webnovel

Sebuah Akhir 1

Celia merasakan waktu berjalan lambat di sekitarnya, matanya melihat ujung pedang yang bergerak mengarah ke perut, cahaya jingga yang bersinar melapisi pedang tersebut, secara lambat mulai menggores tubuhnya.

Ia akan mati.

Hanya itu yang ada di pikiran Celia saat ini, matanya bergerak ke wajah Leo dan wajah laki-laki itu menjadi tumpang tindih dengan bayangan di kepalanya, antara wajah Leo pada saat ia masih balita, remaja dan yang sekarang.

Mata itu adalah mata yang sama, sedikit pun tidak ada perubahan.

"Kenapa …." Celia bergumam dengan suara rendah, air matanya menetes seiring dengan perutnya yang terasa pedih dan darah yang memercik ke sekitarnya.

Padahal ia sudah mencintai seseorang sampai ke titik ini, tapi hasil yang ia dapatkan adalah sebuah kesia-siaan.

Celia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah selama ini, ia terlalu bodoh?

Pedang yang terayun itu dengan cepat menggores perut Celia, wanita itu terhempas ke atas tanah untuk yang kesekian kalinya dan ia mengerang kesakitan.

"Ah, hentikan." Celia berusaha bangkit, ia tidak berdaya melakukan apa pun, perutnya sudah terluka, lebih parah daripada Renee sebelumnya.

"Apa kau pernah mendengarkanku?" Leo yang masih menggendong Renee di pelukannya tidak menunjukkan sedikit pun belas kasihan, pedang yang ia pegang terlihat sangat haus akan darah. "Aku tidak pernah menyukaimu, dulu dan sekarang."

Perlahan tapi pasti, Leo mulai mendapatkan ingatannya, sedikit demi sedikit.

Wanita yang ada di depannya ini sebenarnya siapa?

Kenapa ia bisa hidup dan tetap tidak menunjukkan satu pun tanda penuaan sedikit pun?

Leo mengingat kembali kematian kedua orang tuanya yang begitu mendadak, lalu kecelakaan kereta yang membuatnya harus berpura-pura agar ia bisa mengungkapkan siapa pelakunya, ia awalnya yakin kalau sebenarnya pelaku dari semua ini adalah seseorang yang mengincar posisi Marquis di kota Dorthive, tapi semuanya semakin tidak masuk akal ketika ia berpura-pura cacat dan mengikuti semua permainan Ivana.

Posisi Marquis tetap ada pada dirinya, tapi ia kehilangan kebebasan, seakan-akan dirinya memang sengaja dibuat terperangkap di Mansionnya sepanjang hari.

Orang itu tidak menginginkan jabatan karena ia sudah memilikinya, tapi menginginkamn diirnya.

"Menjijikkan," kata Leo pada akhirnya.

Tidak peduli apakah yang ada di depannya ini monster, Penyihir atau Iblis, Leo akan menghancurkan semua itu, ia harus menyingkirkan semua orang dengan nama belakang Fern di kota ini.

"Aku memang menjijikkan," kata Celia sambil menatap Leo, napasnya terputus-putus dan ia tidak bisa meraskan kakinya lagi. "Tapi aku melakuan semua itu demi kamu."

"Omong kosong."

Leo meletakkan Renee dengan hati-hati di atas tanah dan mengusap wajah wanita itu dengan pelan, ia kemudian berbalik menatap Celia dengan matanya yang suram. "Kau melakukan semua ini bukan demi aku, tapi demi dirimu sendiri."

Celia menatap langit-langit yang ada di atasnya, samar-samar ia bisa melihat kalau ada cahaya matahari yang menerobos masuk ke bawah, ia bisa melhat pantulan hangat yang bersinar menyinari sekitarnya.

Kenapa hari ini cerah sekali?

Bahkan di tempat terbawah di Mansion keluarga Emmanuel, Celia bisa merasakan betapa hangatnya sinar matahari yang membuatnya iri.

Ternyata cinta itu sulit sekali digapai.

Leo berjalan di depan Celia, ia meletakkan pedang di leher wanita itu, semua rasa skait yang ia rasakan selama bertahun-tahun akibat wanita ini tidak bisa dibendung lagi.

"Apa kau akan memaafkanku?" Celia menatap Leo, wajahnya tidak terlihat jelas karena terpantul sinar matahari dari reruntuhan yang terus jatuh.

"Menurutmu?" Leo mengangkat tangannya, tidak ada belas kasihan lagi di wajahnya, semua orang menderita akibat Celia, tidak hanya dirinya, keluarganya, tapi juga semua orang di kota Dorthive.

Mereka monster, tapi Celia jauh lebih buruk daripada monster, ia tidak hanya mengubah semua orang, tapi juga menahan dan membunuh orang-orang di kota Dorthive dengan semena-mena.

"Tidak," kata Celia dengan senyuman pahit di wajahnya, ia tidak bisa bergerak lagi dan pasrah atas apa yang terjadi selanjutnya. "Aku tahu kau akan mengatakan tidak padaku. Tapi Leo ….."

Celia melirik Renee yang masih tidak sadarkan diri di atas tanah, ia menyeringai.

"Kau tidak akan bisa menyelamatkan Renee lagi," katanya dengan tawa, pedang yang Leo pegang bergerak dan mulai melukai lehernya, semakin kuat dan darah merembes kemana-mana. "Kau sudah melukai Renee dengan pedangmu dan itu mengandung racun ular milikku."

Leo terdiam, dan keadaan hening selama beberapa saat.

"Racun katamu?" Renee yang tidak tahu sejak kapan berdiri di belakang Leo, ia telah pulih dan menatap Celia dengan tajam. "Sayang sekali, sepertinya tidak sesuai dengan harapanmu, Duchess."

Celia menatap Renee dengan terkejut, wajahnya memucat dan ia menyadari kalau jarak antara dirinya dan Renee di mata Leo sangat jauh, seperti bumi dan langit.

"Apa kau punya kata-kata terakhir?" Renee berkata dengan dingin, daripada rasa sakit yang merongrong dirinya, ia justru lebih marah terhadap semua yang Celia lakukan.

"Kalian harus mengingat ini …." Celia yang telah tidak bisa menggerakkan tubuhnya berkata dengan sisa-sisa kekuatanya. "Ratu dan aku sama, dia juga monster! Kau juga monster Renee! Tidak akan ada … yang bisa selamat dari rencana kami, bahkan jika aku mati sekali pun."

Renee menggerakkan tangannya, cahaya jingga yang biasanya muncul tidak ada lagi, menghilang tanpa jejak di tubuhnya, ia dan Leo saling tatap.

Apakah kekuatannya menghilang?

Renee menatap kedua tangan dengan kedua alis yang saling bertaut, ia menggunakan terlalu banyak kekuatan dan itu ….

Sepertinya wajar kalau kekuatannya menghilang.

Renee mendongak menatap Leo, kepala laki-laki itu terkena pantulan cahaya sinar matahari dan ia tidak terbakar seperti dulu, laki-laki itu kini sudah bisa berdiri di bawah sinar matahari tanpa adanya kekangan dari Ivana atau Celia dan juga tidak khawatir lagi dirinya akan terbakar.

"Renee …." Leo tentu saja menyadari itu, ia mengulurkan tangannya menyentuh tangan Renee.

"Tidak apa-apa," bisik Renee dengan pelan.

Asalkan Leo baik-baik saja, ia tidak apa-apa.

Leo menggertakkan gigi, merasa marah. Tidak hanya pada Celia, tapi juga dirinya sendiri.

Celia tertawa terbahak-bahak hingga darahnya menciprat kemana-mana, Leo menggerakkan pedangnya dan suara tebasan yang nyaring terdengar. Tubuh wanita itu dengan kepalanya terpisah dan tawa yang melengking terputus dengan suara yang menyakitkan.

Dylan dan Arthur menatap semua itu dengan ngeri, Leo bahkan tidak berkedip sama sekali. Leo menjatuhkan pedang di atas tanah dan mengusap tangannya dari noda darah Celia, ia menatap Renee dengan air mata yang berjatuhan di pipinya.

"Maaf," gumamnya sambil menjatuhkan dirinya di depan Renee, Leo menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Maafkan aku."

Maaf karena Leo tidak mengingat Renee lebih awal.

Maaf karena telah membuat wanita itu mengorbankan banyak hal.

Maaf karena dirinya, Renee harus terluka separah ini.

"Maaf, kau kehilangan kekuatanmu karena aku."