webnovel

Larisa Wish

Memiliki pacar kayak Reza yang tampan, pinter, tajir, perhatian dan romantis ... udah pasti jadi impian semua cewek. Tapi tidak demikian dengan tokoh utama kita yang satu ini, Larisa namanya. Menurutnya cowok keren itu yaitu cowok pendiem, irit ngomong, cuek, dingin dan punya tatapan tajam. Harapan Larisa seolah terkabul saat siswa baru bernama Arvan muncul di hidupnya. Larisa pun bertekad untuk mendekati cowok sedingin kutub utara itu, hanya untuk dijadikan sahabatnya. Yakin cuma jadi sahabat? Kalau kamu jadi Larisa ... antara cinta tanpa alasan atau cinta karena khayalan ... Cinta mana yang akan kamu pilih?

Ellakor · Teen
Not enough ratings
310 Chs

CHAPTER SEMBILAN BELAS

Larisa masih senyum-senyum sendiri di dalam taksi, mengingat kejadian barusan dimana untuk pertama kalinya Arvan mengucapkan terima kasih dan tidak bersikap jutek padanya sungguh membuat gadis itu senang tiada tara. Berpikir akhirnya sedikit demi sedikit dia mulai bisa menaklukan pemuda dingin itu.

Senyuman Larisa pudar ketika merasakan getaran di dalam tasnya. Dia terenyak, tentu saja benda yang menimbulkan getaran yang sukses membuatnya terkejut itu tidak lain merupakan ponselnya.

Dia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kirinya sejenak. "Mati gue, udah jam segini ternyata," gerutunya sembari menepuk jidatnya sendiri, tak menyangka waktu hampir menunjukan pukul 6 sore. Pantas saja langit mulai menghitam di atas sana.

Larisa bergegas mengambil ponselnya, terbelalak mendapati ada 49 panggilan tak terjawab dari Reza dan 16 panggilan tak terjawab dari Pretty.

"Duuh ... gue lupa ngasih tahu mereka. Pasti gue diomelin nih bentar lagi."

Larisa tersentak kaget hingga nyaris melempar ponsel di tangannya tatkala ponsel itu kembali bergetar. Ada nama Reza yang terpampang di layar kini tengah meneleponnya.

"Amsyong dah nih, cowok gue nelepon lagi," umpatnya dan kali ini dia mengangkat telepon itu, meski jantungnya berdebar cepat karena takut dimarahi sang pujaan hati.

"H-Hallo ..." sapa Larisa begitu telepon itu tersambung.

"Kamu dimana?" Suara berat bernada datar dari pemuda yang menelepon di seberang sana tanpa sadar membuat Larisa meneguk ludahnya. Benar dugaannya, Reza pasti marah besar dirinya belum tiba di rumah jam segini.

"A-Aku lagi jalan mau pulang kok sayang. Bentar lagi nyampe rumah," jawab Larisa.

"Kamu dimana?" Reza mengulang pertanyaannya.

"Hm, aku lagi di taksi. Bentar lagi nyampe rumah kok. Kamu lagi ada di rumah aku ya?"

"Kamu dimana?"

Larisa berdecak jengkel, kenapa pacarnya ini terus menanyakan hal yang sama meski dirinya sudah menjelaskan?

"Aku.lagi.di.jalan.sayang," jawabnya, sengaja penuh penekanan agar Reza mengerti. Mencoba berpikir positif mungkin suaranya tak terdengar jelas di telinga Reza.

"Aku jemput kamu. Sekarang kamu dimana?"

"Gak usah jemput segala, aku beneran kok udah deket ke rumah."

"Aku tanya kamu dimana sekarang? Cukup jawab aja jangan bertele-tele!" Larisa menggeram kali ini, pacarnya benar-benar aneh, tak seperti biasanya. Bahkan barusan pemuda itu membentaknya, padahal sebelumnya semarah apa pun Reza padanya, tak pernah sekalipun sampai membentak Larisa.

"Aku di daerah Monas." Akhirnya Larisa memilih menjawab dengan jujur, toh memang taksi yang dia tumpangi sedang melintas di daerah Monas.

"Turun kamu dari taksi. Aku jemput kamu ke sana sekarang."

"Aku bilang gak usah, aku ..." Larisa mengernyitkan dahi, sambungan telepon itu terputus begitu saja. Tentu saja pasti karena Reza memutuskan secara sepihak.

Larisa menggerutu pada layar ponselnya yang tak berdosa, tak hentinya melontarkan kata-kata umpatan pada benda mati tersebut. Sudah jelas kan Rezalah yang sedang dia marahi, naasnya karena Reza tak ada di hadapannya, ponsel malang itu dijadikan pelampiasan amarah Larisa.

"Pak, tolong berhenti di dekat kursi itu ya," pinta Larisa pada sang sopir taksi agar menurunkannya di pinggir jalan dimana ada kursi panjang yang diletakan di trotoar dekat pagar menuju area Monas.

"Iya, neng," jawab si sopir. Dia menghentikan taksinya seperti permintaan penumpangnya.

Setelah membayar ongkos, Larisa turun dari taksi. Wajahnya cemberut ketika taksi itu sudah kembali melaju meninggalkannya. Larisa menendang-nendang udara saking kesalnya dia dengan perlakuan kekasihnya yang tak biasanya tega memarahinya seperti ini.

Sepuluh menit menunggu, mobil Reza belum terlihat dimana pun. Merasa kakinya pegal, Larisa memilih untuk duduk di kursi. Melihat ponselnya sejenak, mengantisipasi mungkin ada pesan masuk dari pacarnya. Ternyata tidak, tak ada pesan masuk selain pesan dari Pretty yang sudah dikirimkan padanya sejak beberapa jam yang lalu. Larisa pun membukanya.

Icha ... you dmn sih? Kok gk ada di deket gerbang?

Cha, ane serius nih kepikiran, you dmn? Kok telepon ane gk diangkat?

Duuh ... Icha, you ngerjain ane ya? you jln sm Hon2 you ya sengaja gk bilang2 sm ane?

You dmn sbnrnya Cha? Ane telepon Kak Reza, dia blng you gk lg sm dia. Please deh, serius ane cemas nih sm you.

Larisaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!

Larisa meringis setelah membaca semua pesan WhattsApp yang dikirimkan Pretty padanya. Rasa bersalah menderanya. Dia sudah keterlaluan karena tidak memberi kabar pada sahabatnya itu. Yakin seyakin-yakinnya pemuda kemayu itu pasti marah padanya besok.

Di tengah lamunan sekaligus rasa bersalahnya, Larisa dikejutkan oleh suara pintu mobil yang dibanting kencang. Dia mendongak dan membeku di tempat duduknya menemukan sang kekasih akhirnya datang dengan wajah memerah bak tomat busuk. Pasti pacarnya itu marah besar padanya.

Larisa bangkit berdiri dari duduknya, berusaha menyentuh lengan Reza begitu pemuda itu berdiri tepat di hadapannya.

"Kamu kemana aja sih? Kenapa telepon aku gak diangkat?" tanya Reza tanpa basa-basi.

"S-sorry, tadi aku ada urusan sebentar."

"Urusan apa? Penting banget ya urusannya ampe gak sempet angkat telepon?" Larisa sudah membuka mulutnya hendak menyahut, namun urung karena Reza kembali menginterupsinya.

"Kamu tahu gak aku kelimpungan tadi nyari kamu? Ampe aku ninggalin kegiatan ospek aku gara-gara takut kamu kenapa-napa. Aku cemas banget waktu si Pretty nelepon nanyain kamu, padahal jelas-jelas kamu bilang sama aku pulang bareng dia."

"Kamu kenapa sih belakangan ini selalu kayak gini? Pergi gak jelas kemana, terus gak bilang-bilang sama orang-orang terdekat kamu. Seneng ya bikin kita-kita cemas nyariin kamu?"

"Bukan gitu, sayang. Tadi itu aku abis bantuin temen sekelas aku."

"Gak usah alasan deh. Kapan sih kamu dewasanya, Cha? Pikiran kamu tuh tetep aja kayak anak kecil. Kalau ngelakuin sesuatu tuh seenak hati kamu, gak mikirin orang lain."

Kata-kata Reza itu membuat Larisa geram, merasa dirinya tidak dipercayai oleh kekasihnya sendiri. Terlebih Reza tak hentinya memarahinya sampai menyebutnya kekanakan dan egois. Bahkan dia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan. Larisa menyentak lengannya yang menyentuh lengan pemuda itu, membuat Reza mengernyitkan dahi melihat perubahan sikap Larisa.

"Udah puas marah-marahnya?" tanya Larisa dengan nada ketus. "Kamu tuh keterlaluan banget tahu gak? Cuma karena masalah sepele kayak gini kamu marahin aku ampe segitunya," lanjut Larisa, wajahnya ikut memerah karena emosinya tengah naik ke permukaan.

"Hidup aku tuh jadi gak bebas semenjak pacaran sama kamu, tahu gak?"

Reza membeku di tempatnya berdiri, tak menyahut sama sekali. Dia biarkan Larisa mengutarakan semua keluh kesahnya yang selama ini tak pernah Reza ketahui.

"Kamu itu posesif banget. Aku gak bisa kemana-mana sendirian. Kamu selalu ngikutin aku kemana pun aku pergi."

"Aku juga punya urusan sendiri, kepentingan sendiri. Masa tiap saat aku harus izin dulu sama kamu kalau mau ngelakuin sesuatu atau bepergian ke suatu tempat?"

Dan Larisa yang tersulut emosi itu tampaknya mulai mengatakan kata-kata pedas, dia lupa atau mungkin tak sadar ucapannya ini bisa merusak hubungannya dengan sang kekasih.