webnovel

Suasana Yang Tidak Mengenakan

Wanita itu berteriak ke bawah, "Aku datang!"

Tetapi ia segera menoleh ke dalam kamar Sinto lagi.

Ternyata anak itu masih menggunakan baju yang ia pakai pada saat datang tadi.

Melihat keadaan Sinto seperti itu, Resty bergegas kembali ke kamar sambil menarik anak itu mendekati lemari baju. Setelah itu Resty langsung membuka lemari baju dan membuka laci yang ada di dalamnya.

Ia pun mengeluarkan sebuah kalung emas yang ukurannya cukup besar dan di kenakan ke leher Sinto, dan tangan wanita itu bekerja cepat dengan membuka dua kancing atas anak itu.

Setelah itu ia mengambil sepasang sandal untuk di pakai oleh Sinto.

"Selesai sudah, yuk kita turun sekarang." kata Resty sambil tangannya menyambar jaket kasual dari dalam lemari. Jaket itu di lemparkan ke arah Sinto.

Dengan sigap anak itu mengambilnya.

Setelah itu Resty bergegas keluar lagi sambil berteriak, "Masih kurang dua menit."

Tak lama kemudian Resty dan Sinto sudah berada di bawah.

Sambil berjalan di samping anak itu, "Kejadian tadi jangan kamu ceritakan ya." bisiknya ke telinga anak itu.

"Hei, apa yang kalian berdua bisikkan?" tanya Brama Putera dengan tatapan mata tajam.

"Maaf paman, barusan aku bilang ke tante Resty, kalau aku tidak membawa uang sesen pun. Jadi aku mau pinjam uang ke tante. Nanti aku ganti jika aku urus keuanganku dari Jepang ke mari."

"Loh, katanya tadi sudah mau panggil papa dan mama. Tenang saja, kira apa. Yang penting sekarang, apa pun yang kamu mau beli tinggal minta saja sama mama kamu ini." kata Bramana Putera sambil merangkul Resty istrinya.

Sambil berjalan ke mobil, "Terima kasih papa," ucap Sinto dengan nada agak gemetar sedikit.

Mendengar suara Sinto yang gemetar seperti itu, Bramana Putera menoleh ke arah Sinto, "Kamu kenapa?"

"Ah tidak. Aku hanya tidak melihat paman Kotaro. Ke mana dia. Apakah dia tidak ikut bersama-sama dengan kita?"

"Oh. Tadi dia bilang, sangat lelah. Jadi dia mau istirahat saja."

****

Sore itu mereka berjalan-jalan ke sebuah mal yang terletak di Jakarta Selatan.

"Malnya besar dan panjang, seperti di Jepang," seru Sinto dengan terkagum-kagum. Karena baru kali ini dia menginjak Jakarta.

"Sinto. Kalau kamu mau beli sesuatu, bilang saja ke mama kamu ini," kata Bramana Putera sambil tersenyum.

Pada hal dalam hatinya berkata, "Jangan sampai anak itu belanja yang mahal-mahal. Di dalam kamarnya saja sudah di siapkan semuanya. Untuk apa lagi dia belanja."

"Terima kasih om, eh papa. Maaf salah sebut. Sinto tidak mau beli apa-apa dulu. Lagi pula kalung emas ini sudah lebih dari cukup. Selain itu semua yang ada di dalam kamar Sinto semuanya sudah lengkap. Hanya saja, Sinto mau makan masakan Jepang ala Indonesia. Kata teman-teman sekolah Sinto yang sudah pernah datang ke Indonesia. Mereka bilang masakan Jepang di sini tidak kalah enaknya." Kata Sinto dengan tegasnya. Karena ia tahu diri.

Ia teringat akan pesan kedua orang tuanya, "Kalau bertandang ke rumah orang lain apa lagi orang itu orang terkenal dan terpandang. Jangan sekali-sekali minta ini dan itu. Paling tidak mereka akan berbasa-basi menawarkan sesuatu kepada kita. Tetapi sekali-sekali kita jangan mengemis. Yang ada, kamu akan direndahkan. Lagi pula tidak sopan."

Karena itulah Sinto tidak berani macam-macam. Tetapi, kalau makanan dia berani. Karena semuanya pasti ikut makan.

Mendengar permintaan Sinto untuk makan makanan Jepang ala Indonesia, tuan Bramana Putera cukup terkejut pula. lalu katanya, "Bagaimana kalau kau mencoba dulu masakan Indonesia asli. Kamu pasti belum pernah mencobanya."

"Tapi suamiku," protes Resty istrinya. dan juga kedua anak perempuan mereka yang bernama Dinda dan Tina.

Mereka berdua turut memprotes ayahnya, dengan berkata, "Bosan ayah. Kenapa sih engak jamu tamu kita dengan makanan yang enak seperti itu."

Mendengar keluhan ketiga wanita cantik yang berada di hadapannya itu, "Masakan Jepang ala Indonesia sangat mahal ya.."

Keluarga itu terkejut dengan perkataan yang di lontarkan Sinto.

"Nah itu, semisal Hoki Bento. Di sini banyak. Harganya lumayan mahal juga." Kata Bramana Putera dengan nada datar dan terlihat biasa saja pada wajahnya.

Resty langsung mencubit pinggang belakang suaminya.

Merasakan cubitan yang sakit itu, Bramana Putera akhirnya berkata lagi, "Ah tidak mahal kok. Iya sudah. Hari ini kalian boleh menikmati masakan Jepang ala Indonesia." Katanya sambil tersenyum. Senyuman yang di paksa.

Setelah itu mereka kembali berjalan-jalan mengelilingi mal tersebut, lalu tak berapa lama tampak di dekat mereka ada sebuah gerai restoran jepang ala Indonesia.

"Nah. Kita makan di situ saja," kata Pak Bram sambil bergegas menuju restoran itu.

Tetapi, begitu tepat di depan pintu restoran itu, Pak Bramana menoleh ke belakang ke arah ketiga anak muda itu.

Setelah ketiga anak muda itu sudah dekat dengan Pak Bramana, "Siapa yang kuat makan pedas. Akan papa kasih seratus ribu rupiah," tantangnya kepada ketiga anak itu dengan wajah serius.

Tetapi ketiga anak itu tidak ada yang tertarik. istrinya yang mendengar dari jauh hanya geleng-geleng kepala, "Apakah dia hendak membunuh anak itu," ucapnya dalam hati.

"Oke. Papa tambah menjadi dua ratus lima puluh ribu. Bagaimana?" tanya Bram lagi dengan wajah tetap serius.

Ketiga anak itu tetap tidak bergeming.

"Lima ratus ribu?!"

Masih juga tidak bergeming.

"Satu juta." seru Bramana Putera.

Kedua anak perempuan itu langsung tertarik, "Betul ya pa." tantang balik kedua anak itu dengan serempak.

"Masa papa bohong. Tapi level dua puluh lima ya." Ucapnya sambil tersenyum sinis.

"Sudah, kita ini mau makan atau mau apa sih," keluh istrinya dengan wajah yang terlihat tidak enak di pandang.

"Wajahmu itu menghilangkan selera makanku. Kalian makanlah sendiri. aku pergi dulu. Nanti tepat jam delapan malam kita bertemu lagi di parkiran mobil, " kata Bramana Putera yang langsung meninggalkan mereka pergi.

Kemudian Resty agak sedikit berteriak, "Pa. uangnya mana."

Dengan enggan orang itu kembali lagi, lalu katanya sambil berbisik, "Kan sudah aku bilang dananya seperti tadi." Setelah itu ia kembali pergi meninggalkan mereka semua.

Melihat kelakuan suaminya seperti itu, Resty berkata dengan sedih, "Sinto, maafkan papamu ya."

Kedua putrinya pun menimpali, "Iya Sinto, maafkan papa kami ya."

Kata Resty dalam hati, "Beruntung aku juga punya usaha sendiri. Kalau tidak, aku tidak bisa membiayai hidupku dan anak-anakku sampai seperti ini."

"Aku, baik-baik saja. Aku yang tidak enak dengan mama dan kakak berdua," ucap Sinto tanpa ekspresi sedih.

Tetapi baru saja mereka hendak beranjak pergi untuk masuk ke dalam salah satu rumah makan yang berada di dekat mereka, terlihat Brama Putera datang kembali.

"Kamu tidak jadi pergi?" tanya Resty dengan senangnya, karena pada akhirnya suaminya akan ikut makan dengan mereka.

"Jangan senang dulu. Aku hanya kasih tahu. Maksimum belanja makannya..." Tetapi tidak di teruskan oleh Pak Bramana. Karena Resty sudah menjawab terlebih dahulu dengan ketusnya, "Sudah tahu."

"Bagus kalau begitu."