webnovel

02

Sepulang sekolah Nial menggantung tas nya pada paku yang menempel di dinding kayu kamarnya. Ia segera berganti baju dengan baju main, kemudian ia makan siang dan membuat bubur untuk ayahnya. Ia membuat bubur dengan api dan kayu kering di bawah tungku perapian. Ia terbiasa melakukan itu setiap pagi, ayahnya yang terbaring di atas kasur hanya bisa melihatnya dengan tatapan penuh iba dan menahan air mata.

Seusianya anak- anak biasanya sibuk bermain dan menonton televisi bahkan bermain game di hape. Semua anak-anak pasti memiliki benda itu untuk keperluan belajar. Sayangnya, Hape milik Nial harus di jual untuk biaya pengobatan ayahnya. Usianya masih sepuluh tahun tapi pundaknya tak pernah kecil untuk menopang keperluan ekonomi keluarganya. Nial cekatan membuat bubur dengan baik. Ia akhirnya membawakan semangkuk bubur yang sudah matang untuk ayahnya. Nial menyuapinya perlahan.

“Bagaimana sekolahmu Nial?” Tanya ayah di sela-sela makannya. Nial tersenyum bangga dan berseru dengan semangat.

“Sangat baik ayah. Aku bisa belajar dengan baik” Ujar Nial dengan tatapan meyakinkan.

“Ayah senang mendengarnya. Bagaimana teman-temanmu? Apa mereka juga baik?” Tanya ayah yang di susul batuk. Nial menyentuh pundak sang ayah dan berusaha membantunya untuk duduk dan meminum segelas air.

“Tentu ayah. Mereka juga baik” Nial berujar tanpa ragu.

Suara serak ayahnya itu membuat pundak Nial semakin kuat untuk menahan segala cerita buruk. Ia hanya ingin ayahnya mendengar cerita-cerita baiknya. Tidak ada cerita buruk yang akan Nial ceritakan, hanya akan ada kebahagiaan di mata Nial. Untuk saat ini hanya itu yang ingin ia lakukan.

Setelah menyuapi ayahnya Nial meraih rantang di atas meja. Secepat mungkin ia berusaha datang tepat waktu dan pamit pergi. Terik matahari membakar kaki mungil milik Nial. Tubuh itu sudah kebal dengan terik matahari, kulit sawo matangnya terlihat melawan rasa panas yang menyentuh permukaan kulitnya. Ia berlari menuju kerumunan perempuan-perempuan yang sedang beristirahat di bawah terpal biru muda. Ia mencari-cari wajah seseorang di antara kumpulan orang-orang itu ia tak kunjung menemukannya. Ia kembali berlarian menuju perteduhan berikutnya.

Nial tiba di perteduhan berikutnya yang berjarak lima belas meter dari sebelumnya ia belum menemukan sosok yang ia cari. Nial akhirnya berlari lagi menuju perteduhan terakhir berharap seseorang itu ada di sana. Namun nihil, yang ia cari pun masih tidak terlihat di sana. Akhirnya setelah ia kelelahan para bapak-bapak itu ada yang mengenalinya, ia meneriaki Nial.

“Nial. Nial...!!” Nial akhirnya menoleh ke arah sumber suara. Suara itu tidak asing di telinganya, ia mencari-cari si pemilik suara yang kini melambai ke arahnya. Nial berlari mendekat tak memperdulikan batu kerikil yang ia injak sedari tadi. Nial tersenyum saat ia melihat saudara ayahnya tersebut.

“Paman Lim. Paman Lim..” Nial memanggil pamannya itu. Sang paman masih melambaikan tangan.

“Kau cari ibumu kan?” Tanya paman Lim saat Nial sudah berada tepat di depannya. Nial mengangguk ia mencari-cari di sekelilingnya. Paman Lim menunjukkan keberadaan ibu Nial. Nial benar-benar terkejut ia melihat ibunya masih bekerja ketika para pekerja lain sedang istirahat. Air mata Nial sudah hampir tak terbendung lagi seandainya di sana tidak ada ibunya pasti air mata itu sudah lolos dari pelupuk matanya. Nial berlari ke arah ibunya ia tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.

Nial menarik ibunya untuk berteduh bersama pekerja lain. Kali ini Nial benar-benar di luar dugaan ia membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan. Akhirnya ibu menurut dan duduk berteduh bersama Nial. Ibu menatap Nial yang kini menatap ibu dengan lamat-lamat. Banyak tanda tanya di mata Nial ibu bisa membacanya. Nial tak mampu bertanya ia hanya bisa menatap tanpa suara.

“Bagaimana sekolahmu Ni,?” Tanya ibu sambil membuka rantang yang di bawa Nial. Nial terbuyar dari lamunan dan menjawab bersemangat.

“Sekolah Nial baik bu. Nial bisa belajar dengan sangat baik.” Ibu tersenyum senang mendengarnya sambil menyuapkan nasi yang terdapat lauk seadanya. Rantang tiga susun itu hanya berisi nasi, sayur bayam dan ikan teri kering. Makanan itu sudah sangat istimewa bagi mereka. Kadang bahkan demi mencukupi kebutuhan mereka hanya makan sambal dan nasi putih. Hal itu sudah terbiasa di keluarga Nial yang serba kurang. Ikan teri kering ini pun berkat Paman Lim yang memberikannya untuk mereka kemarin pagi.

“Bagaimana teman-teman Nial, selain Kia dan Zul ?” Ibu menanyakan hal yang sama seperti pertanyaan ayah tadi hanya beda tipis. Sekali lagi Nial menjawab sangat bersemangat.

“Mereka baik semua Bu, mereka teman – teman yang baik” Jawab Nial cepat dan meyakinkan. Ibu tersenyum kecut mendengar kalimat Nial barusan. Ia berhasil menghabiskan semua makanan yang tersaji di rantang. Nial melihat ke arah orang-orang yang berada di belakangnya. Mereka semua menyantap makanan dengan nasi bungkus yang telah di sediakan.

Makanan itu memiliki lauk yang lebih baik tapi ibu Nial memilih untuk di bawakan makan siang agar ia tidak mendapatkan potongan uang makan. Hitung-hitung untuk menambah pemasukan. Tapi setidaknya meskipun begitu, ibu Nial tidak sendiri di sana ada paman Lim dan juga beberapa penduduk desa lainnya yang duduk tidak jauh dari Nial. Mereka di bawakan makan siang oleh putri – putri mereka. Dan melihat itu ia tidak keberatan meskipun berbeda sendiri. Nial mengamati kaki miliknya yang kotor, jari-jari kakinya menghitam karena tanah yang menempel di sana.

“Ibu tidak pernah mengajarimu berbohong Nial !” seru ibu sambil merapikan kembali rantang yang sudah kosong. Nial menoleh tidak mengerti.

“Ibu telah hidup bertahun-tahun dengan keadaan yang selalu kekurangan. Hanya mengandalkan hasil kerja keras serabutan dari tempat ke tempat lain. Tidak ada yang benar-benar baik Nak” Ibu tersenyum di ujung kalimatnya. Ia tidak sedikit pun merasa sedih dengan pernyataannya. Nial menunduk mengamati tanah, ibunya sudah tau apa yang sebenarnya terjadi. Nial tidak berani menjawab kata-kata ibunya. Tidak ada pembelaan yang akan ia jelaskan lagi. Tapi ia teringat Zein teman baru yan ia kenal tadi.

“Nial tidak berbohong ibu. Teman baru Nial baik juga, dia mau berteman dengan Zein dan berbagi cerita bersama. Tak hanya itu ia juga sangat cerdas” Nial mencoba menjelaskan Zein yang ia kenal barusan pada ibunya.

“Senang bisa mendengarnya, Nak. Dalam berteman jangan lupa untuk tidak terlalu dekat, bertemanlah sewajarnya jangan terlalu dekat.” Ujar ibu yang segera di angguki oleh Nial. Ia hendak membawa rantang itu pulang, tapi sesuatu yang mengganjal menghentikan tangannya untuk beranjak pulang. Nial melepaskan rantang dan urung pergi.

“Tadi Nial lihat ibu masih bekerja, padahal paman Lim sudah berhenti. Apa pekerjaan ibu berat sekali hari ini?” Tanya Nial polos. Ia sudah berpikir banyak sedari tadi tapi ia masih berusia sepuluh tahun dan masih perlu banyak belajar tentang perjuangan.

“Tidak apa-apa Nak. Ibu hanya sedikit butuh tambahan uang lagi. Nanti kau juga pasti akan tahu.” Ibu tersenyum sangat lebar sedangkan matanya masih bisa menutupi kesedihan. Tapi sayang, batin Nial juga sudah tersambung padanya sehingga ia cukup paham mengapa ibunya bekerja sangat keras hari ini.

“Ibu harus jaga kesehatan. Jika lelah berisitirahatlah Bu, jangan terlalu di paksakan” Ujar Nial dengan tatapan mungilnya. Tingginya masih sedagu ibunya tapi ia sudah cukup kuat untuk melakukan banyak hal. Ia sangat mandiri dan selalu tersenyum melupakan kisah sedihnya. Ia terbiasa untuk tidak biasa mengeluh.

Kaki Nial berjalan menuju arah Danau perbatasan kampung. Masih lengkap dengan rantang yang ia bawa setelah dari pekerjaan proyek tadi ia mendekat ke arah orang-orang yang memancing. Ia mengamati mereka yang memancing berharap akan ada orang yang berbaik hati mau mengajaknya memancing bersama. Akhirnya ia tiba di salah satu pemancing tua yang duduk kursi kayu lipat dengan pancing di tangannya. Nial mendekat ia amat mengenal laki-laki tua itu.