webnovel

Seekor Rubah 1

"Aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan!"

Renee menerobos laki-laki bermata abu-abu itu, ia berlari keluar dari Aula pertemuan, menghindari areal parkir yang di sana ada dua Pelayan yang menunggu Leo, lebih baik ia menghindar sebelum tertangkap.

"Tidak apa-apa, Renee. Ratu pasti mengerti kesulitanmu." Renee terus menyemangati dirinya, ia melompat menghindari dua anak tangga sekaligus, berlari menuju keluar.

Para pelayan Keluarga Emmanuel yang menunggu di dekat kereta melihat kepergian Renee, mereka saling pandang dan menggelengkan kepalanya.

Renee menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba saja ia berhenti, melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan dan kembali berlari. Beberapa orang melihatnya dan tidak berniat menghentikannya, mungkin mereka terlalu malas berurusan dengan orang asing.

Renee tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, ia hanya punya satu kesempatan, hanya ini. Kalau ia menyia-nyiakan kesempatan ini dan ragu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi, ia mungkin akan kehilangan kewarasannya cepat atau lambat karena terlalu lama berada di sisi Leo.

"Ya ampun, cepat sekali."

Melihat kepergian Renee yang cepat itu hanya membuat orang lain menggelengkan kepalanya. Laki-laki bermata abu-abu itu tidak mengatakan apa-apa lagi, ia hanya tersenyum melihat kepergiaan Renee, kemudian melirik Leo yang masih berbicara dengan Celia.

Celia masih cantik dan lembut seperti biasanya, kehadirannya selalu menarik perhatian banyak orang, seperti magnet yang menarik serpihan besi untuk mendekat.

"Leo," kata laki-laki bermata abu-abu itu sambil mendekat, ia melirik Celia dengan lirikan tajam, tapi bibirnya mengulas senyuman miring. "Bisakah aku … bicara dengan Leo dulu, kau sudah mengoceh terlalu lama, Ducches … Celia Fern."

Saat ia mengatakannya, ia jelas menunjukkan ketidaksukaan yang kuat, tidak seperti orang lain yang bersikap ramah dan penuh rasa simpati pada Celia, laki-laki bermata abu-abu itu malah terkesan jijik.

Celia terlihat kaget, ia hendak mengatakan sesuatu sebagai bantahan tapi entah kenapa tidak berani, dengan pelan ia melangkahkan kakinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Kau lama sekali," keluh Leo sambil melirik laki-laki bermata abu-abu itu, kursi rodanya bergerak dengan perlahan. "Lama tidak bertemu, Dylan."

"Kau selalu mengatakan itu, tapi memang benar … kita memang tidak bertemu, berapa lama ya? Aku lupa." Laki-laki bermata abu-abu itu, Dylan tersenyum tipis dan mengambil kursi terdekat, duduk di depan Leo. "Aku punya informasi yang lucu untukmu, kelinci kecil yang baru saja datang bersamamu, melarikan diri."

Leo melirik ke arah pintu yang terbuka lebar, ia terkekeh. "Secepat itu?"

Leo sama sekali tidak terlihat terkejut, justru dari raut wajahnya ia seakan telah menyangka hal seperti itu akan terjadi. Renee bukan orang penurut, Leo tahu dari sorot matanya, ia mampu bersikap patuh dan memasang senyum manis di depan wajahnya, tapi diam-diam di belakang punggungnya, wanita itu penuh cibiran dan rasa marah ketika bersama dengan Leo.

Seperti yang diharapkan, seorang aktris memang harus pandai bersikap dalam situasi apa pun.

"Ya, apa kau ingin aku melakukan sesuatu padanya?" Dylan bertopang dagu, tangannya bergerak mengguncang botol anggur yang telah kosong setengahnya. "Dia cukup cantik dan sepertinya ia pilihan yang bagus daripada sebelumnya. Kalau kau mau, aku bisa menangkapnya sebelum ia mencapai perbatasan Kerajaan."

Dylan menuangkan anggur dengan serampangan, isinya meluap keluar dan ia tertawa.

"Bagaimana?"

Beberapa Pelayan lewat di sekitar mereka dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menyinggung dua laki-laki yang mengobrol dengan suasana yang aneh, beberapa tamu yang melihat hanya diam-diam mengangkat gelas anggur, tidak berani mengusik.

"Tidak perlu," sahut Leo dengan santai, mengambil anggur di atas meja dan menjauhkannya dari Dylan. "Tanpa aku tangkap pun, ia pasti akan menungguku untuk dijemput."

Dylan terkekeh, mata abu-abunya itu menyipit. Tidak bisa dijelaskan apakah saat ini ia saat ini merasa senang atau marah, wajahnya terlalu sulit untuk dinilai.

"Kau selalu percaya diri seperti biasa, Leo." Dylan yang melihat gelas anggurnya diletakkan di sisi lain meja mendengkus, ia berdiri dengan tangan di pinggangnya. "Tapi … seharusnya kau belajar … ada banyak wanita yang harus bernasib sial ketika dipaksakan bersamamu, kan?"

Mata abu-abu milik Dylan itu melirik ke arah Celia yang berbicara dengan orang lain, ia mendengkus dengan kasar.

Setelah mendengar perkataan dari Dylan, Leo langsung menatap pada kakinya yang selalu ditutupi kain lembut, ada raut kesedihan yang terukir di wajahnya, hanya sesaat sebelum wajahnya menjadi datar dan dingin seperti biasa.

Dylan yang melihat reaksi Leo tidak mengatakan apa-apa lagi, ia berjalan mengitari meja dan mengambil gelas anggurnya.

"Aku akan melihat sampai mana kelincimu itu bertahan, siapa yang tahu ... apakah dia sama seperti sebelumnya … atau sedikit berbeda."

Leo menggelengkan kepalanya, orang-orang di sekitar mereka tidak ada yang mendekat begitu Celia pergi, seakan-akan mereka tidak memiliki keberanian untuk menyapa, tapi keadaan itulah yang Leo sukai.

Keterasingan.

Mungkin diantara semua orang yang ada di kota Dorhive, hanya Dylan yang memiliki sikap santai seperti ini padanya serta Celia yang selalu menggunakan nada lembut ketika bersamanya.

Hanya mereka, tapi Leo tidak pernah merasa tidak nyaman, ia tidak peduli seperti apa orang memperlakukan dan melihatnya. Leo sudah terbiasa dengan semua itu, mungkin sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Dylan mengangkat gelas anggurnya, minum dengan tenang.

"Dia adalah rubah," lanjut Leo lagi.

"Uhuk!" Dylan tersedak, untungnya ia tidak minum banyak, rasa terbakar terasa di tenggorokannya dan ia buru-buru menyeka mulutnya dengan saputangan dari saku Leo. "Apa yang kau katakan?"

"Dia bukan kelinci-kelinci bodoh seperti yang terdahulu, dia adalah rubah."

Dylan dan Leo saling pandang selama beberapa detik, lalu Leo tersenyum tipis dan menggerakkan kursi rodanya itu menjauh.

Dylan yang memegang gelas anggur di tangannya itu mendengkus, menaruh kembali di atas meja dan menyapu noda basah di lengannya.

"Kalau rubah, bukankah seharusnya lebih sulit untuk ditangkap?"

Leo tidak memedulikan Dylan dengan pikirannya, ia melihat kalau dua pelayannya datang dan membantunya turun dari Aula, berjalan menuju kereta yang sengaja diletakkan di bagian paling luar. Beberapa orang yang baru saja datang hanya bisa menahan diri mereka dan tersenyum canggung pada sang Marquis.

Leo mengabaikan mereka, ketika ia mendekati kereta, salah satu pelayannya segera membungkuk.

"Tuan, apakah kita akan pulang atau …." Pelayan itu terlihat bingung untuk melanjutkan perkataannya, mereka melihat Renee yang berlari keluar dari Aula tanpa menoleh, lari keluar dan mereka dengan cemas menunggu sang Marquis, menunggu perintah selanjutnya.

Leo menatap ke arah langit, di sana matahari masih bersinar cerah dan suasana terasa hangat dan nyaman.

"Mari kita tunggu sebentar."

Leo ingin tahu apakah rubah itu bisa kembali padanya atau melarikan diri dengan sempurna.