webnovel

09

Langkah kaki keduanya tiba di toko penjualan pancing itu. Mereka memeriksa semua model pancing yang berada di sana. Pancing-pancing itu tidak ada yang sesuai dengan yang Nial inginkan. Semuanya berbeda dan Nial merasa tidak cocok dengan pancing itu. Selain ukurannya yang terlalu panjang, pancing itu cocok untuk laki-laki dewasa. Kakek Zul menatap Nial iba, ia tahu betul Nial ingin memiliki pancing agar ia bisa memancing setiap hari selepas sekolah.

“Sayangnya kami sudah kehabisan stok barang yang kalian inginkan. Memang akhir-akhir ini banyak sekali orang yang mencari model pancing seperti yang kalian tanyakan” Jelas seorang pelayan pada kakek Zul yang bertanya perihal pancing itu. Nial semakin merasa kecewa dalam hatinya, melihat itu kakek Zul pun menyuruh Nial untuk mencari di toko lainnya. Akhirnya Nial pun kembali tersenyum dan bersemangat untuk pergi dari toko itu menuju toko berikutnya.

Mereka berdua meninggalkan toko. Berjalan sedikit jauh dari sebelumnya untuk mencari pancing yang sesuai dengan yang Nial inginkan. Keduanya melihat-lihat banyak model pancing dari yang biasa hingga yang sangat bagus. Nial melihat-lihat hampir semua jenis pancing. Lagi-lagi pancing yang ia cari baru saja habis.

“Kami membeli dua kodi Minggu lalu. Tadi pagi sisa dua dan baru saja ada seorang anak membeli dua pancing itu sekaligus. Mohon maaf sebelumnya, kami masih akan menyetok ulang sekitar tiga bulan lagi karena faktor produksi yang di buat manual.” Ujar seorang pelayan menjawab pertanyaan Kakek Zul. Nial kecewa sekali lagi, namun ia tidak ingin membebani kakek Zul lagi yang kini menatapnya.

“Tidak apa-apa. Terima kasih, mungkin kami bisa mencari di toko lain” Jawab kakek Zul sambil mengembangkan senyum di wajahnya yang memiliki banyak kerutan menandakan ia sudah tak muda lagi. Ia mengajak Nial untuk mencari di toko lain dan beranjak pergi dari toko itu.

Nial hanya menurut untuk keluar dari toko itu. Tapi ia menolak untuk mencari pancing lain di toko lain. Ia tidak mau Kakek Zul berjalan lebih jauh lagi dari tempat itu selain jarak toko yang cukup jauh. Ia berpikir bahwa toko lain tidak menjamin akan menyediakan pancing yang sesuai dengan Nial kecil. Mungkin nanti mereka bisa mencari lagi jika ada waktu. Matahari sudah bergeser ke barat, Nial mengajak kakek Zul untuk pulang.

“Bukankah, kita belum mendapatkan pancing untukmu Ni,?” Tanya kakek Zul. Nial terdiam tapi kemudian tersenyum menatap Kakek Zul. Ia menggelengkan kepalanya.

“Nial mau pulang saja kek” Jawab Nial singkat. Kakek Zul hendak memaksa, tapi Nial sudah terlebih dahulu meraih tangan kasar kakek Zul. Kakek Zul pun menurut, ia tidak dapat berkata-kata lagi.

Sepanjang perjalanan Nial menceritakan beberapa hal pada kakek Zul. Tentang apa yang ia alami barusan sebelum ia kembali ke danau. Ia menceritakan perihal tempat pembuangan kotoran sapi yang membuat Kakek Zul tertawa berkali-kali hampir tanpa henti.

“Yang benar saja. Ibumu benar bebas dari para pekerja proyek. Karena baunya sangat menyengat siapa pun tidak akan ada yang berani lewat di sana Ni” Ungkapnya di akhir tawanya. Nial menggaruk dahi kirinya, ia baru saja terpikirkan hal itu di sini. Memang benar, ibunya tidak salah memberikan instruksi karena siapa pun pasti tidak ingin pergi ke sana, kecuali petugas yang memiliki baju khusus seperti yang ia lihat tadi.

Keduanya melanjutkan perjalanan dari toko menuju dusun. Keduanya pun tiba di depan rumah Nial. Kakek Zul berhenti, melambaikan tangan melihat Nial yang sudah melewati area halaman rumahnya menuju pintu masuk rumah panggungnya. Halaman rumah yang memiliki pagar bambu setinggi paha orang dewasa itu hanya mampu mencegah hewan-hewan peliharaan masuk dan mengotori halaman atau bahkan bisa menghancurkan beberapa sayuran yang sengaja di tanam pada sisi-sisi halaman di bagian samping.

Kakek Zul pun melanjutkan langkah menuju rumah miliknya yang berada di ujung jalan melewati beberapa rumah lagi dari rumah Nial sekarang. Ada sesuatu yang terlupa, dan kakek Zul hendak berbalik dari langkahnya tapi ia sudah tidak melihat Nial. Anak kecil itu pasti sudah sibuk di rumah panggungnya itu. Kakek Zul pun mengurungkan niat, mungkin bisa ia tanyakan langsung besok pagi.

Rumah sederhana namun rapi. Itulah yang tergambar pada rumah Nial bagian dalam. Nial merapikan beberapa buku yang ia bawa ke danau tadi untuk di letakkan Kembali pada tempat semula. Setelah selesai ia mendengar ayah terbatuk cukup keras membuat Nial beranjak cepat menuju ruang tengah. Nial melihat ibu di sisi ayah yang terbatuk keras sekali lagi, tubuh Nial mendadak lemas sekali ia melihat darah keluar dari tenggorokan ayah bersamaan dengan batuknya.

“Ibu, kita harus membawa ayah ke dokter” Ujar Nial lirih. Nial belum sempat bertanya mengapa ibu sudah pulang dengan cepat. Ia tak sempat menanyakan apa pun, sekarang ia hanya mampu memikirkan bagaimana caranya ayah berhenti dari batuknya. Ibu hanya mampu menatap Nial dengan sendu, tatapan hampa ibu membuat Nial semakin sedih dalam hatinya. Ibunya sedang tidak baik-baik saja, Nial merasakannya.

“Ayah butuh obat Ni, kita memang harus membawanya ke rumah sakit. Ibu punya uang dan hanya cukup untuk biaya obat ayah..” Ibu menghentikan kalimatnya, seolah kalimat itu tertahan di tenggorokannya.

“Nial punya uang Bu,” Balas Nial dengan suara lembut apa adanya.

“Mungkin cukup untuk biaya keperluan lainnya.” Ungkap Nial lagi. Ibu benar-benar bingung harus bagaimana, tapi ia tidak punya pilihan lain selain mengangguki ucapan Nial kecilnya. Suara batuk ayah semakin berat tanpa banyak berdebat lagi mereka kemudian harus segera meminta bantuan ketua RT untuk mengusahakan ambulance menuju rumah sakit terdekat.

“Ibu segera bersiap-siap. Saya sendiri yang akan mengemudikan ambulance untuk bapak Nial. Nanti kita akan berangkat bersama” Ujar ketua RT yang kini bergegas menelpon beberapa bawahannya. Ketua RT dusun Nial memang selalu gerak cepat dan selalu melayani warga dengan segera tanpa banyak alasan menunda. Semuanya bersiap.

Jarak dari dusun menuju rumah sakit cukup jauh. Wajar saja, karena dusun Nial berada cukup jauh dari jalan raya. Ketua RT mengemudi dengan baik, mereka tiba setengah jam kemudian. Beberapa perawat segera membawakan Brankae dorong untuk membawa ayah Nial pada ruang rawat. Pak RT membantu semua keperluan identitas pasien di meja resepsionis. Semuanya hanya bisa menunggu dokter yang kini datang memeriksa ayah Nial di ruangan.

Bau-bau obat menyeruak di setiap sudut koridor dan ruang tunggu. Rumah sakit Tsabina adalah salah satu rumah sakit yang berada di kecamatan tempat Nial tinggal, dan merupakan satu-satunya rumah sakit terdekat dari dusun. Rumah sakit ini tidak begitu besar, namun memiliki alat yang cukup untuk membantu pasien-pasien dalam memberikan penanganan intensif.

Ibu tertunduk dengan wajah sedikit pucat bercampur cemas. Wajah nan tegar itu menatap Nial yang kini memeluknya dari samping. Entahlah, Nial ingin memeluk ibu sedalam ia tidak ingin kehilangan siapa pun dalam hidupnya. Ibu membalas pelukan itu dengan usapan lembut pada rambut hitam Nial.

Ketua RT telah selesai dengan urusan di meja resepsionis. Ia pun duduk di ujung kursi tunggu ruangan ayah Nial. Melihat pemandangan yang tidak biasa ini, ia tidak banyak berbicara hanya mampu mengamati dari jauh.

Dokter keluar dari ruangan setelah melakukan serangkaian pemeriksaan. Ibu segera beranjak menghampiri untuk bertanya keadaan ayah.

“Keadaan bapak cukup parah. Kami harus segera menyuntikkan obat untuk membuatnya tertidur agar batuknya berhenti. Kami sudah mengupayakan usaha sebisa kami, bapak bisa di temui setelah siuman nanti. Tapi masih harus segera di oksigen jika keadaan belum membaik.” Suara dokter itu terlalu pelan dan sangat menyayat hati ketika di ucapkan. Terasa berat di telinga dan sesak di hati.