webnovel

Perpisahan Sementara

Jam masih menunjukkan pukul 10.30 WIB saat mobil yang dikemudikan Langit, memasuki halaman sebuah rumah bergaya joglo namun dengan sentuhan desain modern.

Saat turun dari mobil, Langit memperhatikan rumah di depannya dengan pandangan takjub.

Rumah itu terdiri dari 2 lantai.

Lantai bawah terbuat dari batu-batu kali yang berfungsi sebagai fondasi sekaligus dinding penyanggah bangungan di atasnya. Batu-batu itu disusun rapi sedemikian rupa. Warna asli batu kali dibiarkan terekspos alami.

Sedangkan lantai dua, tiang dan dindingnya terbuat dari batang kayu pilihan yang nampak berdiri kokoh menyanggah atap berbentuk tajug, yakni bentuk atap yang menyerupai piramida. Khas rumah tradisional jawa.

Puas memperhatikan sekitarnya, Langit bersama Maya membantu Ibu turun dari mobil.

Kemudian Langit mengikuti keduanya menuju anak tangga kayu yang dikedua sisi pegangannya terdapat ukiran tradisional khas Jawa. Tangga itu langsung menuju lantai 2.

Saat melewati pintu, lagi-lagi Langit dibuat takjub, langkah kakinya disambut rangkaian pintu gebyok yang terbuka lebar.

Terdapat 2 lembar daun pintu penuh ukiran dengan detail-detail kecil yang sangat cantik dan artistik.

Kemudian langit memasuki sebuah ruangan luas yang berfungsi sebagai ruang tamu terlihat dari seperangkat meja kursi berabahan kayu berukir, khas desain rumah joglo pada umumnya.

Di sekeliling ruangan besar itu, terdapat ruangan-ruangan yang lebih kecil dengan pintu2 yang tertutup. Langit menduga, itu adalah ruangan untuk kamar-kamar dan ruangan lainnya.

“Silahkan duduk Nak Langit. Ibu mau langsung ke kamar dulu.” Ibu mempersilahkan.

“Baik Bu... silahkan Ibu beristirahat.” Jawab Langit sopan.

Maya dan Bulek Tatik menuntun Ibu menuju sebuah ruangan di sisi kanan.

Tak lama Maya keluar menemui Langit di ruang tamu. Sedangkan Bulek Tatik tampak berjalan menuruni tangga yang ada di samping kamar Ibu.

“Rumahnya sangat cantik.” Puji Langit sepenuh hati.

“Ini rumah warisan Kakekku. Beberapa tahun lalu aku renovasi dengan menambahkan lantai 2.” Jelas Maya sembari mengambil tempat duduk di hadapan Langit.

“Sebaiknya kamu istirahat dulu di kamar tamu, nanti sore kamu harus kembali ke hotel kan?” Maya menunjuk sebuah ruangan di sebelah kiri.

“Aku sudah cukup istirahat tadi malam, lagipula dari rumah sakit kesini kan hanya 1 jam saja. Aku masih segar bugar.”

“Kamu ini... kalo dibilangin selalu ngeyel.”

“Daripada tidur, aku lebih tertarik mengelilingi rumah ini Kak. Boleh?” tanya langit antusias.

“Ya sudah... ayo.” Ajak Maya seraya melangkah lebih dulu menuruni tangga. Langit mengekor di belakangnya.

Tangga yang mereka lalui membawa Langit ke sebuah ruangan berdinding batu kali.

Ada seperangkat kursi dan meja bulat minimalis di tengah ruangan. Tebakan langit itu adalah ruang makan.

Tak jauh dari ruangan itu, nampak seperangkat kitchen set berdesain minimalis modern, sangat kontras dengan suasana rumah joglo di lantai 2.

Di salah satu sisi dinding dapur yang terbuka, langit dapat melihat hamparan sawah diluarnya.

Ternyata lantai 1 menghadap ke halaman belakang. Pantas saja saat di depan tadi, Langit tidak bisa menemukan pintu maupun jendela sama sekali.

Disisi lain, terdapat beberapa ruangan lain. Sepertinya itu adalah kamar mandi dan gudang.

“Minuman sama gorengannya taruh di teras belakang saja Bulek.” Kata Maya yang disambut anggukan Bulek Tatik yang nampak sibuk di dapur.

Langit meneruskan langkahnya mengikuti Maya yang terus berjalan ke teras belakang. Kemudian duduk santai sambil berselonjor di atas karpet.

Halaman belakang cukup luas, dengan rumput yang terhampar rapi. Walaupun dikelilingi pagar setinggi leher yang dirambati berbagai macam tanaman, Langit masih dapat melihat hamparan sawah di depannya.

“Wahhh.... nyaman sekali tinggal disini. Rasanya aku gak pengen pergi.” Ucap Langit jujur

“Rumah ini sangat cocok kalo untuk liburan sementara, atau menghabiskan masa tua seperti Ibu. Tapi kalo untuk hidup sehari-hari aku lebih suka tinggal di kota.”

“Kenapa begitu?”

“Entahlah... mungkin karena di kota aku sudah terbiasa dengan suasana kesibukan kerjanya. Kalo terlalu lama tinggal disini, aku malah bingung mau ngapain.”

“Begitu ya...”

“Hmmm...” Maya menjawab dengan anggukan.

*****

Tepat jam 4 sore.

Taksi online yang dibooking Langit, tiba di halaman rumah Maya.

Ditemani Maya, Langit keluar dari rumah. Kedua tangannya menenteng 2 tas penuh oleh-oleh.

Ibu Maya berhasil memaksanya membawa berbagai macam makanan khas kota itu. Sebagian dimasak oleh Bulek Tatik, sebagian lagi dipesan dari pusat oleh-oleh.

Mau tak mau, Maya tersenyum melihat kerepotan Langit.

“Sepertinya aku akan sering kesini kalo pulangnya dapat oleh-oleh sebanyak ini.” Kata Langit setengah bercanda.

“Kesini saja kalo memang mau.” Jawab Maya sekedar basa basi.

“Aku pegang kata-katamu. Jangan menyesal ya Kak.” Kata Langit menanggapi serius.

Maya hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa.

*****

“Maya... sini Nduk.” Ibu memanggilnya saat Maya baru memasuki pintu rumah setelah mengantar Langit pergi.

Memintanya duduk di sampingnya.

“Ada apa Bu?” tanya Maya kemudian.

“Langit itu siapa sebenarnya?” Ibu bertanya menyelidik.

“Kan Maya sudah perkenalkan sama Ibu kemarin, dia itu rekan kerja Maya dari kantor pusat.”

“Tapi kok dia bisa ke rumah sakit sama kamu? Biasanya kamu nyupir sendiri, atau diantar Pak Yadi.”

“Kebetulan saja Bu, waktu Bulek Tatik telepon mengabarkan kondisi Ibu, Maya sedang makan siang bareng dia.”

“Masa cuma rekan kerja, ndak ada yang lain?” Ibu masih belum percaya.

“Ndak ada Bu... Dia itu salah satu pembalap yang disponsori perusahaan. Dia kesini hanya untuk mengikuti event tour di kantor Maya.”

“Tapi sepertinya dia perhatian sekali sama kamu Nduk.”

“Ibu bisa saja... Dia kan jauh lebih muda dari Maya Bu. Dia bisa pilih perempuan manapun yang lebih muda dan cantik. Kenapa juga dia pilih Maya yang lebih tua dari dia.”

“Memang berapa umurnya?”

“23.”

“Tapi cinta itu ndak mandang usia lho.”

“.....” Maya terdiam mendengar perkataan Ibunya.

“Dari tindakannya, Ibu bisa melihat dia peduli sama kamu nduk.”

“Bisa saja dia menganggap Maya seperti kakaknya Bu. Karena dia itu gak punya saudara kandung lain.”

“Oh ya?”

“Iya.”

“Orangtuanya kerja apa?”

“Sudah meninggal semua Bu, sejak dia masih kecil. Katanya sih dia di rawat sama Bibinya, adek dari Bapaknya.”

“Ooo... begitu. Pantas saja dia sopan sekali sama Ibu. Sampai tangan Ibu dia cium segala. Mungkin dia kangen sama Ibunya ya Nduk.”

“Bisa jadi Bu. Tapi Bu.... Seandainya dia suka sama Maya, Ibu ndak apa-apa punya menantu usianya lebih muda dari Maya?” Maya bertanya iseng, dia hanya bermaksud menggoda Ibunya saja.

“Ya ndak apa-apa.... wong jodoh sudah ada yang atur kok.” Jawab Ibunya serius.

“Waduuhhh....” Maya menggaruk lehernya yang tak gatal, dia tak menyangka Ibunya menanggapi serius ucapannya.

“Lho... kenapa? Walaupun lebih muda, Nak Langit itu baik, sopan, bertanggung jawab, buktinya dia rela ngantarin kamu jauh-jauh ke rumah sakit, trus ganteng lagi.”

“Ya ndak apa-apa sih Bu.... cuma ndak bisa dibayangin saja kalo Maya sama dia. Kayak kakak adek pasti.”

“Ah kamu ini.... ada saja alasannya. Awas lho doa Ibu lebih ampuh daripada doamu.”

“Yaa Ibu jangan doain Maya sama dia dong.”

“Yaaa.... terserah Ibu dong.”

Sambil pura-pura merengut, Ibu beranjak meninggalkan Maya menuju kamarnya.

*****

Sementara itu, taksi yang membawa Langit mulai berjalan meninggalkan rumah Maya.

Ada sebagian hatinya yang tak rela sebenarnya.

Namun apalah daya, jadwal kerjanya jelas tak bisa diabaikan begitu saja.

Keputusannya menghabiskan cuti didekat Maya, adalah keputusan paling benar menurutnya.

Sejak pertama kali bertemu, Maya menarik perhatiannya.

Setelah pertemuan kedua dan dia mengetahui siapa Maya, keinginannya untuk menjadi bagian dari hidup Maya semakin kuat.

Setelah kepulangannya dari Malaysia lalu, diam-diam Langit mencari informasi tentang Maya.

Setiap melakukan kunjungan atau tour ke cabang perusahaan tempat Maya bekerja, tak lupa dia menanyakan tentang Maya. Berharap ada seseorang yang mengenal Maya atau setidaknya mengetahui sedikit kabar Maya.

Hingga sebulan lalu dia menerima jadwal tour, wajahnya yang seringkali terlihat cuek dan jarang tersenyum, berubah sumringah saat melihat bahwa tour berikutnya akan dilaksanakan di kantor cabang tempat Maya berada.

Untuk itu, jauh-jauh hari sebelumnya Langit sudah mengajukan cuti pada pelatih balapnya dan meminta ijin pada Pak Hery untuk menghabiskan cutinya di kota tempat Maya.

Tak ada yang mencurigai niatnya saat dia ingin menghabiskan cuti di kota itu, Langit beralasan dia ingin menikmati sejuknya udara disana. Mengingat kota tempat pelatihannya sudah tak lagi memiliki udara yang segar dan penuh polusi.

Itulah sebabnya, dengan mudah Langit mendapatkan ijin cutinya, dengan syarat dia harus sampai tepat waktu pada jadwal tour berikutnya.

‘Sampai jumpa lagi Maya... Ini hanya perpisahan sementara.... Suatu saat nanti, Aku akan kembali lagi ke kotamu.’ kata Langit dalam hati.