webnovel

Latar Melati

Rumah dengan gaya Tionghoa itu masih menjadi misteri sampai saat ini. Latar Melati, begitulah orang-orang menamakannya, itu karena ada tanaman melati yang tumbuh liar di halaman, jika sedang musim, bau bunganya akan semerbak sampai ke rumah tetangga.

Hal menarik lain dari tempat ini adalah bangunannya yang hanya memiliki satu pintu, dan sebuah jendela yang dipagari besi, kamar mandinya pun ada di tempat terpisah.

Menurut sepuh desa, tempat itu dulunya ditinggali oleh keluarga Lian dari imigran Tionghoa. Kabarnya, lahan yang mereka beli ini adalah bekas pembuangan mayat pada masa penjajahan. Mereka terdiri dari Ayah, Ibu, serta satu anak perempuan bernama Lian Ling. Awalnya, kehidupan keluarga itu sangat damai, nyonya Lian sering terlihat bercocok tanam saat sore hari, dengan segenggam benih melati di tangannya, dan Ling kecil yang akan berlarian di sekitar menangkap serangga kecil.

Sampai kehidupan mereka berubah pada tahun ketiga, itu terjadi saat Lian Hao sebagai ayah Ling, membuka bisnis kecantikan dengan bahan dasar melati. Kehidupan mereka berubah, bisnis keluarga itu meledak dimana-mana, dan kekayaan terus mengalir dari para konsumen.

Anehnya, keluarga Lian tetap hidup sederhana, rumah kecil itu tidak di pugar, dan keluarga Lian hanya memilih membeli sebuah lahan kosong di sebelah rumah untuk dibuka kebun.

Kejayaan mereka disambut baik oleh tetangga disekitar, nyonya Lian juga bukan tipe sombong. Sesekali, dia akan membagikan makanan khas Tionghoa bersama putrinya.

Lian Ling, atau yang sering dipanggil Ling-Ling oleh ibunya, tumbuh menjadi gadis yang cantik, wataknya pun tak jauh berbeda dari nyonya Lian.

"Mahe, denger ngga kalau bapak cerita itu," ucap pak Broto yang memotong ceritanya, ia kesal melihat putra sulungnya terlihat tidak peduli, terus asyik dengan ponsel ditangannya.

"Denger pak," jawab Mahendra dengan pelan.

"Bapak cerita apa coba?"

"Anu, rumah depan itu kan pak, yang keluarga siapa tadi?"

"Makanya dengerin, ngga bapak kasih uang jajan, tau rasa nanti." gerutu pak Broto yang sedang sibuk memindahkan kandang burung kutilang nya.

"Halah, emang kalo ibu ngomel, bapak dengerin gitu?" gumam Mahendra rendah.

"Ngomong apa kamu?" tanya pak Broto.

"Mas Mahe, sudah mau maghrib, adeknya di cari sana," Bu Asih keluar dari dalam rumah dengan beberapa cangkir teh, dan sepiring pisang goreng.

"Monggo pak, nanti keburu dingin." lanjut bu Asih.

Mahendra yang sedang membuka sebuah berita politik itu, bergegas menaruh ponselnya dan berjalan keluar.

"Kalo sama ibu aja nurut, padahal minta uang sama bapak terus," pak Broto semakin kesal tatkala melihat Mahendra begitu bersemangat meninggalkan rumah.

"Udah pak, dia kan mau cari Dinda," jawab bu Asih yang sudah duduk di kursi panjang dari rotan, sembari mengambil secuil gorengan.

"Anakmu itu lho buk, kalo diomongin kok ngeyel banget ...."

Mahendra sudah tak bisa mendengar percakapan orang tuanya di belakang. Saat ini, hari sudah sore, matahari tinggal terlihat seperempat, tujuannya untuk pertama kali adalah lapangan depan.

Sandal karet seribu umatnya menyusuri jalanan, hanya butuh beberapa menit sampai ia melihat lahan datar, yang masih ada beberapa orang-orang dewasa disana, sepertinya baru saja selesai bermain bola.

"Mas, liat adik saya ngga?" tanya Mahendra pada salah satu pria disana.

"Si Dinda ya? Tadi dia lari-lari ke arah sana tuh, cari aja, paling masih main sama temen-temennya." Laki-laki itu menunjuk ke arah tikungan yang menuju ke Latar Melati, segera Mahendra pergi setelah mengucap terimakasih.

Mahendra selalu merasakan merinding yang sama saat melewati area ini, tepat di depan tikungan, ada pohon beringin besar lebat dan tembok yang sudah di jalari tanaman, dibalik dinding itulah, Latar Melati berada.

Mahendra menoleh ke kanan dan kiri, berkat tubuh tingginya, ia bisa sedikit mengintip ke tembok rendah, berharap akan menemukan adiknya.

Di suasana remang-remang, ia melihat bayangan anak kecil yang sedang berjongkok di sekitar halaman Latar Melati, tidak salah lagi, itu Dinda.

"Dinda ... pulang, dicari ibuk!" teriak Mahendra, ia tak mendengar jawaban, melainkan tawa cekikikan kecil, Mahendra tau adiknya itu suka jahil.

"Dek, ngga pulang nanti di bawa wewegombel lho," biasanya untuk menakuti, Mahendra memakai jurus itu, yang biasanya sukses membuat adiknya menangis.

Mahendra mengernyitkan dahi saat adiknya ini tak kunjung keluar dari halaman, dan tawanya semakin kencang saja. Ia saat itu tidak memikirkan betapa seramnya tempat ini, Mahendra hanya ingin membawa Dinda pulang secepatnya, dengan keberanian palsu, ia berjalan ingin pergi ke dalam, tawa Dinda juga tak berhenti, seolah-olah sedang bermain dengan seseorang.

"Mas," Mahendra berjengit kaget, baru saja satu kakinya masuk ke halaman, pinggangnya sudah di tepuk, ia menoleh dan mendapati Dinda tengah berdiri di belakangnya.

"Dari mana aja kamu?" tanya Mahendra dengan kesal.

"Itu, dari rumahnya Rara, tadi denger mas Mahe manggil-manggil, terus Dinda keluar deh," ucap Dinda dengan ceria, mendadak bulu kuduk Mahendra merinding, ia memikirkan "Dinda" yang ada di Latar Melati tadi.

"Yaudah ayo pulang." Mahendra berusaha berpikir positif dan menarik tangan Dinda.

"Ini dari siapa dek?" tanya Mahendra saat Dinda membawa segerombol bunga melati.

"Dikasih kakaknya yang ada disana tadi." jawab Dinda sembari menunjuk ke dalam rumah. Perasaan Mahendra semakin tak enak saja saat mereka memutuskan untuk segera pulang. Masih menyisakan pertanyaan besar di kepala Mahendra, apa cerita dibalik Latar Melati itu?

28/08/2021

Halo, saya Me. Terimakasih telah mengunjungi dan membaca karya pertama saya, semoga suka.

Me_strycreators' thoughts