webnovel

L/R

Apa kalian tahu jika setiap manusia memiliki setidaknya tujuh kembaran yang hidup di dunia ini? Lahir dari sepasang orang tua yang berbeda, tanpa adanya ikatan keluarga sama sekali, tapi memiliki wajah identik bagai saudara kembar. Inilah kisah dua orang pemuda yang memiliki kesamaan fisik bagai pinang di belah dua. Dengan kesamaan wajah yang ada, mereka sering salah dikenali oleh orang lain. Mulai dari salah dikenali teman, musuh, bahkan sampai sempat salah dikenali orang tua. Tapi kesalahpahaman yang sering terjadi justu membawa mereka pada kisah hidup yang sangat unik.

Kisayuki · Teen
Not enough ratings
44 Chs

26.R

Yang kulakukan setelah jam pulang sekolah masih sama dan belum berubah sedikit pun. Aku harus berduaan dengan Sinta di kelas untuk belajar karena kami masih melakukan lomba cerdas cermat antar sekolah.

Kalau tidak salah ada dua atau tiga tahap lagi sebelum sampai final yang menentukan pemenang cerdas cermat antar SMA di seluruh Jakarta.

Walau tidak punya niat besar mengikutinya, aku masih merasa bertanggung jawab menjadi salah satu perwakilan sekolah.

Jujur terasa sedikit aneh aku dan Sinta bisa lolos di berbagai macam tahap padahal kami masihlah anak kelas satu. Banyak kakak kelas dari sekolah lain yang sudah kami dikalahkan.

Kata Sinta sih itu salahnya karena memiliki keberuntungan yang cukup tinggi saat sedang berurusan dengan sesuatu. Awalnya aku tak percaya pada ucapan Sinta, tapi setelah kami sudah sejauh ini, mau tidak mau aku jadi ingin menyalahkan keberuntungan yang Sinta miliki.

Gara-gara keberuntungan itu, guru sekarang tidak tanggung-tanggung memberi materi pelajaran, apa yang seharusnya kami pelajari satu atau dua tahun lagi sudah diajarkan dari sekarang.

Sungguh menjengkelkan melihat soal Ujian Nasional tingkat SMA padahal belum setengah tahun sejak aku mengerjakan soal Ujian Nasional SMP.

Ini memusingkan. Apalagi mata pelajaran yang dikerjakan adalah matematika, kepalaku terasa semakin penat melihat soal-soalnya.

"Apa Rio ngerti?"

Aku menggeleng mendengar pertanyaan yang diajukan Sinta. Soal yang sudah kukerjakan tidak ada bedanya dengan yang sudah Sinta kerjakan, "Ini terlalu memusingkan. Aku benar-benar heran kita berhasil sampai tahap sejauh ini mengikuti cerdas cermatnya."

Sinta menghela napas, "Menjadi orang yang terlalu beruntung emang kadang nggak menyenangkan."

Hanya terkadang kan? Aku yakin Sinta pasti lebih sering merasa senang karena keberuntungan tinggi yang dimilikinya. Bikin iri saja.

Pandanganku beralih ke arah hp yang tiba-tiba berbunyi. Aku mengernyit bingung melihat yang menelepon adalah Papa. Tumben.

Aku langsung mengangkat panggilan, mungkin saja ada hal penting yang terjadi sampai Papa meneleponku saat masih jam kerja, "Iya, ada apa, Pa?"

"Rio, kamu sekarang berada di mana?"

Aku semakin bingung mendengar suara gelisah Papa yang berada di seberang telepon. Ini pertama kalinya aku mendengar suara Papa bisa segelisah ini, "Masih di sekolah."

"Leo baru saja mengalami kecelakaan di dekat sekolahmu, sekarang dia sudah dibawa ke rumah sakit Budiasih. Papa sedang dalam perjalanan ke sana. Karena posisimu lebih dekat, bisa ke sana duluan untuk mengecek kondisi Leo?"

Dengan panik aku membereskan barang-barang untuk dimasukkan ke ransel karena tidak mau membuang waktu lagi, "Aku akan ke sana, Pa. Kalau udah sampai nanti kukabari."

Setelah mematikan panggilan, aku menatap Sinta yang terlihat kebingungan, "Leo mengalami kecelakaan, aku pulang duluan ya!"

Tapi saat baru berbalik pergi, pergelangan tangan kananku ditahan oleh Sinta. Saat aku menengok untuk memastikan mungkin ada yang sudah tertinggal, justru ekspresi khawatir yang kudapati dari wajah Sinta, "Boleh ikut?"

Karena tidak mau berlama-lama, aku mengangguk dan membiarkan Sinta mengikutiku berjalan keluar dari kelas.

Kenapa Leo harus mengalami kecelakaan lagi sih? Apa dia tidak bisa jauh lebih berhati-hati karena sudah pernah mengalami kecelakaan sebelumnya?

Tapi belum tentu ini merupakan kesalahan Leo. Mungkin dia sedang sial saja sampai mengalami kecelakaan untuk yang ke dua kalinya.

Aku melirik Sinta sekilas, entah kenapa terbesit keinginan keberuntungan yang dia miliki bisa sedikit saja ditukar dengan kesialan yang dialami Leo.

Ck, pikiranku jadi ngelantur. Lebih baik tenang dulu karena aku akan mengendarai motor menuju rumah sakit Budiasih. Jangan sampai aku ikut mengalami kecelakaan juga karena kurang konsen atau merasa panik. Aku wajib berhati-hati. Papa dan Mama bisa semakin khawatir jika aku ikutan dirawat di rumah sakit. Dan lagi sekarang aku juga sedang membonceng orang lain.

Setelah beberapa menit mengendarai motor, akhirnya aku sampai juga. Meski rumah sakit Budiasih dekat dengan SMAN 18, tapi perjalanan terasa sangat lama karena motor yang kukendarai beberapa kali tertahan ketika melewati lampu merah.

Tidak bisa apa keberuntungan Sinta juga bekerja saat mau lewat pertigaan dan perempatan yang ada lampu merahnya? Kan aku jadi merasa rugi telah membawa Sinta.

Dengan perasaan cemas bercampur sedikit kesal, aku berjalan menuju resepsionis, "Mba, tadi ada anak SMA yang baru mengalami kecelakaan kan? Sekarang dia berada di mana?"

Mba resepsionis terlihat sedang mengecek dulu sebelum kembali menatapku, "Dia sekarang masih berada di IGD."

Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung berlari menuju IGD. Walau sempat ditegur satpam karena berlarian di lorong rumah sakit, akhirnya aku diizinkan masuk ruang IGD.

Badanku langsung terasa sangat lemas melihat Leo yang sedang berbaring disalah satu ranjang rumah sakit.

Baju seragamnya terlihat sangat kotor, bahkan ada bercak darah di sana. Tak ada luka apa-apa di lengannya, tapi di balik celana seragam yang digulung sampai dengkul itu aku melihat beberapa luka lecet serta memar yang pastinya akan terasa menyakitkan kalau sampai terkena air.

Dan yang paling membuatku begitu takut adalah, saat ini Leo dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Sambil mencoba menguatkan diri sendiri, aku berjalan ke arah dokter yang masih mengecek kondisi Leo, "Bagaimana keadaan saudara saya, dok?"

Dokter laki-laki itu berpaling melihatku, dia terlihat terkejut sesaat kemudian berdehem, "Walau mengalami tabrakan yang cukup keras, dia beruntung karena tidak mengalami luka dalam yang serius."

Kenapa malah dibilang beruntung padahal Leo sampai mengalami luka seperti ini? Kan Leo dalam keadaan tidak sadarkan diri!

Aku mencoba menahan amarahku karena harus menanyakan pertanyaan krusial, "Dia... tidak mengalami koma kan?"

"Tidak, dia hanya syok saja."

Aku meringis pelan. Sebelumnya Leo sudah pernah mengalami hal yang nyaris sama, dan akibatnya dia mengalami koma selama tiga minggu.

Apa kali ini juga sama? Apa Leo tidak sadarkan diri lagi dalam kurun waktu yang lama? Aku cemas. Aku terlalu takut hal yang sama kembali dialami oleh Leo.

Karena keberadaanku membuat sang dokter merasa tidak nyaman, aku pun keluar dari ruang IGD dengan berat hati. Aku pasti dianggap mengganggu karena memiliki wajah yang sama dengan pasien yang sedang diperiksa si dokter. Aku mengerti sih, tapi tetap saja kejam karena tidak diperbolehkan terus menemani Leo.

"Bagaimana keadaan Leo?"

Lupa sudah membawa orang lain ke sini, aku menatap Sinta yang tidak ikut masuk ruang IGD, "Mudah-mudahan nggak sampai mengalami koma lagi."

"Leo pernah mengalami koma?"

Aku mengabaikan pertanyaan Sinta saat melihat keberadaan Papa yang seperti sedang bicara dengan dua orang di ruang tunggu. Karena penasaran, aku pun berjalan mendekat di saat yang bicara dengan Papa sudah berjalan pergi ke arah lain, "Papa tadi bicara dengan siapa?"

Papa langsung beralih menatapku, "Rio sudah melihat keadaan Leo? Apa Leo baik-baik saja? Apa dokter sudah memeriksa kepalanya?"

"Dokter masih memeriksa Leo, aku disuruh menunggu sampai dokter selesai mengecek kondisi tubuh Leo."

Wajah Papa terlihat semakin cemas. Karena pernah berada di posisi yang sama, aku mengerti Papa sampai cemas berlebihan begini, "Apa Mama udah diberi tahu?"

Papa mengangguk, "Mama masih dalam perjalanan ke sini."

Pasti Mama merasa jauh lebih sedih lagi ya? Aku sangat tahu Mama sangat menyayangi Leo, nanti aku harus membuatnya tenang. Walau aku sendiri juga belum benar-benar merasa tenang sekarang.

"Ah ya, yang tadi bicara dengan Papa adalah orang-orang yang membawa Leo ke rumah sakit, mereka menceritakan kronologis saat Leo mengalami kecelakaan."

Aku dan juga Sinta mendengarkan kronologis kecelakaan yang menimpa Leo yang dijelaskan oleh Papa. Mulai dari Leo yang menjadi korban tabrak lari, tempat kejadian itu berlangsung, dan juga diberi tahu jika ada orang yang telah menolong Leo sampai tidak mengalami kecelakaan yang lebih parah.

Ternyata ini ya yang dimaksud dokter kalau Leo beruntung? Dia bisa saja mengalami luka yang lebih parah jika tidak ditolong orang lain.

Setelah selesai memberi penjelasan, Papa masuk ke ruang IGD untuk mengecek sendiri kondisi Leo.

"Kuharap Leo baik-baik aja."

Aku yang saat ini duduk di samping Sinta hanya mampu mengangguk mendengar harapan itu. Mungkin sebelumnya Leo sudah mengalami yang lebih parah sampai mengalami koma, tapi sekarang aku jauh lebih merasa cemas dibanding sebelumnya karena dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri.

Adik ceroboh yang kadang bisa bersikap kekanakan dan memerlukan sikap protektif dariku. Akan kupastikan Leo mendapatkan sosok kakak yang siap menolong saat dibutuhkan setelah keluar dari rumah sakit nanti.

"Maaf, kutinggal dulu ya, Rio."

Dengan bingung aku menatap Sinta yang terburu-buru berjalan ke arah ruang IGD. Di sana ada seorang wanita paruh baya yang sepertinya mendapat halangan dari petugas jaga untuk masuk ruangan karena membawa anak kecil.

Sepertinya Sinta sudah kenal sampai anak kecil itu berpindah ke gandengannya dan wanita paruh baya itu bisa memasuki ruang IGD.

Secara spontan aku melambaikan tangan mengikuti gerakan yang Sinta lakukan kemudian melihatnya yang keluar dari pintu utama rumah sakit. Dia pamit karena tidak bisa menemaniku lagi ya? Tidak masalah sih, sejak awal aku juga tidak mengharapkan ditemani.

"Rio... bagaimana keadaan Leo sekarang? Apa dia baik-baik saja?"

Dan saat Mama berlari masuk kemudian memelukku, aku pasrah karena langsung didekap dengan sangat erat. Pasti sekarang Mama sedang menganggapku sebagai Leo.

Dibanding melihat kondisi Leo, lebih baik Mama melihatku dulu yang masih dalam keadaan baik-baik saja.

"Leo pasti baik-baik aja kok, Ma," aku memang belum tahu betul mengenai kondisi Leo, tapi aku tetap harus menenangkan Mama.

Mama semakin mengeratkan pelukannya, "Kenapa Leo suka sekali membuat Mama cemas? Mama tidak ingin kehilangan kamu."

Aku membalas pelukan Mama dengan penuh sayang, "Maaf, Ma. Maaf. Aku janji tidak akan membuat Mama cemas lagi."

Setelah merasa puas memelukku sambil menangis, Mama melepaskan pelukannya sambil menatap pintu masuk ruang IGD. Aku ikut melihat ke arah yang sama, "Mama bersamaku aja ya di sini? Aku nggak mau Mama semakin sedih melihat kondisi Leo."

Mama kembali melihatku dengan raut lebih khawatir, "Apa Leo mengalami kecelakaan yang parah? Apa tubuhnya mendapat banyak luka?"

Kalau melihat penampilan Leo yang kotor habis kecelakaan, Mama bisa kembali menangis. Aku tidak mau Mama terus-menerus merasa sedih begini, "Dokter mengatakan luka yang dialami Leo nggak serius kok, tapi aku nggak mau Mama melihat seragam sekolah Leo yang kotor."

Wajah Mama terlihat memucat, "Apa seragam Leo dipenuhi darah?"

Aku menggeleng dengan tegas. Meski ada noda darah di seragam Leo, tapi tidak dalam jumlah yang banyak, "Leo nggak terlihat seperti udah banyak mengeluarkan darah."

Mama memegang kedua pipiku sambil menatap dengan intens. Aku diam, mungkin Mama sedang mencoba menenangkan diri dengan cara memperhatikanku.

"Rio sekarang juga pasti cemas kan pada Leo? Maaf ya Mama justru merepotkanmu."

Aku tersenyum, "Nggak apa kok, Ma. Aku justru senang bisa membuat Mama merasa sedikit tenang."