webnovel

Club West

Lampu sorot yang fokus menerangi ring membuat temaram keadaan di sekelilingnya.

Walau terlihat samar, tapi dari sorak-sorai yang terdengar, dapat diperkirakan jumlah orang yang sedang menonton tarung bebas di Club West mencapai ratusan orang.

Teriakan suara laki-laki dan perempuan terus saling timpa. Sepanjang pertandingan mereka terus meneriaki kedua petarung yang tengah jual beli serangan di atas ring.

Bukan hanya teriakan pemberi semangat saja, tapi tak jarang terdengar umpatan dan makian yang keluar dari mulut penonton.

Sementara di atas ring dua orang petarung bertubuh besar saling baku hantam tanpa ada peraturan yang jelas. Tidak ada wasit dan tidak ada ronde. Menang dan kalah hanya ditentukan jika salah seorang diantaranya KO, atau menyatakan menyerah.

Setelah beberapa puluh menit saling serang, petarung bermuka sangar dengan bekas luka di pipi kanan bernama Ricky tampak mulai mendominasi pertarungan.

Serangan demi serangan terus dilayangkan Ricky ke tubuh lawannya, Robert.

Sadar akan lawannya yang mulai kewalahan, Ricky semakin meningkatkan ritme serangannya. Pukulan dan tendangan terus dia lancarkan bertubi-tubi.

Sedangkan Robert, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Saat ini dia hanya bisa bertahan.

Kedua tangannya dirapatkan di depan tubuh. Robert hanya berusaha membendung serangan yang terus mengarah ke kepala dan badannya.

Akhirnya, Ricky mendapatkan celah yang menembus pertahanan Robert. Sebuah hook keras mendarat telak di pipi kiri lawannya.

Pukulan itu seketika membuat pandangan Robert nanar. Tangannya yang tadi membentengi badannya terkulai lemas ke bawah.

Robert tak kuasa mempertahankan keseimbangan. Setelah terhuyung-huyung beberapa detik, tubuh besar Robert ambruk ke lantai ring.

Cairan merah kental mengalir dari pelipis, hidung dan bibirnya. Hampir seluruh bagian wajahnya membengkak.

Sorakan dan teriakan penonton yang tadi tak pernah putus seketika terhenti. Suasana tiba-tiba hening.

Melihat lawannya tumbang, Ricky menghadap ke arah penonton dan mulai berselebrasi. Pria bertampang sangar itu berkeliling ring sambil mengangkat-angkat kedua tangannya.

Sesekali dia berteriak sambil menepuk-nepuk dadanya yang berotot.

"Ayo! Ayo!, Ayo!" teriaknya dengan mimik yang sombong.

Aksi Ricky membuat suasana kembali riuh. Sorakan penonton yang mendukungnya bergemuruh. Mereka sangat senang karena telah memilih petarung yang andal.

Tapi selebrasi Ricky itu tak berlangsung lama. Dia memandang ke arah Robert dan kemudian mendengus.

Ternyata lawannya masih memiliki daya untuk bergerak. Robert merayap pelan dan berusaha menggapai tali ring.

Penonton pendukung Robert yang tadinya sempat terdiam dan cemas, kini kembali bersuara. Mereka berteriak menyemangatinya, berharap dia dapat kembali melanjutkan pertandingan.

Pendukung Ricky juga ikut cemas. Mereka tidak ingin Robert mencapai tali ring dan kembali berdiri.

Sebenarnya yang dirisaukan para penonton bukanlah nasib para petarung. Tapi mereka lebih mengkhawatirkan uang yang sedang dipertaruhkan.

Eric yang berdiri di samping ring mulai meneriakan hitungan menggunakan pengeras suara.

"Saaaatu, duuuua, tiiiiga," kata Eric yang kemudian diikuti para penonton.

Sayangnya usaha Robert gagal. Hitungan telah mencapai 10. Artinya dia telah kalah di pertandingan tersebut.

Teng! Teng! Teng! Lonceng tanda pertandingan berakhirpun berbunyi.

Berikutnya Ricky kembali beraksi dengan memasang wajah sombong. Dia kembali berkeliling sambil menunjukan otot-ototnya yang menonjol kepada penonton.

Eric dengan segera naik ke atas ring dan meraih tangan kanan Ricky.

"Ladies and gentelmen. Kita sambut juara kita malam ini. Si Pembawa Petaka, Ricky!" ujar Eric mengangkat tangan Ricky, sambil memutarnya ke empat arah mata angin.

Setelah club kosong dari pengunjung, Robert keluar dari kamar ganti sambil menyandang tas sampingnya.

Mukanya penuh memar akibat pukulan yang dia dapatkan dalam pertarungan.

"Nice Roby, nice," kata Eric saat melihat Robert sambil bertepuk tangan. Sebatang cerutu terselip di bibirnya yang tebal.

Robert hanya membalas dengan tatapan sinis.

"Jangan marah bro. Ini cuma bisnis," kata Eric sambil menyodorkan sejumlah uang kepada Robert.

Sebenarnya tidak sulit bagi Robert mengalahkan Ricky. Namun sebelum pertandingan, Eric memintanya untuk mengalah, dan menjanjikan bayaran yang lebih besar dari biasanya.

Sebagai pemilik Club West, Eric sangat paham dengan bisnis yang dijalankannya. Daya tarik Club West adalah menyediakan pertandingan tarung bebas. Pengunjung bisa menonton sambil bertaruh.

Terlebih lagi di akhir pekan seperti saat ini, banyak orang kaya dari luar kota yang datang untuk menyaksikan pertandingan tarung bebas di clubnya.

Lalu dengan memanipulasi hasil pertandingan, maka Eric bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.

Dengan muka masam, Robert menyambar uang dari tangan Eric. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Meskipun kesal dengan petarungan yang dimanipulasi, tapi saat ini Robert lebih membutuhkan uang.

Dia lalu melangkah keluar dari club sambil menutupi kepala dengan topi sweater. Di pintu Robert melirik jam tangannya.

"03.43 am," sebut Robert lirih sembari menarik napas dalam.

Robert kemudian berjalan kaki menyusuri trotoar menuju Panti Asuhan. Dinginnya udara malam Kota Barat tak dihiraukan Robert. Dia menembus kabut subuh yang menyelimuti kota.

Meskipun di pinggiran kota, namun masih banyak kendaraan dan manusia yang berlalu-lalang.

Pinggiran Kota Barat merupakan surganya dunia malam. Banyak club, bar, diskotik, rumah bordir, panti pijat atau tempat-tempat hiburan lain yang menawarkan kenikmatan surgawi. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Club West milik Eric.

Pasa umumnya orang-orang yang masih berkeliaran adalah mereka yang baru selesai bersenang-senang di tempat hiburan, atau para hidung belang yang mencari perempuan malam untuk melampiaskan hawa nafsu.

Perempuan-perempuan dibalut pakaian seksi juga banyak menjajakan diri di pinggiran jalan. Mereka berjejer di trotoar menunggu pelanggan yang ingin dipuaskan hasrat birahinya. Ada yang berdiri sendirian, dan ada juga yang berkelompok.

Para perempuan itu cukup akrab dengan Robert karena selalu berjalan melewati mereka.

Meskipun tau Robert tidak akan tertarik, namun beberapa diantaranya tetap menggodanya.

"Hai tampan," goda seorang perempuan berbaju hitam berdandan menor dengan genit.

"Ayo lah. Aku temenin kamu. Untukmu gratis," rayu seorang perempuan lain.

Tapi seperti biasa, Robert tetap melangkah dengan santai, tanpa menghiraukan mereka.

Sekitar 20 menit berjalan, Robert akhirnya tiba di depan panti asuhan.

"Bagaimana malam ini? Apakah kau menang lagi?" tanya Kelly yang sudah menunggu di depan Panti.

"Ya begitulah," jawab Robert sambil tersenyum. Robert tidak mau menceritakan apapun yang dialaminya di club.

Robert kemudian merogoh kantong dan menyerahkan sejumlah uang kepada Kelly.

"Kau langsung balik ke sasana? Tidak mampir dulu?" tanya Kelly lagi.

"Iya. Aku masih harus membersihkan sasana. Aku tak mau Max ngomel. Kau tau sendiri orangtua cerewet itu," ujar Robert sambil tersenyum lebar hingga deretan giginya yang putih terlihat.

"Aku pergi dulu. Sampaikan salam ku pada Ibu Pengasuh. Lain kali aku mampir," sambung Robert sambil mengelus lembut rambut anak perempuan itu.

Bukannya Robert tak ingin singgah. Hanya saja dia tidak ingin Ibu Pengasuh dan anak-anak panti asuhan melihat wajahnya yang babak belur.

Selain itu Robert juga ingin segera sampai di sasana untuk beristirahat.

Setelah meletakan tas dan membuka sweater, Robert berbaring di atas tempat tidur.

Pandangannya menerawang ke langit-langit. Sesekali dia memegangi pelipis dan pipinya yang memar.

Pikiran Robert menerawang. Pertanyaan yang sama kembali terlintas di benaknya.

"Kenapa ada orangtua tega meninggalkan anaknya di panti asuhan?"

"Apakah karena fisiknya yang berbeda dari orang lain? Tapi jika itu alasanya, masih banyak kondisi fisik anak yang lebih parah darinya. Orangtua macam apa mereka!"

Tubuh Robert memang berbeda dibandingkan orang biasa. Jumlah jari tangan Robert ada 12. Enam jari di tangan kanan dan enam jari di tangan kiri.

Begitu juga dengan kakinya. Jari kaki Robert berjumlah 12.

Kondisi ini membuat tangan dan kakinya sedikit lebih lebar dibandingkan orang kebanyakan.

Selain itu ukuran tubuhnya juga melebihi manusia normal. Robert memiliki tinggi sekitar dua meter dan berbadan tegap.

Robert sendiri berparas tampan dan gagah dengan tubuh yang atletis. Hanya saja sejak kecil rambut, alis dan bulu matanya berwarna putih. Berbeda dengan kebanyakan anak lain yang berwarna hitam atau pirang.

Robert berusaha menepis pikirannya tersebut. Sekarang otaknya melayang memikirkan nasib panti asuhan.

Sewaktu bayi dia ditinggalkan oleh orang tuanya di depan panti. Sejak itu Robert dirawat oleh ibu pengasuh.

Tapi sekarang tempatnya dibesarkan itu akan diambil paksa oleh orang. Padahal di sana ada ibu pengasuh dan belasan anak yatim piatu yang sangat dia sayangi.

Orang yang akan mengambil panti asuhan bernama Marko. Dia merupakan anak tunggal dari Mr Jhonson, pemilik dan pengelola panti asuhan tersebut.

Berbeda dengan orangtuanya yang berjiwa sosial tinggi, Marko adalah orang yang tamak dan tidak memiliki rasa belas kasihan.

Mr Jhonson sebenarnya telah menyerahkan pengurusan panti asuhan kepada ibu pengasuh. Sayangnya hal tersebut baru disampaikan secara lisan, dan Mr Jhonson meninggal dunia sebelum menyelesaikan dokumen-dokumennya. Marko yang mengetahuinya merasa bebas untuk mengambil alih.

Beberapa hari yang lalu Marko datang bersama dua pengawal bertubuh besar. Pria bertubuh gemuk itu meminta agar panti asuhan segera dikosongkan, karena akan dijual.

"Robert, Robert cepat ke panti," kata Kely yang ngos-ngosan di pintu sasana.

"Kenapa Kely?"

"Marko di panti. Dia sedang mengancam ibu pengasuh."

Dengan segera Robert berlari ke panti asuhan. Ibu pengasuh adalah orangtuanya dan panti asuhan adalah rumahnya.

Di dalam panti asuhan Marko sedang berkacak pinggang. Di depannya ibu pengasuh sedang memohon sambil menangis.

"Pokoknya dalam satu bulan kau dan anak-anak menyedihkan ini harus angkat kaki!"

Robert yang baru masuk langsung mendorong tubuh Marko agar menjauh dari ibu pengasuh. Dorongan Robert membuat Marko hampir terjengkang. Untungnya kedua pengawalnya dapat menahan tubuh Marko.

Kedua pengawal itu langsung memasang sikap untuk bertarung. Tapi Marko menahan mereka dengan merentangkan kedua tanganya.

"Hahaha.... Ternyata si anak aneh. Kau mau apa anak buangan? Bangunan ini adalah milikku!" kata Mark menghina Robert.

"Dasar kau manusia bola! Mr Jhonson pasti menangis dalam kuburnya," balas Robert.

Mendengar hinaan tersebut, Marko naik pitam. Dia memerintahkan pengawalnya menyerang Robert.

"Patahkan tangannya dan robek mulut busuknya!"

Mendapatkan perintah, kedua pengawal langsung menyerang serentak. Mereka sama-sama melayangkan pukulan ke tubuh Robert. Tapi dengan cepat Robert menghindar, sehingga keduanya hanya meninju udara.

Robert yang marah balik menyerang. Dia melangkah maju sambil mengarahkan pukulan ke arah kepala seorang pengawal. Tinju yang datang dengan sangat cepat itu mendarat tepat di pangkal telinga. Tak hanya sekali, Robert menambahkan satu pukulan lagi di perutnya. Pria itu terhuyung dan kemudian tumbang sambil menahan sakit.

Gerakan Robert selanjutnya membuat pengawal yang lain berlutut di lantai. Robert menendang tepat di selangkangannya.

Hanya dengan beberapa gerakan, kedua pengawal Marko kini tak berdaya.

"Bajingan kau!" Marko melompat dan menyerang Robert.

Namun dia sama sekali bukan lawan Robert. Dengan sedikit gerakan memutar, kaki Robert tepat menghantam dadanya. Kejadian berikutnya, tubuh Marko terbang dan menghantam dinding. Marko langsung pingsan.

Dengan tertatih kedua pengawal mengangkat Marko yang tak sadarkan diri keluar panti.

"Kau tak apa-apa bu?" kata Robert kepada ibu pengasuh setelah tiga cecunguk itu pergi.

"Iya Robert. Aku tidak apa-apa."

Robert sangat marah terhadap Marko. Namun dia tidak bisa berbuat banyak. Undang-Undang dan hukum akan lebih berpihak kepada Marko, karena panti asuhan adalah harta orangtuanya.

Berangkat dari permasalahan panti asuhan itu jugalah yang membuat Robert bekerja sebagai petarung di Club West.

Meski demikian Robert sadar. Walaupun bekerja di Club Eric selama satu bulan penuh, dia masih belum bisa mengumpulkan uang untuk menebus panti asuhan.

Namun untuk saat ini hanya itu yang bisa dilakukannya.