webnovel

Wanita Berkumis

Bunga-bunga rumput tengah menari saat sang angin malam membumbung mereka terlalu tinggi. Kunang-kunang berterbangan memancarkan kerlip cahaya bersama rembulan yang menjadi sumber penerangan di hamparan rerumputan. Mereka seolah menjadi saksi saat terjadi pertemuan mendebarkan di antara sepasang pria dan wanita.

Argon yang berada di atas tubuh Miranda, dibuat terkejut saat menyadari sosok asli yang ada di bawah tindihannya. Ya, sebelumnya yang ia lihat adalah seorang pria bertubuh kecil dengan kumis tebal dan rambut berwarna golden blonde.

Kini, rambut palsu itu telah copot dan berganti menjadi rambut panjang berwarna cokelat hazel yang tergerai indah dengan paras cantik seorang wanita. Sedangkan Miranda yang juga tengah menatap ketampanan pria di atasnya justru tertegun sembari mengerjap-ngerjapkan bulu matanya yang lentik. Otak cantik gadis itu justru memikirkan tentang tulang rahang pria itu yang tampak seksi. Oh astaga! Genit sekali otak cantik Miranda.

Dan satu hal yang harus diketahui, sepertinya Miranda melupakan sesuatu. Sebuah kumis berwarna cokelat keemasan dengan bentuk ujung melengkung masih menempel sempurna di atas bibir ranumnya. Hm, kecantikan Miranda berkurang drastis karena wajahnya kini justru terlihat seperti badut, menggelikan.

Argon yang gagal fokus karena menatap kumis palsu tersebut lantas seketika tersadar sembari menautkan kedua alis kemudian segera beranjak berdiri. Mengenakan kembali penutup kepala jubah hitamnya, pria itu menatap gelagat aneh gadis tersebut. Sedangkan Miranda juga ikut beranjak bangkit sembari meraih rambut palsunya yang copot dan tergeletak di atas rerumputan.

Berdiri saling berhadapan, Miranda berusaha menenangkan debaran jantungnya yang entah mengapa terasa menggila. Aneh. Menurutnya benar-benar aneh. Gadis itu tidak pernah merasakan hal seperti itu sebelumnya. Aura dingin yang terasa menguar dari pria di hadapannya membuat bulu romanya bergidik ngeri. Namun, Miranda tetap berusaha memperlihatkan wajah senatural mungkin.

Dalam keheningan, netra perak Miranda terus mengedar, menghindar dari tatapan lekat Argon yang seakan menelanjanginya. Sementara Argon tetap bergeming, masih dengan aura dingin yang memancar meskipun ia tidak melakukan apa-apa. "Jadi, mengapa kau mengikutiku?" Suara bariton yang terdengar berat kembali terdengar di telinga Miranda.

Tubuh Miranda setengah membungkuk, "Emm maaf ... aku hanya penasaran."

Pria itu mengangkat sebelah alis, tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, tetapi mampu membuat Miranda mengerti jika alasannya begitu memaksa.

"Hm, ya, aku penasaran karena kau begitu pandai bermain kartu, Tuan Argon. Kau memiliki trik yang sangat jenius dan sepertinya itu adalah bisikan dari Dewa." Miranda berusaha menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar, memperlihatkan rentetan giginya yang putih bersih.

Krik-krik!

Hanya suara jangkrik yang terdengar di hamparan rumput yang luas tersebut. Argon masih tetap diam dan menganggap gadis di hadapannya benar-benar bodoh.

Sedangkan Miranda justru kembali merasa hawa dingin dan kecanggungan yang menusuk. Menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, gadis itu kembali membuka suara, "Aku ingin menjadi muridmu, Tuan Argon. Tolong angkat aku jadi muridmu!" Entah alasan konyol apa lagi yang keluar dari mulutnya.

Kembali Argon menukikkan sebelah alis, tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut. Hanya tatapan tajam yang ia berikan kepada Miranda.

Krik-krik!

Lagi dan lagi hanya suara jangkrik yang terdengar mengusik. Miranda yang sejak awal juga merasa jika tingkahnya sangat bodoh kembali membungkukkan setengah badan, "Jika kau tidak bersedia, maka lupakan saja! Aku tidak akan memaksa dan itu tidak akan menjadi masalah. Baiklah, jika begitu aku harus pergi. Maaf telah mengganggu waktumu, Tuan Argon," ujar Miranda berpamitan sebelum akhirnya melenggang pergi, berlari terbirit-birit meninggalkan sang pria berjubah hitam.

Argon memandangi gadis itu berlari menjauh hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Dahinya berkerut samar, merasa sedikit curiga. Namun, pria itu menganggap jika gadis itu sangatlah tidak penting dan tidak pantas untuk dipikirkan. Argon mengambil pedangnya yang sempat terjatuh lalu memasukannya kembali pada selongsong sebelum akhirnya menaiki kuda dan memacu kuda itu pergi, ada suatu hal penting yang harus ia lakukan.

Beberapa menit saat melewati hutan yang gelap dan sepi, Argon berhenti sejenak karena merasa ada yang tidak benar. Rasa curiga di kepalanya semakin membesar dengan bayangan gadis aneh yang sempat mengikutinya. Jemarinya memeriksa sesuatu. Selesai memeriksa, mulutnya tertawa hambar. Dugaannya ternyata benar. Gadis itu telah mencuri kantung hitamnya.

Apa? Ya, sebelumnya saat Argon terjatuh di atas tubuh Miranda, diam-diam kantung kain hitam yang berisi keping-keping koin emas hasil taruhan telah dicuri oleh gadis tersebut. Wah, bukankah Miranda begitu cerdik dan berani hingga pergerakannya tidak diketahui sama sekali? Dan, itu sebabnya Miranda mengeluarkan alasan tidak masuk akal dan begitu terburu-buru untuk pergi.

Menyadari dirinya telah dibohongi, Argon menerbitkan senyuman menyeringai dengan wajah merah padam. Rahangnya mengetat dengan aura dingin yang kian meyeruak. Percayalah, Miranda adalah satu-satunya gadis yang begitu berani berhadapan dengannya. Beruntung, saat ini ia tidak memiliki banyak waktu untuk sekadar kembali dan mencarinya. Ada suatu hal penting yang harus dilakukan. Kedua tangannya menarik tali kekang kuda untuk memacu kuda hitamnya melewati hutan belantara.

~~~

Ursula yang sejak tadi begitu setia menunggu Miranda sudah hampir pingsan ditelan kepanikan. Pelayan bertubuh mungil itu benar-benar takut mendapat hukuman, lebih tepatnya ia kebih mengkhawatirkan Miranda yang mungkin akan mendapat hukuman dari Duke Guinan karena pulang melebihi jam malam.

Duke memang begitu otoriter dan bersifat keras. Pria itu tidak segan-segan memberikan hukuman kepada siapapun yang melanggar aturan. Terlebih, di mansion kediaman mewahnya ada Matilda dan Joanne yang siap menghasut dengan sandiwara maut mengingat Miranda sebelumnya juga telah membuat masalah di pesta ulang tahun Matilda, yaitu menyemburkan merica di bola mata Paul hingga mempermalukan Duke Guinan di depan para tamu undangan. Well, sudah dapat dipastikan jika hukuman telah menanti di depan mata.

Setelah menunggu cukup lama, Ursula melihat Miranda yang berlari menghampirinya dengan wajah berbinar cerah. Padahal, sejak tadi ia sudah dibuat kebingungan sendiri dengan wajah frustrasi karena menunggu kedatangan majikannya tersebut. Beranjak berdiri, Ursula memasang seraut wajah cemas saat Miranda telah berdiri di hadapannya, "Anda darimana saja, Lady?"

Miranda menarik sudut bibir dengan kilat gembira di wajahnya, "Bukankah sebelumnya aku telah berkata jika akan pergi mengambil koin-koin emasku dari pria itu tadi? Mengapa kau masih saja bertanya Ursula," dumelnya.

"Lalu? Apakah Anda berhasil mendapatkannya?"

Miranda kembali mengulas senyuman tipis. Jemari lentiknya mengambil sesuatu dari kantung celana panjangnya, sebuah kantung kain berwarna hitam kini ada di tangan. "Tentu saja aku mendapatkannya, Ursula," ujarnya dengan senyuman lebar.

Akan tetapi, jika Miranda mencurinya, bukankah sama saja gadis itu telah mengambil keping koin emas milik Argon yang juga ada di kantung tersebut? Ya, cerdik dan licik terkadang memang berbeda tipis. Namun, tenang saja, Miranda hanya mengambil keping koin emas dengan jumlah yang sama seperti yang ia keluarkan sebelumnya. Netra peraknya kemudian terarah kepada Derek yang masih duduk di meja memanjang tempat bermain lotre sebelumnya.

Miranda mendekatkan bibir untuk berbisik lirih kepada Ursula, "Berikan kantung ini kepadanya dan katakan agar dia menyimpannya untuk diberikan kepada Argon. Aku sudah menulis surat kecil yang kutaruh di dalam kantung tersebut." Seringai tipis terbit di bibir Miranda.

Ursula tampak kebingungan sebelum akhirnya mengangguk patuh. Pelayan itu kemudian mengambil kantung hitam dari tangan Miranda lalu berjalan ke arah Derek dan memberikannya. Sebagai seorang bandar, tentu saja Derek satu-satunya pria yang dapat dipercaya dan akan mengembalikan kantung kain tersebut kepada Argon. Terlebih, pria berjubah hitam itu kelak pasti akan kembali mengunjungi Knoxville.

Setelah semuanya sudah terselesaikan, Miranda kembali berjalan dengan wajah berbinar diikuti Ursula yang mengekor di belakangnya. Akan tetapi, pelayan mungil itu tiba-tiba merasa ada yang salah. Ada sesuatu yang janggal dan terlupakan.

"Lady!"

"Ya?"

"Apakah Anda tidak berniat melepas kumis palsu yang sejak tadi menempel? Anda tampak seperti wanita berkumis."

"A-apa?!"

~~~