webnovel

Suara itu

Angga dan rekannya duduk di bangku depan, mereka menunggu kepala desa untuk membicarakan masalah kepindahannya. Angga tidak mau terlalu lama tinggal di rumah kepala desa. Lebih baik cari rumah untuk mereka tinggalin, paling tidak yang kamar 2 satu untuk Nena dan 1 nya untuk mereka.

"Angga, kira-kira siapa yang punya cincin batu akik itu ya?" tanya Zuki yang duduk memandang ke arah jalanan yang sepi.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Semua warga sini mungkin pakai cincin akik itu, jadi kita harus lebih hati-hati menuduhnya. Jika tidak, bisa salah tangkap kita," ucap Angga dengan wajah memikirkan tentang siapa pemilik cincin itu.

"Yang pasti dia punya motif kenapa dia menaruh cincin itu, bisa saja cincin itu bukan milik pelaku, tapi milik orang lain," jawab Nena.

Angga dan yang lainnya memandang ke arah Nena. Mereka tidak memikirkan apa yang Nena pikirkan. Angga memijit keningnya pelan, dia makin dibuat bingung.

"Saya juga mikir gitu komandan, bisa saja ini rekayasa pembunuh aslinya, gimana kita cari saja orang yang memakai cincin itu," jawab Bobo.

"Cari mudah, tapi kalau yang pakai itu aki-aki gimana? Makin aneh kan kalau kita menuduhnya, atau sebaliknya," jawab Boni lagi.

Tidak berapa lama, kepala desa datang. Kepala desa baru pulang sejak mereka berpisah tadi siang. Kepala desa melihat ke arah tamunya. Kepala desa duduk di sebelah Zuki dan menepuk pundak Zuki.

"Kalian diundang hari ini, ayo bersiap kita pergi sebelum bada isya," kata kepala desa kepada Angga dan kepada rekannya.

Angga memandang rekannya, dia tidak mungkin menyetujui apa yang kepala desa katakan. Rekan Angga mengangguk kepala menyetujui ajakan kepala desa. Kepala desa bangun dan berjalan ke dalam, diikuti oleh Angga dan lainnya. Satu jam bersiap akhirnya mereka bergegas pergi. Angga mengemudi mobil menuju ke tempat undangan yang tidak lain anak pak camat, yang dikatakan oleh istri kepala desa tadi. Sampai di tempat acara, semua penduduk desa nampak berkumpul. Penduduk desa menyambut kedatangan mereka. Angga menyalami satu persatu penduduk termasuk yang punya hajatan. Angga mengobrol dengan santai dia tidak membahas tentang pembunuhan Darsimah.

"Angga, coba lihat itu. Pria yang duduk di pelaminan itu. Dia memakai batu akik yang sama dengan batu akik yang kamu temui itu, tapi beda warna, hanya dia yang memakai batu akik itu dengan batu akik yang sama dengan penemuan kita tadi," ucap Zuki sambil menunjuk ke arah pria yang tidak lain anak pak camat tadi.

Angga memicingkan matanya dan benar saja, itu benar sama, beda warna saja pikirnya. Tidak berapa lama, segerombolan pria datang dengan wajah yang datar juga angkuh. Dia memakai batu akik juga tapi beda. Mereka menyambut pria itu dengan menyebut Juragan.

"Angga, siapa mereka?" tanya Nena.

Angga mengangkat bahunya, dia tidak tahu mungkin dia tamu pikirnya. Pria yang datang memandang Nena dengan tatapan tajam, Nena yang melihat dirinya dipandang juga membalas pandangan pria itu dengan tajam. Dia tidak takut sama sekali, pria itu membuang muka dan duduk di tempat yang sudah tersedia. Pertunjukkan demi pertunjukan demi pertunjukan di hadirkan, makanan di santap para tamu.

Ning nang ning nong!

Suara alat musik terdengar dan ini berbeda dengan suara alat musik yang sedang dimainkan. Angga menoleh ke arah belakang tapi tidak ada yang memainkannya. Lagi-lagi suara tapak kuda terdengar dengan lonceng khas andong.

"Suara itu." Angga makin merasakan keanehan di sekitar tempat dia duduk.

Di desa kemuning masih memakai angkutan andong, sebagian orang menyukai angkutan itu. Dan kini dia mendengar suara itu mendekat. Angga mencolek Zuki yang sedang menikmati makanan dan musik. Zuki yang di colek menoleh ke arah Angga dan mendongakkan dagunya ke arah Angga.

"Kau dengar tidak Zuki, ada suara musik yang beda," kata Angga kepada Zuki.

Zuki diam sesaat dan mendengar suara yang Angga katakan. Dia hanya mendengar suara musik yang punya hajat saja, tidak ada mendengar suara lain. Zuki menggelengkan kepalanya pelan ke arah Angga. Angga mengusap wajahnya, karena Zuki tidak peka sama sekali, apa lagi rekannya yang lain.

"Kau dengar baik-baik Zuki, aku mendengarnya dan kau tahu tidak ada suara andong juga, kau dengar tidak itu," bisik Angga dengan gigi di rapatkan.

Zuki, Bobo, Boni dan Bono yang mendengar Angga bicara sambil gigi rapat mulai mendengarkan dengan seksama. Nena juga yang melihat para pria sibuk diam ikut mendengar tapi tidak mendengar apapun. Zuki yang diam mulai keringat dingin begitu juga dengan ke 3 nya. Mereka saling pandang dan menelan salivanya.

"Suara itu! Suara kayak andong dan musik itu beda Ngga," kata Zuki dengan pelan.

Rekan Angga yang lain juga menganggukkan kepalanya, dia juga mendengar apa yang didengar oleh Komandannya. Ke 3 pria merapat barisan, ini tidak benar, jika benar kutukan itu, maka akan ada korban pria yang akan di tarik oleh Darsimah.

"Angga, bagaimana ini? Apa kita yang jadi korbannya. Kita mendengar suara itu, aku takut Angga," cicit Zuki yang sudah menggigil bukan karena kedinginan tapi karena ketakutan.

Angga melihat Nena yang sudah tidak ada di sampingnya. Angga melihat ke sekeliling tapi tidak ada sama sekali. Zuki dan rekannya juga mencari keberadaan Nena yang hilang. Semua tamu masih berkumpul dan berbincang, tapi Nena rekannya hilang.

"Waduh! Kemana si Nena?" tanya Angga yang panik Nena hilang.

Zuki yang melihat Angga panik dan mendengar apa yang dikatakan Angga bahwa Nena hilang juga ikutan panik. Mereka sibuk mencari Nena tapi tetap tidak ketemu. Angga pergi bersama rekannya untuk mencari Nena. Angga tidak sempat berpamitan dan tidak mengatakan kepada kepala desa.

"Angga, kita cari di sana saja ayo cepat," kata Zuki.

Angga dan rekannya langsung masuk mobil dan langsung mencari di sekeliling, tapi masih tidak menemukannya. Zuki sibuk menelepon Nena tapi tidak ada juga respon. Zuki mengacak rambutnya dengan kasar. Dia akan habis dimaki oleh Komandan jika salah satu anggota ada yang hilang terlebih jika itu Nena.

"Komandan, di hutan itu Nena bukan?" tanya Bobo yang menunjuk ke arah hutan tempat kejadian.

Angga yang melihat langsung berhenti dan benar saja itu Nena dan tapi di sebelahnya siapa pikir Nena. Seorang pemuda yang sedikit gempal sedang memegang Nena. Angga menghentikan mobilnya dan buru-buru keluar. Diikuti oleh Zuki dan rekannya yang lain.

"Habislah, mau diapakan Nena sama pria itu Angga. Duh, kenapa dia bisa ikut saja, ingin aku lempar si Nena ini," cicit Zuki yang kesal Nena main ikut saja.

Angga tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh Zuki dia berlari dan masuk ke dalam hutan. Suara burung hantu menghiasi hutan cemara dan pinus. Zuki yang mengomel menghentikan omelannya, dia merapat ke Angga, dia takut jika kejadian di rumah sakit terulang. Suara yang di dengar Angga makin deras dan langkah kaki Angga berhenti, terlihat Nena sedang menari dengan gemulai. Zuki dan rekannya mengangga melihat Nena yang menari dengan luwes dan gemulai, di depannya ada Pria gempal.

"Apa dia kemasukkan Angga?" tanya Zuki dengan wajah pucat.

"Komandan, kemasukkan itu apa?" tanya Bobo yang sudah merapat ke arah Angga.

"Arwah masuk ke tubuh kita dan menyebabkan kita kehilangan kesadaran, yang mengendalikn kita arwah yang masuk itu." Zuki menjelaskan apa yang dia ketahui tentang kerasukkan entah kurang entah lebih dia tidak tahu.

Semua rekan Angga mendekati Angga. Mereka tidak mau berpencar dan mereka tidak mau terjadi sesuatu. Dan benar saja, Nena berubah menjadi Darsimah yang menyeramkan, pria yang menari bersamanya menjerit kencang, Angga dan rekannya juga mundur karena kaget. Darsimah menarik pria itu dan dengan sekali ayunan tangan Darsimah yang mempunyai kuku yang panjang merobekkan perut pria gempal itu.

Zuki yang melihatnya menjerit, Darsimah yang mendengar jeritan dari seseorang memandang ke arah sumber suara. Angga yang tahu Darsimah memandang ke arah mereka menunduk dan bersembunyi. Angga menutup mulut Zuki.

"Diam kau Zuki! Kau mau mati hahh!" Angga menekankan kata mati di akhir kalimatnya.

Mereka diam tidak ada yang bicara apapun. Keringat membanjiri kening mereka, terdengar alunan musik penari jaipong dan suara hentakkan kaki kuda mendekati mereka. Angga dan rekannya menundukkan kepala, habis lah riwayatku.