35 dave.pov

apa aku sudah keterlaluan pada clara?

pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. gara-gara mulut clara yang cerewet itu aku hampir membunuhnya, andai aku tidak menahan diri, sudah pasti dia mati hari itu juga. tapi siapa yang memulai? dia duluan. aku sudah memperingatkannya untuk tidak membahas tentang mama, arin, dan abel lagi, tapi dia tetap melakukannya. dia pantas dihukum, lagipula dia tidak mati, terluka pun tidak, seharusnya tidak masalah. tapi kenapa sikapnya jadi begini? dia jadi jarang berbicara, tiap kali ada aku dia menghindari kontak mata denganku, intinya dia berbeda dari biasanya. sebenarnya aku tidak terlalu masalah dengan itu, tapi memangnya siapa yang tahan jika setiap hari seseorang membantumu berpakaian tapi menampakan wajah masam?

aku baru saja pulang dari kantor, masih jam empat sore, setelah distribusi besar-besaran dan acara-acara pertemuan yang kini diurus si diego sialan itu pekerjaan di kantor menjadi lebih santai. anak buahku sudah mulai berlatih kembali dan bisnis-bisnis legalku berjalan lancar tanpa kendala.

tak kudapati clara di kamar. mungkin dia pergi ke hotel, walaupun agak aneh jika dia jam segini sudah berangkat, biasanya dia berangkat jam 6 sore lalu pulang jam tujuh atau jam delapan pagi dan langsung tidur begitu saja, benar-benar seperti kelelawar. dia terlihat lelah, tapi juga terlihat menikmati. tapi siapa yang peduli? tidak adanya clara benar-benar membuat kegiatan di sini dapat berjalan seperti biasanya, dan itu lumayan membantu.

aku keluar kamar hanya dengan mengenakan kaos oblong putih dan celana selutut.

"clara udah berangkat?" tanyaku pada salah seorang anak buah yang kebetulan sedang berjalan menuruni tangga.

"nona clara sedang main basket di halaman belakang" jawabnya lalu berlalu. aku menuju dapur dan membuka kulkas. kuambil sekaleng minuman bersoda dan meminumnya sambil berjalan menuju halaman belakang. disana kulihat clara sedang asik bermain basket sendiri. aku berdiri si beranda dan mengamatinya. benar-benar kacau, mana ada orang mendrible bola sengan dipukul seperti itu? dan caranya memasukan bola.... kujamin mau dia mencoba seratus kali pun dia tidak akan berhasil memasukan bola walaupun cuma sekali.

"gak kaya gitu bego!" seruku, kesal sendiri dengan kelakuan clara. clara berhenti bermain. dia menatapku yang tengah berjalan ke arahnya.

"biarin sih, yang main aku ngapain kamu yang ribut?" balas clara.

"permainan kamu merusak kearifan lokal permainan basket" kataku.

"basket aja datengnya dari luar negeri bukan lokal" lagi-lagi dia membalas ucapanku, tapi tak kupedulikan, berdebat dengannya itu takan ada ujungnya.

"sini bolanya" kataku. clara melempar bola padaku lalu aku mempraktekan cara mendrible bola yang benar.

"gini cara drible bola yang bener" kataku.

"emang bedanya sama caraku apa? kayanya sama aja deh" ujar clara.

"jelas beda begi, kamu tu namanya mukul bola, bukan drible, bola gak salah apa-apa kok di pukul" jelasku.

"tapi bola volly di pukul tuh kalo lagi smash, bola kasti apa lagi, bola pingpong juga" ujar clara, sepertinya dia memang berniat membuatku emosi.

"kamu mau aku ajarin main basket apa minta dihajar?" tanyaku.

"ih, galak banget sih" cibirnya, namun kemudian dia mulai memperhatikanku mendrible bola. dengan pengetahuanku aku berusaha menjelaskan cara mendrible bola dengan sederhana agar clara mengerti. tapi sepertinya otakmya terlalu lemot untuk menangkap teoriku. kadi kuberilan bola basket padanya.

tak sampai sepuluh menit dia berhasil membuatku emosi karena tidak melakukan apa yang kuajarkan dan aku hanya bisa terus-terusan meneriakinya bodoh.

"dasar bodoh, kaya gitu lagi. gini lho, harus berapa kali aku jelasin ke kamu?!"

"ih.... kamu kira gampang mahami kata-kata kamu yang njlimet itu? aku tu emang gak bisa mainan bola-bola-an kaya gini, aku tu udah capek tau!" balas clara membuatku emosi.

"sebenernya main basket tu gampang asal diajarin sama orang yang tepat" aku dan clara menoleh ke sumber suara. diego menatap kami dengan senyumnya yang khas. membuatku yang sudah kesal makin kesal.

"kamu suruh ajarin orang itu aja" kataku sambil memberikan bola pada clara dan berjalan menjauh.

"tapi dave..."

"gak usah khawatir, aku jago banget kok ra kalo cuma main basket, gini-gini aku ketua tim basket waktu sma" potong diego sebelum clara menyelesaikan kata-katanya. dasar sombong. aku ingat dulu waktu sma dia memang aktif di klub itu. sedang aku lebih aktif di klub renang daripada basket. gara-gara kami berdua sama-sama menjadi bintang di kedua klub membuat kami digemari banya cewek dan itu sangat merepotkan bagiku. tidak seperti diego, bukannya merasa repot dengan itu. dia malah senang dikelilingi banyak perempuan dan terkenal sebagai playboy yang telah merusak masa depan banyak perempuan. dia melakukannya karena tidak mendapat perhatian dari orangtuanya. keluarganya benar-benar kacau karena itu dia mencari kesenangan diluar. awalnya kami tidak saling kenal, lalu karena sebuah kesalahpahaman kami berkelahi dan dihukum guru untuk mengecat tembok belakang sekolah yang luasnya minta ampun dan entah bagaimana kami jadi berteman setelah itu hingga saat ini. kupikir-pikir sudah lama juga kami berteman, sudah lebih dari sepuluh tahun ternyata.

sambil dudukan dan menghabiskan sisa minuman bersoda yang sudah hilang sodanya tadi, kuamati mereka berdua. diego mengajari clara dengan cara lebih baik dariku dan clarapun tampak mudah memahami arahan diego. mereka berlatih sambil bercanda-canda, sepertinya sangat menikmati sesi latihan mereka. sekarang dapat kulihat permainan yang layak, tidak seperti tadi.

aku bangkit meninggalkan mereka, biar saja mereka bersenang-senang sepuas mereka.

aku berjalan menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil tiga kaleng minuman, sekaleng beer untukku, dan minuman bersoda rasa strawberry untuk clara dan diego. kurasa clara tidak cocok minum minuman berkadar alkohol lumayan tinggi seperti ini dan meskipun diego tidak masalah tapi kurasa beer kurang cocok diminum setelah olahraga karena panas di badan.

aku berjalan kembali ke halaman belakang, langkahku terhenti saat kulihat pemandangan di tengah lapangan. clara terbaring di lapangan dengan tubuh diego di atasnya. apa-apaan ini?! segera kuletakan minuman-minuman itu di meja dan berjalan cepat ke arah mereka. perlahan, dapat kulihat diego yang mulai menurunkan wajahnya ke arah clara. sret! kutarik baju diego dari belakang, membuatnya dan clara terkejut.

"dave, kita gak ngapa-ngapain, kita...."

"aku gak tanya kamu" potongku saat clara berbicara lalu kutatap diego tajam. aku tau apa yang mereka alami murni ketidaksengajaan. barangkali clara mencoba merebut bola dari diego lalu tersandung kaki diego dan sama-sama jatuh. tapi diego memanfaatkan ketidaksengajaan itu untuk mempermainkan clara. aku tau pola pikirnya dengan sangat jelas, dia tipe laki-laki yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!

"lo gak berpikiran sempit dan cemburu gara-gara itu kan dave" kata diego seolah-olah tidak melakukan apapun.

"kamu istirahat dulu aja ra, udah kelamaan kamu main" kataku. clara terlihat agak bingung, tapi pada akhirnya dia menyingkir dari lapangan.

kuambil bola basket dan mendriblenya, diego langsung paham dengan tingkahku, dia mengikuti permainanku.

"lo tadi mau ngapain si clara?" tanyaku sambil bermain basket.

"gak ngapa-ngapain, cuma.... lo gak masalah kan bagi istri lo ke gue? lo gak suka kan sama dia?" tanya clara.

"mau gue suka apa enggak, mau dia istri gue atau bukan, gue gak sudi berbagi ama lo dalam hal begituan" kataku. diego tertawa.

"kenapa gak mau? gue kan sobat lo" ujar diego.

"justru karena lo.... lo tau, gue gak perlu jelasin lo juga pasti tau kalo lo...." aku diam, kubiarkan bola basketku menggelinding begitu saja, tidak bisa melanjutkan kata-kataku. mau kusangkal bagaimanapun, diego sudah seperti saudaraku dan aku tidak mungkin melakukan hal seburuk itu.

"jadi lo udah maafin gue?" tanya diego. aku memalingkan mukaku dan berjalan malas mengambil bola. sebelum aku sempat mengambil bola, diego sudah mengambilnya terlebih dahulu dan mendriblenya. aku menatapnya kesal dan dia membalasku dengan senyumnya yang mengejek, dia memang suka mencari masalah. segera terjadi pertarungan sempit diantara kami.

"gak usah sombong dulu lo, mentang-mntang mantan ketua basket lo kira bisa menang dari gue?"

"justru itu, gue harus mentang-mentang donk, coba kalo tandingnya renang, gue gak bisa mentang-mentang" balas diego.

"jangan harap lo, masa kejayaan lo tu udah lewat, cuma basket gini doank gue juga jago"

kami bermain sambil saling mengunggulkan diri masing-masing, kesalahannya kapan itu sudah kuanggap tidak pernah ada. rasanya sudah lama kami tidak bermain bebas seperti ini karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.

bruk! aku menghempaskan tubuhku di lapangan begitu saja, diego melakukan hal yang sama di sampingku.

hari sudah mulai gelap dan badanku benar-benar lelah, sepertinya diego juga. nafas kami memburu dan keringat membasahi tubuh kami.

"gila, capek banget gue, udah lama gak main kaya gini" ujar diego.

"sama, kayanya kita udah terlalu tua buat main basket, gue ngerasa stamina gue payah banget" ujarku.

"lo aja yang ngerasa tua, gue sih ngerasa muda terus. dasar tua bangka" ledek diego.

"sialan lo, setidaknya gue udah punya istri, gak jomblo sepanjang masa kaya lo" balasku.

"gini-gini banyak cewek yang mau ama gue. kayanya gue juga harus ngingetin lo, pengalaman gue labih banyak dari lo, pengalaman lo apa? masih bisa dihitung pake jari, satu tangan lagi" ejeknya. sialan, kalo dalam hal ini aku memang kalah darinya.

"gue ngaku kalah, lo emang lebih pengalaman kalo masalah cewek" kataku. hening.... kami diam, terlalu lelah untuk bicara lebih panjang lagi. mencoba mengatur napas kami agar kembali normal.

"lo gak ada niatan ke luar negeri lagi apa gimana? tumben lo bertahan berbulan-bulan disini" kataku setelah beberapa saat.

"udah gak ada masalah di luar negeri, ngapain kesana. lagian seenak-enaknya tempat kembali tu ya rumah sendiri" kata diego. benar apa katanya. sebagus apapun tempat yang kudatangi, tetap saja aku merasa lebih nyaman tinggal di rumah.

"argh.... badan gue capek banget, gue harus mandi dan ganti baju eh, gue mau nginep sini juga malam ini" kata diego sambil bangkit berdiri. akupun berdiri dan merenggangkan badanku.

"ngapain lo tidur sini? lo udah punya rumah sendiri" kataku.

"bosen sendirian di rumah, lagian gue lagi pengen minum-minum ntar malem, gak seru kalo cuma sendirian. enakan sama lo sama rosa, udah lama kan kita gak minum bareng" ujar diego. aku hanya mengiyakan. omong-omong tentang minum aku jadi teringat dengan minuman kaleng yang tadi kubawa.

kami berjalan menuju rumah di meja kudapati dua kaleng minuman bersoda.

"kebetulan banget ada minuman, haus banget gue, yah, udah gak dingin, gue ambil baru aja" kata diego. aku hanya diam menatap minuman itu.

"lo ngapain dave?" tanya diego.

"gak, gak papa, cuma... kayanya beer gue diminum sama clara" kataku.

"oh... gue kira apa, beer apaan yang dia minum?" tanya diego. aku menyebutkan sejenis beer dan mata diego lanhsung membelalak.

"lo gila? itu kadar alkoholnya tinggu banget!" ujar diego.

"udah, gak usah dipikirin, mungkin dia emang bisa minum makanya ambil beer gue" kataku berusaha berpikir positif.

"terserah lo deh" kata diego, kami masuk ke rumah. tapi saat kami berada di ruang keluarga....

"dave, lo ngasih minum clara apa sampe clara kaya gitu?" seru rosa dari tangga. dia buru-buru menuruni tangga. aku dan diego saling bertatapan lalu buru-buru ke atas. sepertinya yang tadinya kukhawatirkan terjadi.

kubuka pintu kamarku. kudapati clara terbaring di sofa dengan wajah merah dan tanpa tenaga, keringatnya bercucuran, padahal dia baru selesai mandi dilihat dari rambutnya yang masih basah dan piyama yang dikenakannya. aku dan diego mendekat.

"dave...." clara bergumam. matanya sedikit terbuka.

"apa yang kamu rasain sekarang?" tanyaku sambil dusuk disisinya.

"kepalaku pusing, badanku panas, aku gak bisa liat dengan jelas" gumam clara.

"dia harus diapain?" tanyaku.

"mana gue tau, suruh aja tidur, besok juga sembuh sendiri" kata diego. aku mendengus, anak ini benar-bebar merepotkan.

kuangkat tubuhnya, dalam gendonganku dia meringkuk seperti anak kecil. kubaringkan clara di ranjang dan menyelimutinya.

"jangan lama-lam liatinnya, ntar lo suka beneran" goda diego. aku berdecak dan dengan lirikan mata kuusir diego. sia pergi sambil tertawa. kembali kutatap clara, dia benar-benar masih bocah dilihat dari sudut manapun dan sebenarnya terlalu jahat memikirkannya harus menjadi korban karena ambisiku, tapi untuk apa aku peduli, aku juga korban sebelumnya. tapi.... kalau begini bukankah aku tidak berbeda jauh dengan orang itu?

kugelengkan kepalaku, menepis berbagai macam pikiran yang ada di kelapaku lebih baik aku mandi, badanku benar-benar kotor.

setengah jam sudah aku mandi. aku keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar dan bersih. tunggu, dimana clara? dia tidak ada di ranjang. aku menatap sekeliling dengan agak panik. kulihat pintu balkon yang terbuka. aku bergegas kesana dan mendapati clara sedang berdiri di tepi balkon. rambutnya yang sudah mulai kering berkibar-kibar diterpa angin.

"ngapain kamu disini? buruan masuk kamar dan tidur" perintahku. clara membalik badannya. tampak air matanya yang mengalir.

"dave, apa aku begitu gak berharga buat kamu?" tanya clara.

"kamu omong apaan sih? buruan masuk" kataku sambil menarik tangan clara, dia masih mabuk. dia diam tak bergerak.

"ternyata bener, aku gak berharga buat kamu" clara mulai menangis, tubuhnya merosot ke lantai sementara satu tangannya masih kupegang. aku berlutut di hadapannya.

"kamu omong apaan sih, siapa yang bilang kaya gitu? kamu sangat berharga buat aku, salah satu aset yang paling berharga buatku saat ini itu ya kamu" kataku, jika dia tidak ada bagaimana aku bisa memiliki restoran papanya?

clara berhenti menangis, dia menatapku sambil tersenyum.

"beneran?" tanyannya.

"iya, beneran, ayo masuk, keburu masuk angin" kataku sambil menarik clara berdiri. namun tubuhnya ambruk begitu berdiri. bruk, sebelum dia jatuh aku sudah menangkapnya dalam pelukanku.

"dave...." dia bergumam pelan, hampir tidak jelas.

"aku sayang kamu...." deg, benarkah kalimat itu yang keluar dari mulutnya? kuharap aku hanya salah dengar.

avataravatar
Next chapter