webnovel

Sinto Menolong Dinda

Kemudian Sinto rupanya dapat mencairkan suasana pula dengan berkata, "Seandainya papa lihat aku yang menghabiskannya. Apakah papa mau menambahkan uang jajanku dua kali lipat ya."

Ketiga wanita itu tertawa mendengarnya dan Tina yang menjawab terlebih dahulu, "Kalau memang seperti itu ya. Dari dulu aku akan dapat uang jajan. Karena aku yang selalu menghabiskan makan mama dan kakak."

"Sudah cepat di habiskan." Ucap Resty di sela tawanya.

Selesai makan mereka berempat segera keluar dari restoran. Resty yang terakhir keluar. Karena dia yang membayar makanan tersebut.

Ketika mereka keluar dari restoran itu, Sinto melihat paman Kotaro yang berjalan dengan tergesa-gesa. Lalu ia segera berteriak memanggilnya, "Paman. Paman Kotaro!"

"Kenapa paman tergesa-gesa seperti ada sesuatu. Bukannya kata Papa dia sangat kelelahan dan beristirahat." Gumamnya pelan.

Ia pun segera mengejar tetapi terlambat, karena ia sudah masuk ke dalam lift.

Resty dan kedua putrinya sampai ikut pula mengejar. Setelah dekat dengan Sinto. Anak itu berkata terlebih dahulu, "Mama. Kata papa. Paman Kotaro tidak bisa ikut karena lelah. Tetapi aku yakin sekali, baru saja melihat dia. Dan dia masuk ke dalam lift itu," tunjuknya ke arah salah satu lift yang ada di lantai mal itu.

"Sudahlah Sinto. Mana mungkin pamanmu datang kemari. Ia kan tidak tahu jalan-jalan di sini." Kata wanita itu sambil mengusap rambut anak itu.

Sinto sangat penasaran. Tetapi ia tidak mau menyusahkan mama angkatnya itu. karena ia tadi telah mendengar dari Tina kalau Pak Bramana Putera selalu semena-mena terhadap istri dan kedua anaknya sendiri.

Akhirnya mereka kembali mengelilingi mal itu sejenak. Selesai mengeliling mal itu. Resty mencoba menghubungi suaminya. Tak lama ia kembali terlihat mematikan ponselnya sambil berkata, "Anak-anak, kita di suruh menunggu di mobil. Kemungkinan, sebentar lagi papa akan segera turun."

Kata wanita itu bergegas menuju parkiran.

Dinda mendekati mamanya, sedangkan Sinto berjalan di samping Tina sambil bertanya, "Apakah selalu seperti ini."

Kakak keduanya itu hanya mengangguk sedih.

"Sesungguhnya bisnis papa apa sih." desak Sinto ingin tahu.

Mendengar pertanyaan itu, Dinda berbalik menahan langkah Sinto sambil berkata, "Jangan kau mentang-mentang sebagai anak seorang pewaris tunggal klan mafia seluruh dunia. Bisa seenaknya saja terhadap kami seperti ini."

Setelah berkata demikian ia menarik tangan adiknya dan menjauhkan diri dari Sinto.

Tak lama kemudian mereka tiba di parkiran.

Dinda langsung membanting pintu mobil itu setelah adiknya dan juga mamanya masuk ke dalam. Sehingga Sinto tidak berani ikut masuk ke dalam mobil tersebut.

Di dalam mobil, "Dinda." tegur mamanya dengan nada sedikit meninggi.

"Ma. gara-gara dia datang kemari, belum juga ada satu hari. semuanya sudah berubah. Seperti di neraka tahu." ucap Tina kesal.

"Tapi, kalian berdua harus memahami keadaan dia." Ucap mama mereka dengan nada yang agak di rendahkan suaranya.

"Tapi apa ma, memang kenyataannya seperti itu!" teriak Dinda kesal lalu menangis.

"Saat itu sopir mereka hendak bicara, tetapi Resty mencegahnya.

Sedangkan Sinto duduk di luar dengan punggungnya di sandarkan ke body mobil. Dengan posisi duduk sambil melipatkan kedua kakinya.

Setengah jam menunggu. Berlalu begitu saja. Tak ada tanda-tanda Pak Bramana Putera kembali ke mobil itu.

Setengah jam kemudian. Tampak pintu mobil terbuka. Rupanya Dinda keluar dari mobil. Ia mendekati Sinto.

Lalu duduk di sampingnya sambil berkata, "Maafkan aku. Masuklah. Kalau papa sampai lihat kamu duduk di situ. Yang di marahi bukan mama saja tetapi aku, adikku dan juga pak sopir kena imbasnya."

"Aku juga minta maaf." Sahut Sinto dengan suara yang tulus.

Tiba-tiba mereka di kejutkan dengan kedatangan lima orang berkendaraan motor. Yang satunya dengan cepat menyambar tubuh Dinda.

Anak perempuan itu terkejut dan berteriak, "Sinto, tolong!"

Melihat bahaya mengancam keluarga barunya. Dengan gerakan yang cepat. Sinto mengambil sebuah rantai pembatas parkir mobil.

Dengan sekuat tenaga, ia menarik ranti tersebut. Yang kemudian dilemparkan tepat ke arah ban belakang motor orang yang mengambil tubuh Dinda.

"Dus!" rantai itu melilit tepat di belakang ban motor penculik Dinda. Sehingga motornya terangkat ke atas. Sedangkan tubuh Dinda juga terlempar ke atas.

Ternyata sopir pak Bramana itu pun ikut bergerak cepat melaju mendekati tubuh Dinda yang sedang terlempar.

Sinto dengan sigap menangkap tubuh Dinda. Yang pada saat bersamaan sopir pak Bramana Putera tepat berhenti di samping Sinto.

Sinto pun segera membuka pintu mobil tersebut dan mendorong Dinda untuk masuk ke dalam mobil. Kemudian ia segera menutup kembali pintu mobil tersebut.

Sambil memberi kode kepada si sopir dengan cara menepuk atap mobil. Agar si sopir segera meninggalkan tempat itu.

Mobil itu langsung bergerak meninggalkan tempat parkiran itu tanpa Sinto dan pak Bramana Putera.

Sedangkan kedua motor yang lain tampak mengejar kendaraan tersebut sambil menembaki mobil tersebut.

Untunglah kendaraan itu tahan peluru, sehingga mobil yang membawa keluarga Bramana Putera dapat lolos.

Sedangkan Resty segera menghubungi suaminya tentang kejadian itu.

Sedangkan jawaban pak Bramana di telepon, "Saya sudah tahu. Tolong jemput saya di lobi barat yang langsung mengarah ke tol."

Ketika istrinya itu hendak menceritakan Sinto, pembicaraan mereka malah diputus oleh suaminya sendiri.

Maka Resty pun memberitahukan kepada sopir mereka agar segera menjemput suaminya di lobi yang telah disebutkan kepadanya.

****

Sementara itu Sinto di kelilingi oleh lima buah motor.

Pengendara motor yang motornya di tarik oleh Sinto dengan rantai panjang terlihat marah. Kemudian ia terdengar mengancam, "Hei orang asing. Jangan macam-macam di sini, itu kalau kamu mau selamat."

"Jika tidak?!" tantang Sinto sambil tangannya memutar-mutar rantai mobil tersebut.

Salah satu dari kelima orang itu tertawa sejenak sambil berkata, "Jangan sombong terimalah ini."

sambil berkata demikian orang itu segera melepaskan tembakan ke arah kaki kanan Sinto.

Tetapi dengan sigap Sinto bergerak dengan melemparkan diri ke sebelah kiri. Dengan sekaligus tangannya melempar rantai yang masih berada di tangannya ke arah si pengendara motor yang berada di sebelah kirinya.

Si pengendara motor itu terkejut dan segera melompat menjauh dari motornya. Tetapi gerakkannya tidak terlalu cepat, sehingga kaki kirinya terkena lilitan ujung rantai itu. kemudian Sinto dengan sekuat tenaga menarik tubuh orang itu dengan rantai tersebut ke arah lawan yang sedang memegang pistol. Orang itu untuk kedua kalinya melepaskan tembakan. Tetapi lagi-lagi tembakannya luput. Sehingga orang yang memegang pistol itu harus jatuh tertindih tubuh temannya sendiri.

"Masih tiga orang lagi yang harus aku hadapi." Gumam Sinto pelan ia kembali menarik rantai tersebut dan di putar-putar lagi.

Tiga buah motor masih berputar-putar. Tak lama kemudian satu buah motor menerjang ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Dengan gerakan refleks Sinto mengelak sehingga motor tersebut menabrak dinding pembatas parkiran dan langsung terjun bebas. Dan tak lama kemudian terdengar ledakan.

Kedua temanya yang masih hidup terkejut melihat temannya yang satu lagi terjun bebas.

Ternyata mereka berdua memutarkan kendaraannya lalu segera pergi dari situ.

Sementara orang yang memegang pistol jatuh tertumbuk temannya akibat Sinto segera bangkit berdiri dan bergegas pergi dari situ.

****

ketika kendaraan itu tiba di lobi yang seperti di minta oleh pak Bramana. Orang itu sudah terlihat menunggu dengan tidak sabar. Ia pun langsung membuka pintu dan masuk ke dalam sambil memerintahkan kepada sopirnya, "Ganti pelat mobil dan warnanya."

Kendaraan canggih itu pun ketika di tekan beberapa tombol oleh si sopir. langsung berubah sesuai dengan keinginan pemiliknya.

"Loh, kok di ganti warna dan nomor pelatnya?" tanya Dinda penasaran.

"Orang-orang yang di parkiran itu adalah orang-orang suruhan dari musuh papa. Jadi kita harus mengganti warna dan nomor pelatnya." Kata Bramana Putera dengan suara tegas.

"Musuh? Sejak kapan papa punya musuh?" tanya Tina juga dengan nada penasaran.