webnovel

Untold Story

3 Hari yang lalu...

 

Sudut Pandang Valeria

Seharusnya Andre bisa sampai kamp sendiri dari sana.

Aku harap Pavel bisa mengerti kalau dia anak Novel.

Aku harus menyelamatkan Novel dan Natalia...!

Kupercepat langkahku menuju Lesnoy.

Aku harus cepat, lebih cepat lagi...!

Aku sampai Lesnoy kembali.

Apa-apaan...?

Kenapa semuanya terbakar...?

"Bakar semuanya! Jangan biarkan mereka lolos! Jangan sampai mereka bersembunyi di antara bangunan-bangunan ini!"

Kudengar suara Boris yang menyuruh anak buahnya untuk membakar Desa Lesnoy.

Warga desa berlarian ke sana kemari.

Itu kan...

Kulihat seorang anak laki-laki terjatuh ketika berlari.

"AWAS...!"

Aku berlari menyelamatkannya.

Hampir saja ia tertimpa reruntuhan rumah yang terbakar.

"Kau tidak apa-apa, nak?"

Pupilnya membesar, mulut dan badannya gemetaran.

Ia pasti akan mengalami trauma.

Aku mengenalnya, dia adalah putra tunggal dari kepala desa.

Kalau tidak salah namanya Ivan.

"Di mana orangtuamu?"

Ivan menggeleng.

Ia sepertinya hanya berlari sendirian karena panik.

"Baiklah. Kau segeralah pergi dari sini, jangan sampai terjatuh lagi."

Saat aku hendak meninggalkannya, ia menarik bajuku.

"T... Tolong..."

...

Apa boleh buat.

Kuangkat lalu kubawa dia pergi menjauh dari desa.

Kuperhatikan ke arah mana orang-orang lari.

Sepertinya mereka lari ke arah jalan masuk desa.

Aku membawa Ivan di gendonganku lalu ikut lari bersama para penduduk lainnya.

Berkali-kali aku melihat orang-orang terjatuh.

"Ayo, berdiri! Cepat lari!"

Aku membantu para penduduk yang lari.

Akhirnya sampailah kami di jalan masuk desa.

Dari sini kami bisa melihat seluruh desa yang dilalap api.

Pemandangan yang mengerikan.

Boris Belijelen... Akan kuingat namamu.

Kau sudah sangat keterlaluan.

Aku menurunkan Ivan dari gendonganku.

"Baiklah, kau sekarang sudah aman. Tunggulah orangtuamu di sini. Mereka pasti akan datang tak lama lagi."

Saat aku hendak berbalik, Ivan memegangi bajuku lagi.

"Tolong...!"

Aku paham, dia pasti sangat ketakutan.

Tapi aku tidak bisa diam saja di sini.

Aku harus menyelamatkan Novel dan Natalia.

"Kau sudah aman di sini. Aku harus pergi membantu yang lain."

Ia masih belum melepaskan tangannya.

"...Tolong...! A... Ada anak pe...perempuan yang masih be...berada di rumahnya! D... Dia tidak sadarkan diri sekarang..."

Anak perempuan...?

Aku mengingat-ingat siapa anak perempuan yang tersisa di desa ini.

Tinggal satu.

Dia adalah putri orang Ceres yang kami awasi di Lesnoy.

Elora... Ya kalau tidak salah namanya Elora.

Ayahnya bernama Alwin dan ibunya bernama Cellica.

Aku tahu di mana rumahnya.

"Baiklah, aku akan segera menolongnya. Serahkan saja padaku, kau tunggulah di sini!"

Ivan pun akhirnya melepaskan tangannya.

Aku segera berlari kembali masuk desa.

Rumah Cellica dan Alwin harusnya tidak jauh dari sini.

Kalau tidak salah, belok sini lalu...

Ah ketemu juga akhirnya.

Seperti rumah lainnya, rumah ini juga terbakar.

Gawat, aku harus cepat!

Aku segera mendobrak masuk ke rumah itu.

Sial... Apinya sudah menyebar ke mana-mana...

Akan sulit mencarinya di kobaran api ini.

Tenanglah Valeria...

Fokus...

Pikirkan...

Ivan tadi bilang kalau Elora tidak sadarkan diri...

Berarti kemungkinan besar ia sudah tahu sebelum insiden ini terjadi.

Anak yang tidak sadarkan diri, biasanya akan terbaring di kamar.

Kalau tidak salah, kamar mereka semua ada di lantai 2.

Baiklah, ayo ke lantai 2.

Ada 3 kamar di sini, yang mana?

Ah, dobrak saja satu-satu.

Ruangan pertama, kosong.

Ruangan kedua, kosong.

Nah, pasti mereka di sini.

Kudobrak ruangan ketiga.

Kosong...

Tak ada siapapun.

Apa mereka sudah berhasil keluar?

Sepertinya begitu, Alwin yang masih sehat pasti bisa membawa istri dan putrinya keluar.

Tunggu dulu...

Bagaimana kalau mereka ternyata masih ada di rumah ini, tapi terjebak?

Apa yang harus kulakukan?

Keluar atau tetap mencari...?

Kalau tetap mencari, bisa saja mereka sudah keluar.

Yang ada aku akan mati konyol tertindih puing-puing atau kehabisan napas...

Tapi kalau mereka masih ada di dalam...?

AAAARRGGHH!!!

Fokus, sekali lagi Valeria, fokus.

Coba ingat-ingat lagi.

Mungkin ada petunjuk...

...

Ah!

Mereka masih di sini!

Tadi pintu rumahnya masih tertutup.

Tak mungkin mereka kabur keluar rumah lalu sempat-sempatnya menutup pintu.

Baiklah, sekarang ke mana aku harus mencari...?

Lantai 2 hanya ada 3 ruangan ini dan semuanya kosong.

Kalau lantai 1, masa iya mereka tidak langsung keluar lewat pintu depan?

Ah, siapa tahu mereka terjebak di lantai 1.

Aku berlari turun menuju lantai 1.

Beberapa dinding rumah mulai runtuh menutupi jalan.

Rumahnya terbuat dari kayu semua, jadi mudah sekali apinya merambat.

Aku berlari ke belakang rumah.

Kulihat ada puing-puing di jalan menuju dapur.

Ah, ada!

Aku melihat ada 3 sosok manusia tertindih sebuah balok kayu yang cukup besar.

Kulihat Alwin merangkul istri dan anaknya sehingga mereka terlindungi dari balok kayu itu.

Tapi, sepertinya mereka bertiga tak sadarkan diri.

"Bertahanlah, aku akan menolong kalian!"

Kuangkat kayu yang menindih mereka.

Kugoyang-goyang badan Alwin, kucoba membangunkannya.

Kulihat mata Alwin terbuka perlahan.

"Alwin...! Kau bisa mendengarku!?"

"K... Kau... To... Tolong... Istri... Dan... Anakku..."

Tanpa bicara lagi, kuangkat tubuh Alwin yang masih lemas.

Saat hendak kubawa keluar, Alwin menarik tubuhnya.

"Bawa... Dulu... Istri... Dan... Anakku..."

"Argghhh! Orang terluka jangan pilih-pilih!"

Aku mencoba menarik badannya, tapi ia tetap tidak mau kukeluarkan duluan.

"Ku...Mohon..."

Aku menghela napas.

Ya sudah kalau itu permintaanmu.

Aku meninggalkan Alwin yang terbaring dekat pintu masuk lalu kembali pada Cellica dan Elora.

Aku membopong Cellica di pundakku dan membawa Elora di pinggangku.

Dengan perlahan, aku membawa mereka berdua keluar.

Kuletakkan mereka berdua di tempat yang aman.

Saat aku hendak kembali ke rumah, tiba-tiba...

BRAAAAKKKK!!!

Seluruh rumah Alwin dan Cellica runtuh.

"ALWIIIINN!!"

Celaka, Alwin masih berada di dalam!

Aku bergegas kembali ke dalam, namun tidak kutemukan pintu masuk di manapun.

Rumah itu sudah sepenuhnya ambruk.

Ah, mungkin Alwin masih bisa kuselamatkan.

Namun, saat aku hendak mendekat, api tiba-tiba membesar tepat di depanku.

Seolah-olah aku tidak boleh menyelamatkan Alwin.

Samar-samar kucium bau daging terbakar.

Aku melihat peristiwa itu dengan tatapan tak percaya.

Hanya selisih beberapa detik...

Harusnya aku bisa menyelamatkan semuanya...

SIALL!!

Lututku lemas.

Samar-samar aku mengingat sebuah memori yang sangat tak ingin kuingat.

"Valeria! Pergilah!"

"Ksenia!"

Kenapa...

Kenapa ini terjadi lagi...

Lagi-lagi aku gagal menyelamatkan semuanya...

"Itu salah satu dari mereka! Serang!"

Seorang prajurit Boris menunjuk ke arahku.

Kuhunus pedangku.

Kuterjang semua musuh yang berlarian ke arahku.

Entah berapa kali aku melayangkan tebasan.

20... 30...? Aku tak tahu.

Yang kutahu, aku hanya perlu membunuh mereka semua.

Merekalah yang membuat desa ini menjadi seperti ini.

Amarahku tak terkontrol.

Aku membantai semua prajurit yang ada di hadapanku.

"M... Monster!!"

Seluruh prajurit yang tadinya menyerangku mudur ketakutan.

Ada yang sampai terjatuh karena saking ketakutannya.

Ahahahaha...

Kalian ketakutan...?

Kalian membantai orang-orang tak bersalah...

Kalian membakar, menculik, menjual bahkan memperkosa orang-orang yang tak berdaya.

Lalu kalian ketakutan...!?

"JANGAN BERCANDA!!"

Kuhujamkan pedangku ke arah kepala salah seorang prajurit Boris.

Tiba-tiba tanganku dihentikan oleh seseorang.

Pandangannya sangat menusuk.

Ia tak berbicara apapun, hanya menatapku seperti itu.

Ah, aku mengenali orang ini.

Dia adalah veteran Perang Svetlia, Radomir.

Ia kehilangan kemampuannya berbicara karena lidahnya dipotong saat peperangan dulu.

Aku menurunkan pedangku.

Radomir membantu prajurit yang hendak kutusuk tadi untuk berdiri.

Prajurit itu berdiri lalu kabur dari situ.

Radomir menatapku kembali.

Masih dengan tatapan tajam yang tadi.

Matanya seolah berkata, "Kalau kau masih mau bertarung, lawanlah aku."

Aku sama sekali tidak ada niatan melawannya.

Setelah aku mulai tenang, kusarungkan pedangku.

"Di sana... Ada seorang wanita dan anak perempuannya yang tak sadarkan diri. Tolong bawa mereka ke tempat aman."

Setelah mengatakan itu, aku berlalu dari hadapannya.

Aku segera berlari ke tempat eksekusi Novel dan keluarganya.

Hampir saja aku lupa tujuan utamaku kembali kemari.

Di sana sudah tak ada siapapun.

Sepertinya mereka berhasil menyelamatkan Novel dan Natalia.

Baiklah, berarti aku harus kembali.

 

 

Aku kembali masuk hutan.

Suasananya sangat kontras.

Lesnoy sangat ramai dan kacau.

Namun di dalam hutan, hanya suara-suara binatang malam yang terdengar.

Semakin menjauh dari desa, semakin samar-samar aku mendengar teriakan orang-orang Lesnoy.

Boris Belijelen...

Apa yang ada di pikirannya?

Kenapa dia tega mengorbankan banyak orang tak bersalah?

Aku yakin yang mati tidak hanya Alwin, pasti ada beberapa penduduk lain yang juga tewas.

Mereka kehilangan rumah, harta benda, dan keluarganya...

Aku menggeretakkan gigiku.

Semua bangsawan sama saja...

Mau Pyotr, Boris, semuanya sama saja.

Mereka semua tidak punya nurani...

"Katak bertelur di air!"

"Sang mentari bersinar!"

Aku sampai di kamp persembunyian kami.

Itu adalah kode khusus untuk mengidentifikasi anggota kami.

Tak lama kemudian, gerbang dibukakan.

Di dalam kulhat orang-orang berkerumun.

Ah pasti mereka sedang merawat yang terluka.

Kudekati mereka.

Dari kejauhan kulihat seorang anak kecil menengadahkan kepalanya.

Andre...!

Aku berlari ke arahnya.

"Minggir!"

Semua orang memberi jalan padaku.

Kulihat Andre tak sadarkan diri dalam posisi bersimpuh sambil menengadahkan kepalanya.

Di depannya...!

"NATALIA!"

Natalia terbaring persis di depan Andre.

Lukanya cukup besar dan dalam.

Kukeluarkan ramuan penyembuh yang kubawa.

Kuoleskan ramuan itu pada luka-luka Natalia.

Jangan...

Jangan kau juga, Natalia...

Tenanglah, kau pasti sembuh...

Ramuan ini sangat mujarab, luka-lukamu pasti akan tertutup dengan cepat.

Sudah kuoleskan, tapi luka-luka Natalia tak kunjung menutup.

Apa kurang?

Kuoleskan lagi ramuan penyembuh ke luka-lukanya.

Ayolah...

Ayolah...!

AYOLAHH!!!!

Masih kurang...

Masih kurang...

Kuoleskan lagi...

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang.

Pavel...

Ia menggelengkan kepalanya.

"Hemat ramuan itu. Ia sudah meninggal, Val..." Katanya pelan.

Meninggal...?

Natalia sungguh-sungguh meninggal...?

Kuraih kerah Pavel.

"APA MAKSUDMU!? DIA INI MASIH BISA DISEMBUHKAN!"

Pavel hanya menatapku.

"Pasti... Pasti hanya ramuannya yang kurang... Ah, akan kutuang saja semuanya!"

Pavel meraih tanganku.

"Hentikan... Kita masih memerlukan ramuan itu."

Maksudmu apa...!?

Maksudmu kita harus menelantarkan Natalia yang sekarat!?

Kupukul wajah Pavel.

Pavel terjatuh.

"Kau... Beraninya kau memukul pimpinanmu sendiri...?"

Aku tak peduli, mau Pavel sekalipun kalau aku harus menelantarkan Natalia yang sekarat, lebih baik aku lawan saja dia.

"TERIMA KEADAANNYA! DIA ITU SUDAH MATI!"

Pavel berseru kepadaku.

"Aku paham kalau kau sedih. Aku juga tidak percaya awalnya. Tapi, tak ada yang bisa kita lakukan untuknya sekarang."

Pavel menepuk pundakku.

"...Sekarang, lebih baik kita bersiap. Besok pagi kita harus berangkat ke Sergiograd..."

Jadi... Itu benar...?

Natalia juga...?

Alwin...

Natalia...

2 orang yang kukenal hari ini kehilangan nyawanya.

Karena aku kurang cepat menolong mereka.

Kenapa ini terjadi lagi...?

Kenapa aku selalu terlambat...?

Kenapa...?

"KENAPAAA!!!???"

Aku berteriak.

Aku tak kuasa membendung kekecewaanku.

Harusnya aku lebih cepat.

Harusnya aku bisa menolong mereka...

BUAK!

Pavel memukulku dengan keras.

"Bodoh! Jangan berteriak!"

"..."

"... Kuatkan dirimu, Valeria. Ini bukan kesalahmu." Pavel menghiburku.

"Daripada kau terus begini, cobalah kau berbicara dengannya, hibur dia."

Pavel menunjuk ke arah Novel yang sedang duduk termenung di depan salah satu tenda.

...

"Maaf..."

Kukatakan itu pada Pavel lalu berjalan ke arah Novel.

Kulihat Novel, badannya penuh sekali dengan luka.

Wajahnya sangat muram.

Sepertinya ia lebih terpukul daripada aku.

Jelas saja, istrinya baru saja meninggal.

"Hei..." Kusapa Novel.

Ia menoleh ke arahku.

Tatapannya kosong...

"Oh, Val..." Katanya membalas sapaanku.

"Boleh aku duduk di sini...?"

Tanpa membalas perkataanku, Novel menggeser posisinya.

Aku pun duduk di samping Novel.

"..."

"..."

Kami berdua saling diam.

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya.

Ia juga tampak sedang tak ingin membicarakan apapun.

"...Kalau saja aku lebih kuat..."

Novel memulai pembicaraan.

"Natalia... Dia wanita yang hebat..."

Aku tidak membalas perkataannya.

Aku yakin saat ini lebih baik membiarkan Novel menumpahkan seluruh emosinya.

Aku tidak perlu mengucapkan apapun.

"Dia sama sekali tidak bisa bertarung... Tapi dia selalu melindungiku saat aku terpojok."

"Dia menggunakan badannya untuk melindungiku. Saat itu... Saat itu..."

Suaranya mulai gemetaran.

"... Kalau saja aku menyadari ada musuh yang menyerang belakangku... Dia tidak mungkin seperti ini..."

Semua itu terjadi dalam sekejap mata.

Natalia menggunakan tubuhnya untuk melindungi Novel.

Dirinya tertusuk tombak prajurit Boris.

Sama seperti Alwin.

Semua terjadi dalam sekejap.

Ia menggunakan badannya untuk melindungi istri dan anaknya.

Seandainya aku lebih cepat...

Semuanya pasti bisa selamat...

Sama seperti saat itu...

Ksenia, Milana, Ulyana, Eva, Denis, Arseny...

Seandainya saja aku bisa lebih cepat...