi? Abang yang nikah, kamu ngga punya saudara lain selain Abang. Maya juga anak tunggal, jadi ya kamu cari baju sendiri lah!" kata Rendra sambil tertawa geli.

Mimi langsung cemberut mendengarnya, "tuh kan Bun, aku bilang juga apa, kasih aku adik!".

" Hush ngaco kamu!" kata Bunda sambil melotot, sementara yang lain menertawakan Mimi.

Tawa mereka terhenti, saat sebuah teriakan terdengar dari kamar Ayah Maya.

Bergegas mereka menuju kesana.

Disana, mereka melihat seseorang sedang menangis memeluk Ayah Maya

"Kang, bangun atuh Kang!" katanya histeris.

Maya mendekati ranjang dengan air mata yang mulai menetes.

"Punteun Bi!" kata Maya teecekat, meminta orang itu bergeser. Maya memegang tangan Ayahnya,. "Ayah, Ayah bangun Yah!" katanya sambil menangis.

Rendra dan Ayahnya langsung memeriksa tubuh Ayah Maya, semua sudah dingin dan kaku.

Rendra memapah Maya, dan membawanya duduk di kursi. Kerabat Maya satu persatu dihubungi dan datang.

Hari itu jadi hari yang tak terlupakan untuk mereka. Dimana Bahagia dan Duka datang secara bersamaan.