webnovel

Memulai Perjalanan 4

Mereka akhirnya memilih terowongan pertama, seperti halnya ruang bawah tanah pada umumnya, di bawah sini lembab dan berlumut. Setiap kali mereka melangkah akan terdengar suara kecipak air yang keras dari sepatu yang mereka pakai.

Tidak jarang ada terdengar suara retakan dari kulit telur yang berserakan di mana-mana, Renee melirik Ivana yang wajahnya terlihat semakin tegang. Hanya Leo yang tetap tenang di depan, laki-laki itu seakan sudah tahu apayang akan mereka lewati di depan padahal mereka sama sekali tidak tahu informasi apa pun di sini.

"Aku pikir jalannya semakin turun."

Dylan memegang obor melirik ke bawah, perlahan air mulai menggenang di bawah sepatu kita.

"Perasaanku tidak enak."

"Siapa pun yang ada di sini pasti akan memiliki perasaan yang sama." Ivana mendengkus, ia mengangkat rok panjang yang ia pakai agar tidak basah, suara rantai berderak pelan.

"Memang." Renee ikut bergumam, mereka keluar dari terowongan panjang dan sampai ke tempat yang lebih luas.

"Daripada ruang bawah tanah, tempat ini lebih terlihat seperti sarang ular." Dylan kembali berguman, mereka melihat ke sekitar dan untuk sesaat tidak bergerak. "Kalian dengar itu?"

Leo diam, kedua tangannya siaga memegang pedang yang tersampir di pinggang, mata laki-laki itu melirik ke sekitar dengan awas.

BLUP!

Obor yang dipegang oleh Dylan tiba-tiba saja padam, laki-laki itu tersentak dan semua orang saling diam.

Jelas, kedatangan mereka kemari telah disambut.

Renee berdiri di belakang Leo, ia memegang pedang yang baru saja diberikan sang Ratu padanya dan merasakan waktu berjalan lebih lambat, entah itu hanya ilusinya atau apa, tapi ia merasakan kalau Leo meliriknya dan tersenyum.

Ini agak aneh.

Di dalam kegelapan seperti ini, apakah Renee berhalusinasi?

Leo memang lebih lembut daripada sebelumnya, tapi rasanya senyum seperti itu bukan hal yang bisa ia terima di sini.

Renee menatap Leo sekali lagi dan kali ini ia tidak melihat senyum Leo lagi, laki-laki itu berbicara dengan nada yang rendah pada Dylan di sampingnya.

Sepertinya ia salah lihat.

SREK!

Sesuatu bergerak di depan, Renee langsung menoleh dan kedua keningnya langsung berkerut. Suara itu bukan suara langkah yang diseret, sepeti tubuh ular atau sejenisnya, tapi suara itu adalah suara sesuatu yang dijatuhkan.

"Tetap waspada." Leo bersuara dengan setengah berbisik. Renee menganggukkan kepalanya dengan pelan dan suara yang ada di depan mereka semakin keras, seakan-akan di setiap detiknya bergerak mendekati mereka semua.

Dylan yang masih memegang kayu obor merasakan sesuatu menyentuh tangannya, laki-laki itu langsung menepis.

"Awas!" Ivana berseru, sebuah pedang terayun ke arah mereka.

BRAKH!

PRASH!

Sesuatu menghempas ke lantai yang dipenuhi oleh air, Renee langsung melompat mundur bersama Leo, sedangkan Dylan ditarik oleh Ivana, mereka berempat pergi ke arah yang berbeda.

"Sial, sepertinya mereka sengaja!" Dylan mendengkus, ia mendarat di antara air yang memercik di lantai, pandangan di depan mereka sangat terbatas karena gelap.

Tapi yang jelas, ia tidak bisa melihat apakah yang di depan mereka ini adalah manusia atau ular.

"Tenanglah, kita hanya berada di sisi la …."

BRUKH!

Belum sempat Renee menyelesaikan perkataannya, lantai yang mereka pijak runtuh. Dylan berteriak dan Ivana bahkan tidak sempat merespon banyak, ia melemparkan tali dari kantung senjata yang ia bawa tapi tidak berhasil mencapai Leo dan Renee.

"Tampaknya kita memang ditakdirkan untuk berpisah dengan mereka." Wanita itu menghela napas, ia menatap Dylan yang mengusap wajahya dengan kasar.

"Belum sampai satu jam tapi aku sudah merasa firasatku benar-benar nyata, buruk!" Dylan menggerutu, ia segera mengambil pemantik di saku dan menyalakan kembali obor.

Keadaan disekitar menjadi terang, laki-laki itu mengarahkan obor ke sekitar dan ia menemukan ada retakan panjang di depan dan begitu cahaya obor mengarah ke bawah, mereka tidak menemukan dasarnya, hanya kegelapan yang tidak berujung.

"Apa yang akan terjadi pada mereka?"

Ivana di samping Dylan tidak menjawab selama beberapa saat, ia menatap ke sekitar dengan awas.

"Mungkin mereka hanya ingin bertemu Renee dan Leo saja." Ivana menghela napas panjang, tidak dapat dipungkiri kalau ia dan Dylan sebenarnya bukanlah orang yang diinginkan berurusan dengan keluarga Fern.

Leo, laki-laki itu adalah orang yang membunuh Celia, mungkin saja keluarga Fern menyimpan dendam yang mendalam dan menginginkan balas dendam, apalagi Leo merupakan orang yang selama ini menjadi objek penting dalam rencana mereka di kota Dorthive.

Adapun Renee, wanita itu jelas adalah orang yang menganggu semua hal di kota Dorthive. Jika seandainya saja Ivana menjadi Tuan, maka ia pasti akan menyingkirkan Renee tanpa berpikir dua kali.

"Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa diam saja di sini, kan?!"

Dylan sangat gelisah, ia tidak bisa tenang sama sekali. Dua orang yang seharusnya menjadi kunci utama dalam perjalanan kali ini menghilang begitu saja di dalam kegelapan. "Kita harus turun ke bawah."

"Ya, mari kita lakukan."

Ivana tidak membantah sama sekali, ia menganggukkan kepalanya dan mengikuti kemana Dylan akan turun.

Mereka berputar di sekitar retakan yang telah runtuh, tidak ada kayu atau hal-hal lain yang bisa membawa mereka turun ke bawah.

"Haruskan kita melompat?"

Belum sempat Ivana menjawab, suara tawa yang tidak asing terdengar dari atas, Dylan dan Ivna langsung mendongak dan mereka membulatkan mata dengan tatapan tidak percaya.

Di atas, di antara langit-langit ruang bawah tanah, di mana ada kayu-kayu yang menahan pondasi, seorang wanita berambut pirang duduk dengan kaki menyilang.

"Kau!" Ivana tidak bisa menahan emosinya, ia langsung terkesiap dan terjatuh ke lantai, sedangkan wajah Dylan menjadi pucat pasi. "Sudah kuduga, kau tidak mati."

Sosok itu tertawa dan memiringkan kepalanya menatap Ivana dan Dylan secara bergantian, ia menghela napas panjang dan tangannya melambai.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, ya. Dylan." Wanita itu bergumam pelan dan mata birunya itu terlihat menyala di antara cahaya obor yang temaram, tangan wanita itu turun dan mengusap perutnya dengan gerakan memutar. "Apa kau merindukan anak kita?"

Dylan menggertakkan gigi, di antara semua wanita yang pernah ia temui mungkin wanita yang ada di hadapannya ini adalah mimpi buruk yang pernah ia rasakan.

"Bayi kita menendang nih, apa kau tidak ingin menyentuhnya?" Karren tersenyum dengan aneh, matanya itu melengkung. "Apa kau tidak ingin dipanggil Ayah oleh anak kita?"

Ivana melirik Dylan yang menundukkan kepalanya, ia tidak bisa dengan jelas melihat ekspresi laki-laki itu.

"Dylan, kau merindukan aku dan anakku, bukan?"

"Diam." Dylan berkata dengan mata melotot, matanya merah dan kedua alisnya saling bertaut. "Aku bilang diam, dasar Iblis."