webnovel

Legenda Sang Raja Dunia

Dalam Gugusan Qaf, terdapat puluhan benua besar yang terpencar-pencar, dipisahkan lautan dan tirai semesta. Ketika para raja agung dari berbagai negara di benua membuka batas wilayah masing-masing, perkembangan ilmu beladiri pun melesat menuju era kejayaannya. Tapi, seimbang dengan kemajuannya, sebuah pengorbanan besar pun kerap terjadi demi kemuliaan jalur beladiri. Banyak negara yang tumbuh semakin kuat, banyak juga yang hancur dan hilang dalam catatan sejarah. Pada masa damai, orang-orang perkasa kesulitan menerobos batas kultivasinya, pada zaman kekacauan, banyak naga perkasa yang lahir melukis kebesarannya di gugusan langit. Hindra memiliki konsep sendiri dalam beladiri. Ia membenci keserakahan perang para jenius demi keuntungan pribadi. Ia bangkit, menciptakan jalannya sendiri, berusaha menyatukan dunia besar di bawah keadilan yang manusiawi.

Roby_Satria · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Hindra di Antara Jenius Ruang Pertempuran

Siang itu Hindra berangkat sendirian menuju lapangan Istana Awan. Entah kapan didirikannya, yang jelas pada saat ini pada bagian tengah lapangan, telah menjulang megah benteng raksasa, menutupi tempat pertemuan jenius Ruang Pertempuran.

Banyak aura-aura perkasa yang terbang dari jalan tinggi menuju pintu utama benteng. Wajah-wajah angkuh, terlihat begitu berlagak di tengah udara.

Beberapa jenius yang melintas mengerutkan kening saat melihat sesosok tubuh berpakaian serba putih berjalan santai menuju lapangan istana.

Salah satu dari mereka menghentikan laju tubuhnya. "Siapa dia?" Tanyanya dengan raut tidak suka. Yang lain sama menghentikan pergerakan tubuh, ikut memandang ke bawah.

"Pasti murid paviliun," Kata jenius berbadan tinggi tegap sambil menyeringai remeh.

"Hm, orang itu mencari masalah, apakah dia tidak tahu kalau lapangan hari ini khusus untuk kita dari Ruang Pertempuran." Timpal yang lain.

Sebelum mereka dapat mengambil keputusan, dari arah kejauhan, beberapa orang lagi terlihat terbang mendekati.

"Mengapa kalian berhenti?" Kini sesosok jenius tinggi besar, tidak kalah dengan postur tubuh Kembara menggantung di udara.

"Senior Ragata!" Para jenius segera membungkuk hormat.

Dari kejauhan beberapa rombongan lagi berdatangan, lalu berhenti sambil menatap Hindra di bawah sana yang terus saja berjalan tanpa mengacuhkan apapun. Ia tahu, kehadirannya telah menarik perhatian jenius Istana Awan, tapi apa pedulinya?

"Orang itu menuju lapangan, Senior. Kami ingin mencegatnya, tapi kedatangan Senior membuat kami mengurungkan niat."

"Usir!" Perintah Ragata singkat.

Selesai berkata, Ragata segera melayang turun diiringi semua jenius Ruang Pertempuran, "Hei, berhenti!" Bentaknya.

Begitu menapakkan kaki, kemarahan yang membakar wajah Ragata mendadak lenyap tersapu mendung. Perasaannya tenggelam. Ia telah membentak seseorang yang paling menakutkan saat ini. Cerita tentang Sakya yang dilempar-lemparkan ke udara tanpa mampu melakukan perlawanan, terngiang kembali di telinganya, membuat meremang tengkuk Ragata. Para jenius yang bersusulan menapakkan kaki di atas tanah pun sama berseru terkejut.

"Tuan Muda Hindra ...!"

"Ah, maaf, maaf, kami tidak mengetahui kalau Tuan Muda lah yang datang." Ragata berdiri salah tingkah. Auranya yang begitu mendominasi tadi segera lenyap tanpa bekas.

Hindra menghentikan langkah. Sambil tertawa ringan, ia berkata, "Aku datang karena diundang Pangeran Lintar. Sudilah Senior membawaku ke tempat acara."

Semua jenius menghela napas lega. Untung remaja itu tidak marah, apabila perlakuan mereka menyinggung perasaannya, maka mereka akan berhadapan dengan Pangeran Lintar, sang jenius paling berbakat dari Ruang Pertempuran Topan. Meski saat ini tingkat kultivasi sang pangeran masih berada pada level Ksatria Perunggu, tapi masa depannya tidak terbatas. Ia yang terbaik di antara generasi kelima dan keempat.

"Marilah kita berangkat bersama-sama kalau begitu Tuan Muda." Ajak Ragata sopan. Bahkan niat para jenius yang ingin membalaskan dendam kekalahan Pangeran Lintar dulunya lenyap bersama kabar menyedihkan tentang Sakya. Padahal Sakya adalah jenius dari generasi kedua, sementara Ragata meski juga berasal dari generasi yang sama, tapi kekuatannya masih di bawah Sakya.

Sekarang rombongan besar yang memamerkan keangkuhannya di udara, terpaksa berjalan lambat-lambat mengiringi langkah Hindra, sang jenius paviliun. Satu hal yang tidak pernah mereka bayangkan selama ini.

"Di manakah Pangeran Lintar?" Tanya Hindra pada Ragata.

"Pangeran biasa datang paling akhir. Dia tidak menyukai segala hal yang bertele-tele. Makanya, saat dia datang acara harus sudah dimulai."

Hindra mengangguk paham. Kebiasaan orang besar memang begitu. Di hadapan bawahan, mereka hanya mau ditunggu, bukan menunggu.

"Selain Tuan Muda, adakah jenius paviliun lain yang diundang juga?" Ragata balik bertanya.

"Entahlah. Saat Pangeran Lintar mengundangku, kami bertemu di dalam Istana Awan."

"Beliau langsung yang mengundang Tuan Muda?"

"Ya."

Ragata merasa kagum. Lintar yang sombong dan ugal-ugalan, mana pernah memandang orang. Tapi kini, pada Hindra, justru ia memberikan perlakuan khusus. Padahal hanya Hindra yang berani memperlakukan Lintar tanpa basa-basi dalam sebuah pertarungan, dan sang pangeran tidak marah, malah memberikan remaja itu satu kesempatan untuk bergabung dalam acara Ruang Pertempuran. Sungguh ini satu penghormatan yang langka.

"Acara apakah sebenarnya ini, Senior?"

"Kami menamakannya Pesta Sumber Daya." Jawab Ragata. "Mengapa lapangan istana diberikan benteng pelindung, karena ada jalan khusus di sana yang hanya boleh diakses oleh Ruang Pertempuran saja."

Hindra tertarik akan keterangan itu. "Selama ini jenius paviliun apakah memang tidak diberi hak untuk mengaksesnya?"

"Bisa. Dengan persyaratan mereka bisa memasuki Ruang Pertempuran."

"Mengapa begitu?"

"Setiap sesuatu mempunyai pengorbanan, Tuan Muda. Ruang Pertempuran adalah harapan tertinggi penguasa Istana Awan. Dalam artian, sumber daya yang terbatas ini hanya akan digunakan sebaik-baiknya bagi jenius terpilih."

Hindra mulai paham. Tidak ada diskriminasi di sini. Apabila jenius paviliun ingin merasakan manfaat sumber daya khusus, maka mereka juga harus membuktikan diri sebagai orang yang khusus juga.

Tapi ada satu hal yang Hindra tidak paham. "Maaf sebelumnya Senior. Tetapi jenius Ruang Pertempuran juga tidak semua memiliki level kultivasi di atas jenius paviliun."

Ragata mengangguk, membenarkan, sambil menyunggingkan senyum penuh kesabaran. Apabila perkataan itu bukan berasal dari mulut Hindra, maka wujud senyuman tidak akan menghiasi bibir Ragata, malah ia akan menjelma menjadi mimpi buruk yang akan menggelindingkan si penanya ke jurang keterpurukan.

"Saya ambil contoh, Kakak Ralang Puntang. Dengan level kultivasinya saat ini ada puluhan jenius Ruang Pertempuran yang bisa dikalahkannya tanpa susah payah." Jelas Hindra berapi-api.

"Benar." Jawab Ragata.

Mendengar kata 'benar,' banyak jenius yang berjalan di belakang Hindra mengulum senyum simpul. Perkataan itu langka diucapkan oleh Ragata. Bahkan, apabila mereka sendiri berani mendebat sang senior generasi kedua itu, otomatis kepala akan benjol tanpa tunggu tempo berlama-lama.

"Tapi ada berapa banyak yang setara dengan Tuan Ralang Puntang di paviliun? Lalu, lihat juga dari generasi mana dia berasal. Rata-rata kalau diambil penilaian, apabila jenius masing-masing generasi Ruang Pertempuran dibandingkan dengan jenius paviliun, perbandingannya satu banding sepuluh. Artinya, pada generasi keempat paviliun contohnya memiliki satu jenius yang mencapai kultivasi luar biasa, Istana Awan memiliki sepuluh jenius.

"Kemudian pencapaian kultivasi Tuan Ralang Puntang sebagai jenius puncak memang luar biasa, tapi pada generasi kedua kami saja, kami memiliki banyak jenius yang setara. Tapi, untuk orang seperti dia juga tidak ada diskriminasi, buktinya, Ruang Pertempuran membuka pintu baginya."

Semakin paham Hindra. Pembicaraan mereka terputus, karena mereka telah sampai di depan pintu masuk benteng.

Begitu melangkah ke bagian dalam, ternyata sudah banyak jenius lain yang hadir di sana.

Kehadiran Hindra menarik perhatian semua orang. Tapi tidak ada yang bertanya. Remaja itu sudah sangat terkenal. Semua yang berkaitan dengannya beberapa waktu belakangan ini, selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.

Tidak ada kursi di sana. Semua jenius bergabung dengan generasinya masing-masing.

"Itu adalah jenius generasi pertama." Tunjuk Ragata pada sekelompok jenius yang berdiri bagaikan malaikat di bagian sisi lapangan. Nada suara Ragata pun terdengar gentar dan penuh kekaguman saat mengatakannya pada Hindra.

"Level mereka adalah Ksatria Perak!"

Hindra terkejut. Ternyata ada jenius lainnya selain dirinya yang memiliki level kultivasi menakjubkan itu.

"Beberapa dari mereka ada yang telah menembus level kultivasi Ksatria Perak tingkat dua selama tahunan."

"Benarkah?"

"Ya."

Dari kejauhan, salah satu dari jenius generasi pertama berkata, "Ragata, bawa kawanmu kemari."

"Ah!" Pemuda itu terperanjat. Padahal dia sudah bicara selirih mungkin, jarak mereka pun puluhan meter, tapi Ragata yakin, sebab jenius itu mengeluarkan perintah padanya, lantaran ia mendengar ucapan Ragata.

Semangat Hindra meluap. Dalam waktu sekian lama, akhirnya ia dapat bertemu dengan sesama murid yang berada pada level yang sama.

"Maafkan apabila ada kesalahan ucap Senior." Ragata menjura ketakutan. "Kami akan ke sana."

"Mari Tuan Muda." Tatapan Ragata lebih banyak mengandung permohonan dari pada sebuah ajakan.

"Santai saja Senior. Mereka hanya ingin bertemu denganku, bukan ingin menyulitkan kita berdua."

Ragata berterima kasih.

Hindra melangkah penuh percaya diri, sementara Ragata mengikuti dengan pucat-pasi. Dia paham, setiap perbuatan yang menyinggung jenius generasi pertama pasti akan mendapatkan balasan lebih dari setimpal. Jangan mengharapkan keadilan, karena keadilan bagi Istana Awan adalah berdasarkan pada kepalan siapa yang paling keras di sana.

Hindra segera menjura pada kelompok jenius generasi pertama itu yang di balas mereka dengan sedikit anggukan. Tidak ada ucapan penghormatan 'Tuan Muda', karena kedudukan mereka ada yang di atas pemimpin paviliun.

Seperti yang berbicara pada Ragata tadi. Dia bernama Kudrat. Statusnya di Ruang Pertempuran adalah murid. Tapi bersamaan dengan itu, dia juga merupakan tokoh inti dalam kesatuan Ksatria Perang Istana. Yang mana pemimpinnya adalah ayahnya sendiri. Dan kedudukan pemimpin Ksatria Perang Istana berada di atas pemimpin paviliun.

Ada lagi di antara jenius generasi pertama merupakan anak pangeran, dan pembesar istana. Di samping status bangsawan orang tua mereka, masing-masing mereka pun memiliki kesatuan tersendiri dalam Istana Awan.

"Kau kah anak yang menggemparkan itu?" Tanya Kudrat dengan pandangan penuh selidik.

Mendapat pertanyaan langsung seperti itu pada pertemuan pertama mereka, membuat Hindra tergagau. Segera ia menjawab, "Aku hanya menjalani kultivasi layaknya orang lain, Senior. Apabila dalam perjalanan itu ada hal-hal yang terjadi, itu semua berada diluar kendaliku."

Berkilau mata Kudrat. "Bukan hanya kultivasi, keberanianmu juga di atas rata-rata."

Hindra hanya bisa tersenyum sopan.

"Kau akan memasuki Ruang Pertempuran. Kita akan banyak berinteraksi. Bukan seperti paviliun yang terlalu individual. Di Ruang Pertempuran, antara jenius ruang satu dan lainnya saling berhubungan. Maka nanti, tonjolkan selalu prestasi, bukan sensasi." Kudrat menghela napas dalam. Dari pertama melihat kemunculan Hindra, bukan hanya dirinya, tapi juga bagi jenius generasi pertama lainnya, mereka terpana, ternyata kabar yang beredar benar, bahwa jenius Paviliun Segitiga Emas yang menyamai level kultivasi mereka, hanyalah seorang remaja.

"Siapa yang mengundangmu kemari, anak manis?" Suara renyah memikat meluncur dari bibir seorang dara berpakaian warna merah muda.

Hindra menoleh ke arah sumber suara. "Saya diundang oleh Pangeran Lintar, Senior." Jawabnya sopan.

"Ah, anak itu." Sang dara tertawa pelan. "Lagaknya terlalu besar. Lihatlah, saat kami sudah berada di sini, dia belum juga memunculkan diri. Agaknya aku perlu menjewer kupingnya nanti."

Mendengar kalimat itu Hindra segera paham sedang berhadapan dengan siapa. Tentu sang dara statusnya bangsawan utama. Karena, jikalau hanya sebatas jenius generasi pertama, kedudukannya belum cukup untuk bicara seperti tadi di hadapan semua orang.

"Kabarnya kau telah melumpuhkan Lintar hanya dengan satu lambaian jari?" Lanjutnya. "Aku sangat berterima kasih, dengan demikian ia baru tahu, ada langit yang berada begitu jauh di atas kepalanya. Kau tahu ...." Dara itu terkikik. "Saat kalah, seharian ia uring-uringan, sampai menyalahkan Ayah Pangeran Ruang Pertempuran Topan. Karena kesal, kutendang saja bokongnya, baru dia diam."

Ternyata puterinya sang putera mahkota. Wajah cantiknya sangat bersemangat. Tatapannya pun bersahabat. Tetapi semua orang segan padanya. Dari gayanya saja orang paham, bahwa sang Tuan Putri ini punya seribu cara menjahili orang yang tidak disukainya.