webnovel

Larisa Wish

Memiliki pacar kayak Reza yang tampan, pinter, tajir, perhatian dan romantis ... udah pasti jadi impian semua cewek. Tapi tidak demikian dengan tokoh utama kita yang satu ini, Larisa namanya. Menurutnya cowok keren itu yaitu cowok pendiem, irit ngomong, cuek, dingin dan punya tatapan tajam. Harapan Larisa seolah terkabul saat siswa baru bernama Arvan muncul di hidupnya. Larisa pun bertekad untuk mendekati cowok sedingin kutub utara itu, hanya untuk dijadikan sahabatnya. Yakin cuma jadi sahabat? Kalau kamu jadi Larisa ... antara cinta tanpa alasan atau cinta karena khayalan ... Cinta mana yang akan kamu pilih?

Ellakor · Teen
Not enough ratings
310 Chs

CHAPTER TIGA PULUH EMPAT

Keheningan pun melanda, mereka menyantap pisang goreng tanpa ada yang bersuara.

"Arvaaan!!"

Hingga suara teriakan beberapa pemuda yang memanggil Arvan, menarik atensi keduanya. Mereka menoleh ke arah samping kanan, ke arah lapangan basket yang terletak tepat di sebelah taman. Di sana ada beberapa pemuda yang sedang bermain basket, sepertinya baru datang karena tadi Larisa maupun Arvan tak melihat keberadaan mereka.

"Oi!!" Arvan balas berteriak sembari mengangkat satu tangan ke udara.

"Main sini!!" ajak salah satu pemuda itu.

"Ntar ya, hari ini gue gak maen dulu!"

"Lagi pacaran nih yeee!!" ledek beberapa pemuda yang dibalas Arvan dengan dengusan keras hingga Larisa yang duduk di sampingnya bisa mendengarnya dengan jelas.

"Cuma temen, Bro!!" sahut Arvan.

"OK lah, dilanjut aja kalau gitu pacarannya!!"

Dan suara siulan beberapa dari mereka pun terdengar bersahut-sahutan. Arvan berdecak jengkel. "Dibilangin cuma temen, budeg apa ya?" gumamnya pelan namun sukses membuat Larisa terkekeh pelan.

"Mereka temen-temen Lo?" tanya Larisa tiba-tiba.

"Iya. Anak-anak di daerah sini gitu. Kenal karena gue sering ikutan main basket kalau hari minggu."

Larisa ber-oh panjang, dan dirinya tersentak saat menyadari sesuatu.

"Eh, gue kaget loh, lo bisa seakrab itu sama anak-anak di sini, beda banget ya sama lo yang gue tahu penyendiri dan gak mau berteman sama siapa pun di sekolah."

"Karena anak-anak di sini tahu siapa gue, bagaimana keadaan keluarga gue dan mereka tetep mau nerima gue. Sedangkan anak-anak di sekolah kita, belum tentu kan mereka mau bergaul sama gue kalau tahu keadaan gue kayak gini?"

Larisa melebarkan mata, tak menyangka sedikit pun Arvan akan mengatakan ini karena pemuda itu biasanya irit bicara bahkan sering mengabaikan ucapannya. Namun, Arvan yang hari ini tampak berbeda dari biasanya. Selain baru Larisa ketahui Arvan gemar menjahili orang, dia juga baru tahu bahwa seorang Arvan tak seirit itu dalam berbicara. Dia bisa juga berbicara panjang lebar.

"Apalagi anak-anak di sekolah kita. Kalau dilihat dari sekolah kita yang elit sama jadi favorit, gue tahu anak-anak yang sekolah di sana dari keluarga sultan semua. Gak kebayang gimana reaksi mereka kalau tahu kasta gue ada jauh di bawah mereka."

Larisa meringis mendengarnya, "Lo berlebihan. Mereka gak seburuk itu kok."

"Lo pasti belum pernah kan ngerasain gimana sakitnya waktu orang-orang yang awalnya deket sama lo, tiba-tiba ngejauhin dan ninggalin lo cuma karena lo udah gak sederajat lagi sama mereka?"

Entah sudah keberapa kalinya Larisa dibuat tercengang dengan reaksi Arvan yang berbeda dari biasanya.

"Lo juga pasti gak pernah ngerasain gimana malunya jadi korban bullying, kan?"

"Jangan-jangan di sekolah lama lo, lo pernah jadi korban bully ya, Van?" tanya Larisa dengan berani.

Arvan mendengus cukup kasar, mengembuskan napas pelan sebelum mulutnya terbuka untuk merespon.

"Menurut lo?"

Larisa cemberut karena bukannya menjawab, pemuda itu justru bertanya balik padanya. Dan Arvan terkekeh geli melihat reaksi Larisa tersebut.

"Lo tebak aja sendiri," tuturnya, masih enggan memberikan jawaban.

"Kalau lihat lo yang sekarang gak mau berbaur sama anak-anak yang lain sih kayaknya emang lo trauma karena pernah jadi korban bullying di sekolah lama lo."

"Ya, anggap aja begitu," jawab Arvan acuh tak acuh sembari mengangkat kedua bahunya.

Larisa mendesis, keinginan untuk menjitak kepala Arvan jelas ada di hati Larisa, namun dia tahan mati-matian agar tidak benar-benar dia lakukan atau dirinya akan tarik urat lagi dengan pemuda menyebalkan itu.

"Awalnya gue emang berencana gak mau deket sama siapa pun di sekolah. Gue gak mau kejadian dulu terulang lagi."

Kekesalan Larisa lenyap begitu saja ketika Arvan kembali melanjutkan ucapannya. Pemuda itu menerawang menatap ke depan seolah sedang bernostalgia dengan masa lalunya.

"Cuma gue gak pernah nyangka bakalan ketemu sama cewek gila kayak lo."

"Heeh ... enak aja ngatain gue cewek gila!" teriak Larisa tak terima.

"Awalnya gue kira lo itu sejenis sasaeng gitu."

"Sasaeng? Apaan tuh?"

"Serius lo gak tahu?"

Larisa mengangguk.

"Gue kirain lo penggemar K-pop gitu."

"Bukan, gue emang suka nonton drama korea tapi gak terlalu ngikutin boyband sama girlband-nya. Jadi sasaeng itu istilah di dunia K-pop ya?"

"Nggak juga sih. Jadi sasaeng itu julukan buat penggemar yang terlalu terobsesi sama idolanya ampe buat para idol ketakutan gitu. Mereka suka ngintilin kemana aja idolanya pergi. Ya, intinya penggemar yang perilakunya kelewat batas, bikin risih idolanya."

"Oh gituuuuu ..." sahut Larisa hingga bibirnya manyun beberapa senti ke depan, kepalanya pun terangguk berulang kali.

Namun, saat otaknya yang tiba-tiba lemot mulai menyadari sesuatu, seketika dia memelotot.

"Jadi, lo nyamain gue sama para sasaeng itu, iya?!!" katanya histeris.

Arvan tertawa lantang dibuatnya.

"Lo jahat banget sih, Van. Masa lo nyamain gue kayak fans gila?"

"Ya kan lo emang gitu. Ngikutin sama deketin gue terus walau udah berulang kali gue tolak, gue kasarin bahkan ampe gue pernah usir juga, kan? Itu apa namanya kalau bukan sasaeng?"

"Issshhh ... gue gak gitu. Kan udah gue jelasin alasan gue suka deketin lo. Lagian jangan kepedean, emangnya siapa yang ngefans sama lo? Nggak banget," sahut Larisa sambil bersedekap dada.

Arvan masih terkekeh geli dan hal itu diam-diam membuat perasaan Larisa menghangat. Meski sebal karena pemuda itu terus mengejeknya, Larisa senang melihat Arvan tertawa seperti itu.

"Tapi berkat lo yang gak nyerah deketin gue, gue jadi sadar ternyata masih ada orang yang hatinya baik. Mau bergaul tanpa memandang status. Ternyata penilaian gue tentang lo salah, lo gak seburuk yang gue duga selama ini."

"Emangnya dulu lo ngira gue kayak gimana gitu?"

"Gue kirain lo sama aja kayak anak-anak orang kaya lainnya. Sombong. Suka pamer. Atau pilih-pilih dalam bergaul. Awalnya sih gue juga ngira lo tipe cewek kayak gitu, apalagi pas tahu lo punya geng di kelas."

"Geng?" tanya Larisa. "Maksud lo gue, Pretty sama Gina itu bikin geng-gengan gitu ya?"

Arvan mengangguk. Giliran Larisa yang kini tertawa keras.

"Nggaklah. Kita ini murni sahabatan, bukannya geng-gengan. Kita welcome kok sama siapa pun yang mau gabung sama kita-kita. Lo mau gabung juga? Boleh banget."

Arvan mengernyitkan dahi tampak jijik mendengar tawaran Larisa yang sama sekali tak menarik minatnya.

"Ogah," tolak pemuda itu. "Gue gak mau berurusan sama dua dedemit itu."

"Heeh ... siapa yang lo panggil dedemit?"

"Ya, siapa lagi kalau bukan dua dedemit aneh yang selalu nempel sama lo kayak perangko. Si Pretty sama si Gina."

Larisa pun tertawa terbahak-bahak hingga dia memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.

"Sumpah ya banyak banget yang ngatain mereka dedemit. Padahal aslinya mereka tuh asyik loh diajak temanan. Mereka itu sahabat baik gue, jangan sembarangan manggil mereka dedemit."

Arvan ikut tersenyum, sangat tipis hingga Larisa nyaris tak sadar jika pemuda itu sedang tersenyum bersamanya.

"Oh iya, waktu itu lo pernah bilang nyesel gitu kenal sama gue. Tahu gak sih, gue sakit hati banget sama omongan lo." Larisa menunjuk wajah Arvan dengan jari telunjuknya. Ekspresi jenaka gadis itu lenyap seketika dan digantikan raut serius yang menandakan Larisa sedang serius mengutarakan kekecewaannya.

"Justru karena kejadian itu gue jadi sadar ..."

Larisa yang membuang muka ke arah lain itu seketika memakukan pandangannya lagi pada Arvan.

"... ternyata gue emang gak bisa hidup sendirian. Sekokoh apa pun benteng pertahanan yang gue bangun buat ngelarang orang lain deketin gue, nyatanya selalu aja ada orang yang berhasil ngeruntuhin benteng itu. Dan lo ... salah satunya yang berhasil ngehancurin benteng pertahanan yang udah susah payah gue bangun."

Larisa melongo, mencerna baik-baik semua yang dikatakan Arvan.

"Sejak lo ngehindarin gue gara-gara kejadian itu, gak pernah gangguin gue lagi dan pura-pura gak kenal tiap kita gak sengaja papasan. Gue ngerasa ada sesuatu yang kurang di hidup gue. Ya mungkin karena gue udah mulai terbiasa lo gangguin. Jadi ... waktu lo tiba-tiba menjauh ... gue ngerasa ..."

Larisa memiringkan kepalanya, penasaran dengan kelanjutan ucapan pemuda itu yang menggantung.

"Apa? Lo ngerasa apa?" Akhirnya dia yang sudah tak sabar, dengan berani menanyakan itu.

"... ngerasa sepi. Ngerasa hampa."

Seketika Larisa menegang. Arvan mengutarakan kejujurannya untuk pertama kalinya.

Tak lama berselang, senyuman lebar pun terbit di wajah Larisa. "Apa ini artinya sekarang lo mau nerima ajakan pertemanan gue?"

Lama Arvan terdiam, membuat Larisa gemas sendiri hingga dia salah tingkah dalam duduknya.