webnovel

Lady Advocate

Sylvi benar-benar tak menyangka kasus yang ditangani firma hukumnya akan membawa kepada sebuah konflik yang begitu menegangkan. Bukan hanya ketenaran karena kasusnya berskala nasional, namun justru maut yang menghadang! Kini keselamatan hidupnya dipertaruhkan, begitu pula dengan Anto dan Sahat selaku rekan kerjanya di firma. Belum lagi kemunculan sosok lelaki misterius yang beberapa kali menyelamatkannya dari maut. Siapakah pria misterius itu?

warddicson · Fantasy
Not enough ratings
34 Chs

Chapter 14; Anak Butuh Perlindungan

Aku berteriak terbangun ketika suara bel berkali-kali menusuk gendang telingaku. Semalam, setelah Johan mengantarku pulang, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab menggelembung bersama keraguan. Peringatan Om Sandi dan Johan akan bahaya yang menghadang membuat kelopak mataku tak jua terpejam. Setelah dua jam menggelepar dalam keterasingan yang akut, mimpi indah mendekap pinggang Johan mengantarkan tidurku yang senyap.

Hatiku mendongkol tajam ketika bel di pintu membuat gelimang khayalan kebersamaan bersama laki-laki yang kukagumi berakhir senyap. Jam dinding masih menunjukkan pukul tiga pagi. Betapa tidak sopannya tamu tak diundang ini. Tiga empat kali bel pintu berdentang. Dengan terhuyung kupaksa tubuhku menyusuri lantai apartemenku yang dingin.

"Sebentar!" teriakku mendongkol.

Kubuka kunci ke kiri dengan kasar, kutarik gagang pintu keras. Tanganku mengepal geram, akan kuhantam wajah jelek pengganggu mimpi indahku.

"Ma, ma—af, Non Slyvi, maaf mengganggu di tengah malam...." kata Pak Udin terbata.

Keriput di sudut mata dan dahinya berlomba dengan rambutnya yang putih memerak riap-riapan. Kepenatan dari sorot matanya yang menghiba akibat beban kehidupan yang berat membuat amarahku lenyap ditelan aroma wangi penyegar ruangan. Sudut bibir kutarik ramah.

"Tarik napas dulu, Pak Udin. Ada apa, Pak?"

Pak Udin ragu. Mulutnya komat kamit tak jelas. Matanya menunduk melihat ujung sepatu bututnya. Sesekali mata tua itu mencuri pandang, memastikan aku tidak marah karena gangguannya.

"Beribu Maaf Non Sylvi, beribu maaf," ujarnya berbisik.

"Saya tidak marah, Pak. Cuma kaget saja. Silahkan masuk Pak."

Aku membuka pintu lebar-lebar, setengah memaksa Pak Udin untuk masuk ke ruang tamuku. Aku enggan membuat gaduh di tengah malam buta. Membuat keheningan lorong apartemen terganggu akibat percakapan kami. Pak Udin melangkah lemah. Jemarinya gemetar.

"Kenapa Pak Udin? Silahkan bicara. Bapak aman di sini,"

Kusorongkan segelas air putih dingin. Pak Udin menerima gelas itu dan langsung menenggak isinya seolah berhari-hari dilanda kehausan. Sekuriti tua ini merengek setengah menangis.

"Tolonglah anak saya. Bu Sylvi. Anak saya tertangkap sedang mencuri barang di mini market."

Tanda tanya membaur dalam gurat rasa kekhawatiran di hatiku. Pak Udin semakin tenggelam dalam kepiluan. "Dia masih empat belas tahun. Umam, tak layak masuk penjara. Ia anak baik. Tak seharusnya dia melakukan hal seperti itu … tolong kami, Bu," katanya setengah terisak.

"Kapan kejadiannya, Pak? Bagaimana kejadiannya?" kataku selembut mungkin untuk menenangkan Pak Udin.

"Baru sepuluh menit yang lalu istri saya telepon. Dia menangis mengabarkan kalau Umam tertangkap tangan sedang mencuri. Tolong anak saya Bu…."

Laki-laki tua yang suka menyapaku ramah itu tersungkur menghiba. Menangis terisak tanpa henti. Tubuh ringkihnya menubruk kakiku, berusaha menciumnya.

"Sudah, sudah Pak Udin."

Aku menarik tubuh itu berdiri. Mempersilahkannya duduk di sofa. Kutarik kursi makan ke depan pak Udin, kuminta ia menceritakan secara detail. Setelah mengatur nafasnya, kalimat demi kalimat lirih meluncur dari bibir Pak Udin. Kadang aku memotong sebentar kalimat Pak Udin, bertanya lebih detail tentang anak dan keluarganya. Setelah memahami penjelasan Pak Udin, aku meminta dia untuk bersiap.

"Antar saya ke tempat anak Bapak. Saya ganti pakaian dulu."

Aku masuk ke dalam kamar, kemudian keluar sambil membawa lembar Surat Kuasa Khusus yang harus diisi dan ditandatangani Pak Udin.

"Sebelum berangkat, tolong Bapak isi formulir ini dulu." Aku menyerahkan bolpoin dan satu halaman yang berisi Surat Kuasa Khusus untuk ditunjuk sebagai Advokat yang akan menangani kasusnya. Surat Kuasa Khusus yang masih kosongan selalu siap di tasku, berjaga apabila dalam keadaan mendesak di mana pun juga selagi dibutuhkan. Pak Udin menerima kertas sehelai itu. Mengisinya dengan cepat. Setelah memeriksa sebentar, kububuhkan meterai dan tanda tanganku.

"Nah, silahkan Pak Udin sekarang menunggu di tempat parkir," kataku seramah mungkin. Setiap orang yang sedang terlilit kasus hukum, baik dirinya sendiri maupun keluarganya, membutuhkan kalimat yang menyejukkan.

Tanpa diperintah dua kali, Pak Udin melesat meninggalkan kamar apartemenku. Sebaliknya, aku secepat kilat mengganti baju tidurku dengan kaos kasual, celana jeans beserta jaket bomber. Tanpa rias wajah.

Pak Udin sudah menunggu di tempat parkir khusus penghuni. Motor bututnya sudah siap terbang. Beberapa kali dia menarik gas agar mesin tidak mati. Barisan mobil kelas menengah hingga kelas premium berjajar rapi, menelan motorku yang terhimpit disela-selanya. Aku mengeluarkan motorku dengan hati-hati agar tak menyerempet benz C-250 sporty hitam yang bertengger angkuh di sebelah.

Motorku mengaung ketika start engine menyalak. Tanpa ba bi bu Pak Udin menarik gas. Motor bututnya hampir saja melompat. Gas motorku pun kutarik kencang. Berdecit ketika ban motorku bergesekan dengan lantai parkiran apartemen yang licin.

Beriringan aku dan pak Udin membelah malam dini hari. Angin malam Kota Jakarta membelai leherku yang tak tertutup kain pelindung. Sebagian rambutku yang tak tertutup helm melambai, mengajak kendaraan yang masih di jalanan untuk segera pulang.

Setengah jam motorku berpacu dengan motor Pak Udin. Berulang kali aku harus memelankan gas motorku untuk memberi kesempatan Pak Udin menunjukkan arah. Melewati kelokan, memasuki gang-gang sempit.

Memasuki pelataran gedung Polsek, kami mematikan mesin motor, membiarkan sisa tenaga motor mendorong ban memasuki tempat parkir di depan gedung. Kami mendaratkan langkah memasuki gedung utama.

Ruangan tiga puluh meter persegi dengan beberapa bangku tunggu memanjang menyambut kami. Disebelah kanan, sebuah ruangan yang tidak terlalu luas terisi dua meja dan empat kursi. Dua orang polisi berpakaian dinas dengan wajah setengah mengantuk menyambut kedatangan kami. Senyum dipaksakan keluar dari bibir ke dua polisi muda berpangkat Brigader itu.

"Selamat malam, Pak."

"Selamat malam. Ada yang bisa kami bantu?" balas seorang polisi muda yang sudah mulai bisa mengatasi rasa kantuknya.

"Saya Slyvi Wulandari, dari kantor Advokat Anton dan Partner, kuasa hukum Bapak Udin Wiyana," kataku sambil menunjukkan Surat Kuasa Khusus yang sudah ditandatangani Pak Udin

"Anak klien saya saat ini sedang ada di kantor Polsek ini karena diduga melakukan pencurian."

Aku memperlihatkan kartu tanda Advokatku untuk meyakinkan dua polisi ini. Mata Brigader Satu Hasan, polisi muda yang tadi menyapaku memercing. Kemudian melirik teman disebelahnya. Yang dilirik mengamati foto yang ada pada kartu Advokatku, kemudian membandingkannya dengan wajahku.

"Kenapa, Pak? Ada yang salah dengan kartu Advokat saya?"

Sedikit gugup, polisi itu menyerahkan kembali kartu Advokatku, kemudian menatap Pak Udin dari ujung kaki hingga kepala. Brigader Satu Hasan menggelengkan kepala seolah tak percaya.

Nada suaranya melemah, "Maaf, saya sedikit terkejut. Seorang Advokat yang wajahnya beberapa hari ini menghiasi televisi tiba-tiba muncul di pagi buta di kantor ini."

Aku tersenyum tipis. Sedikit rasa sombong merasuk hati. Menghiasi beberapa media televisi memang sarana promosi yang cepat untuk mengerek ketenaran Advokat.

"Bisa saya bertemu anak klien saya ini?"

"Oh, silahkan Bu Sylvi. Saya akan mengantar Ibu ke lantai dua. Aiptu Solihun yang menangani kasus ini. Kebetulan yang bersangkutan sedang membuat Berita Acara Pemeriksaan atas kasus ini."

Tanpa kuminta petugas penjaga itu memberi info. "Pihak pemilik mini market tetap ingin anak ini diproses. Pencurian di tempatnya berulang kali, katanya. Itulah yang membuat mereka tidak ingin mentolerirnya kali ini."

Aku mengangguk berterima kasih atas informasi yang diberikan. Otakku bekerja mengingat segala hal yang berhubungan dengan pengadilan anak. Tentu saja aku tidak hapal semua pasal Undang Undang Pengadilan Anak. Paling tidak, ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana seharusnya menangani Anak Berhadapan dengan Hukum menyeruak dalam ingatanku.

Brigader satu yang ramah itu memberi isyarat kepada kami untuk mengikuti langkahnya. Menaiki tangga dengan kemiringan curam yang terbuat dari semen tanpa pembatas pegangan membuatku sedikit berhati-hati agar tak terpeleset.

Dalam keremangan malam dengan sedikit bantuan cahaya lampu yang tidak terlalu terang, beberapa cat tembok yang mulai mengelupas dan kusam membuat hatiku sedikit teriris. Mungkin tak banyak dana yang turun dari pusat untuk Polsek. Sementara penuntasan kasus yang tidak didukung personel cukup serta dana yang tersedia mengharuskan Polisi harus memutar otak dan tenaga sesigap mungkin. Namun, sejak reformasi Kepolisian, aparat kepolisian terus berbenah dan semakin baik memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sebagai salah satu tugas utama polisi tanpa kenal lelah.

Anak itu meringkuk ketakutan di kursi pemeriksaan. Tangannya mendekap erat kedua lututnya yang ditekuk. Wajah bocah empat belas tahun itu terlihat kusut. Rambut yang menutup telinganya dibiarkan tak tersisir. Kaosnya kusam dan dekil. Bibirnya pecah dengan sisa darah menggumpal terlihat masih belum mengering.

Tangis bocah ingusan pembobol mini market itu pun meledak melihat bayangan bapaknya di belakangku. Ketakutan dan harapan menelikung tubuhnya yang ringkih.

Pak Udin hampir terantuk pintu ketika setengah berlari mendapati anak laki lakinya itu. Rasa dongkol dan marah yang tadi terlihat di kerut wajahnya hilang entah kemana. Seburuk apa pun tindakannya, anak ini tetaplah anaknya. Darah daging yang mengalir di tubuh pencuri kecil ini juga darah dagingnya. Selama dia butuh perlindungan, tak sejengkal pun kasih orang tua surut kebelakang.

Ajun Inspektur Satu Solihun-demikian nama yang tertera di meja penyidik-membiarkan remaja itu didekap barang sebentar oleh orang tuanya. Umam sesenggukan dalam dekapan Pak Udin. Aku tersenyum melihat pemadangan anak dan bapak ini. Kelakuan Umam yang penuh percaya diri ketika mencongkel pintu toko itu tak sebanding dengan derasnya air mata yang tumpah.

"Lapor Ndan. Mohon ijin mengantar orang tua anak ini beserta Kuasa Hukumnya."

Sikap sigap Brigader Satu Hasan, dan penekanan pada kata "Kuasa Hukum" membuat penyidik itu menengadah. Mata kami beradu.

"Silahkan masuk."

Suara berat dan serak penyidik ini terasa dingin. Ajun Inspektur Satu Solihun cukup tua untuk ukuran seorang penyidik. Rambutnya yang memutih di sana sini berlomba dengan kenaikan pangkatnya. Menilik penampilan fisiknya, sebentar lagi beliau akan memasuki masa pensiun.

Usia senja dan masa persiapan memasuki masa pensiun membuat pria di depanku ini terlihat sesegera mungkin ingin mengakhiri Berita Acara Pemeriksaan. Tinggal selangkah lagi dia harus meninggalkan pengabdiannya, berharap kemunculan Advokat dalam kasus ini tidak mengganjalnya dalam menetapkan status anak yang sedang diperiksanya.

Crusor komputernya terus berkedip. Iptu Solikin sedikit gugup ketika aku memperkenalkan diriku.

"Kami tak ingin damai. Anak brengsek ini harus dipenjara!" Nada ketus dan sombong terdengar dari sudut ruangan.

Kepalaku bergeser memastikan asal suara itu. Entah karena hari semakin mendekati kokok ayam atau karena tenagaku yang setiap hari terforsir dalam kasus Sion, nada tinggi dari suara itu membuat darahku cepat naik ke ubun. Senyum yang tadi meluncur untuk Iptu Solihun berganti gemeletuk gigi gerahamku yang saling bergesekan. Dua wajah gusar di pojok ruangan membuat mataku memerah. Keduanya membalas dengan tatapan yang sama.

Laki laki dengan perut menonjol itu menghampiri Iptu Solihun yang tadi sempat menghentikan interogasinya pada Umam. Nafasnya memburu menahan emosi, matanya selintas melirik tempatku berdiri. Nada suaranya menyentak.

"Saya sebagai pemilik mini market tidak ingin berdamai! Saya tidak peduli walaupun anak brengsek ini dibela seratus pengacara sekalipun!" Dia melanjutkan, "Sudah empat kali toko kami kemalingan. Baru kali ini kami berhasil menangkap pencurinya. Untung tidak saya bakar bajingan kecil ini!"

"Tahan emosi Pak Joyo. Saya tidak akan menghentikan penyidikan ini," tukas Iptu Solihun.

Wajah yang tadi sekilas ramah kembali menahan kesal. Mungkin dalam hati dia mengutuk keberadaan manusia-manusia di hadapannya yang muncul di saat subuh mulai merayap turun. Pak Solihun beralih ke arahku sambil mengangsurkan hasil print BAP.

"Saya sudah selesai membuat BAP. Silahkan bila Bu Sylvi ingin memeriksanya."

Dengan kecepatan yang selama ini sudah kulatih bertahun-tahun, mata dan otakku berubah menjadi mesin pemindai. Kalimat-kalimat yang tersurat terekam dalam ingatan, bersinambung dengan logika hukum dan pasal-pasal yang masih bisa aku hafal. Tidak lebih dari lima menit, aku sudah bisa menarik kesimpulan hukum atas kasus yang ada. Aku menyerahkan kembali Berita Acara Pemeriksaan itu.

"Saya ingin melihat alat bukti yang ada," pintaku ke Pak Solihun.

Aiptu Solihun menunjukkan beberapa bungkus roti, permen, cup noodle, dan beberapa bungkus rokok barang bukti hasil kejahatan.

"Bagaimana dengan rekaman cctv?"

"Ibu bisa lihat di handphone ini. Rekaman dari kamera sudah diunduh dalam format HP."

Aiptu Solihun memberikan Handphone dengan besar sekitar 5 inci-an. Layar yang lumayan besar membuat rekaman dalam durasi lima menit empat puluh lima detik itu terlihat jelas. Terekam bagaimana Umam dengan kaku dan terburu buru mencongkel pintu kaca mini market, kemudian masuk dan mengambil barang barang yang diinginkannya. Dari gerakannya, kelihatan sekali kalau anak ini masih amatiran. Mungkin ini pertama kalinya dia melakukan pencurian. Walaupun di BAP tertulis empat kali.

Satu menit terakhir membuat aku dan Pak Udin menahan nafas. Dua orang masuk dari pintu belakang, langsung menuju tempat Umam mengemas barang-barang curiannya dengan tergesa. Satu orang yang bertubuh agak kekar langsung menelikung anak ingusan itu, satunya lagi memukuli kepala dan tubuhnya. Tanpa perlawanan berarti, Umam menjadi bulan bulanan dua laki laki itu. Layar berubah gelap. Rekaman selesai. Aku menatap tajam dua laki-laki yang wajahnya tadi kukenali lewat rekaman.

"Saya minta anda mencabut laporan anda. Saya minta penyelesaian permasalahan ini dilakukan dengan Diversi! Atau saya akan melapor balik atas penganiaayaan yang Anda lakukan terhadap anak di bawah umur."

Pemilik mini market dan pembantunya terbelalak. Mulut mereka menggumam konsonan dan vokal yang tak jelas.

Merujuk pada Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomer 11/2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kujelaskan kepada mereka tentang proses Diversi dan kewajiban aparat penegak hukum untuk melaksanakannya.

Ruangan berubah menjadi gumaman tak jelas. Setelah aku menekankan berkali-kali hukuman maksimal yang akan mereka terima bila aku meminta pihak polisi memproses tindakan main hakim sendiri yang mereka lakukan, pemilik mini market akhirnya setuju mencabut laporannya. Kami sepakat berdamai.

Memang pencurian dan penganiayaan adalah delik biasa, yang tetap akan diproses walaupun kedua belah pihak mencabut laporan. Tetapi, kalau kedua belah pihak bisa saling memahami dan mau menerima, kenapa pula polisi harus terus memprosesnya? Pak Solihun pun mempunyai kebijakan yang sama. Kesepakatan kami tuangkan dalam Akta Perdamaian.

Dirumah mereka yang sempit, Pak Udin dan Bu Udin memaksaku untuk ikut sarapan pagi sebagai balas budi. Seiring wejanganku pada Umam agar tidak melakukan tindak kejahatan lagi, sepiring nasi putih mengepul, ikan asin, tahu tempe, sambal terong, beserta ribuan ucapan terima kasih dari seluruh keluarganya terasa sangat nikmat dibanding guyuran honorarium ratusan juta rupiah.