Sekarang adalah hari ketiga kami di perjalanan.
Selama dua hari kemarin tidak banyak hal yang terjadi.
Hanya saja, ayah sedikit lebih lunak padaku sekarang.
Aku juga sudah lebih terbuka dengannya.
Entah apa yang terjadi sehingga ayah berkata seperti itu saat hari pertama.
Mungkin karena itu juga sekarang ia menjadi lebih lunak.
Kereta kuda kami terhenti.
"Ada apa?" Tanya ayah pada kusir.
"Sebentar, pak." Kata si kusir sambil turun.
Ada beberapa kereta kuda yang berjalan menuju Plemenita.
Kulihat masing-masing kusirnya turun lalu mendiskusikan sesuatu.
"Palingan mereka sedang membahas rute yang akan kita lalui." Kata David.
Rute...?
Memangnya kita belum menentukan rute ke sana?
Kemarin-kemarin perasaan nggak seperti ini.
"Memangnya ada apa, pak guru?"
"Rute kita akan melewati gunung setelah ini. Tapi kudengar baru-baru ini ada bandit yang muncul di sana. Mungkin kita akan lewat jalan memutar."
Jalan memutar...
Jangan bilang jalannya akan sangat jauh.
Pak kusir kembali ke kereta kuda.
Wajahnya terlihat sedikit khawatir.
"Maaf menunggu. Kita akan mengubah rute perjalanan. Jalan lewat gunung sedang berbahaya saat ini."
Benar kata David, kita akan memutar.
"Apa kita akan mengambil jalan memutar?" Tanya ayah.
"Ya... Memang jalan itu lebih jauh, tapi lebih terjamin keamanannya."
"Berapa lama kalau lewat situ?"
"Kurang lebih 4 hari kita akan sampai ke Plemenita."
4 hari...!?
Itu kan durasi perjalanan normal!
Berarti, kalau memutar akan menambah waktu dua hari dong.
Bagaimana dengan perbekalan kami?
Kudengar juga perbekalan kami pas-pasan karena uang yang kami bawa juga tidak seberapa.
"Bukankah terlalu lama kalau 4 hari? Kami sudah tidak punya bekal sebanyak itu."
"Mau bagaimana lagi, pak. Lebih baik menghemat bekal daripada kena serang para bandit itu."
Ayah terlihat berpikir.
"David, Fyodor, kalian bisa bertarung kan?"
Jangan bilang ayah akan bertarung melawan bandit-bandit itu.
"Jangan bilang kau mau melawan mereka."
Sip, David sepertinya sepemikiran denganku.
Sangat berbahaya melawan bandit yang tidak kita ketahui jumlah dan kekuatannya.
"Aku sih ayo aja. Tanganku juga sudah agak kaku beberapa hari tidak latihan."
Oh ya ampun...
Mereka ini benar-benar tidak peduli dengan risiko ya...
"Fyodor?"
Kulihat wajah Paman Fyodor.
Matanya menatap tajam tapi badannya gemetar.
Sebenarnya dia ini marah atau takut sih...
"Ayo kita lakukan." Jawab Paman Fyodor.
Mereka bertiga mengangguk bersamaan.
Eh...?
Benar-benar deh...
"Baiklah kalau begitu. Kita bertiga akan melindungi kereta kuda ini dari para bandit."
Tunggu... Bertiga?
Aku gak diajak?
Kan aku bisa bela diri juga.
"Aku bagaimana?"
"Kau berlindung saja di dalam kereta kuda, Ndre." Kata ayah.
"Tapi... Aku kan sudah bisa bela diri, yah."
"Kau masih belum mahir bertarung Ndre."
"Tapi...!"
David menghentikan kalimatku.
"Ayahmu benar. Saat ini kau masih belum bisa bertarung. Gunakan teknik-teknik yang kuajarkan untuk melindungi dirimu saja dulu."
...
Kalau guruku sendiri bahkan juga mengatakannya...
Ya sudahlah, mungkin memang aku belum bisa bertarung.
Kalau kupikir lagi, bisa-bisa kejadian saat aku duel dengan Gennady terulang jika aku ikut bertarung.
"Kau jangan bangga dulu dengan kemampuanmu sekarang. Masih banyak yang perlu kaupelajari." Kata David sambil tersenyum lebar.
Iya, iya. Aku mengerti.
"Pak, kita ambil jalan lewat gunung saja. Kami bertiga akan melindungi kereta kuda ini. Tenang saja, kami ini veteran ksatria kudus." Kata ayah pada pak kusir.
Heh, bohongnya mantap sekali.
Mana ada ksatria kudus yang kerjaannya merampok bangsawan.
Ayah memang mantap.
"Huh? Kalian ini veteran ksatria kudus? Tapi aku belum pernah melihat kalian."
"Tentu saja, kami ini ada di divisi khusus. Tapi sekarang kami sudah bukan ksatria lagi."
Pak kusir manggut-manggut.
"Baiklah kalau begitu. Aku percaya dengan kalian. Aku akan memberitahu yang lain dulu."
Sebelum pak kusir itu turun lagi, ayah memegang pundak pak kusir, mencegahnya untuk turun.
"Tapi, kami tidak bisa kalau harus melindungi semuanya. Bisakah kalau hanya kita yang lewat sana? Biarkan yang lain lewat jalan lain. Kami agak terburu-buru juga soalnya."
"... Kalau itu... Baiklah, akan kubicarakan dengan yang lain."
Ayah melepaskan tangannya, pak kusir itu pun turun.
Kulihat ia berbicara pada kusir-kusir yang lain.
Terlihat sedikit ada perselisihan, tapi nampaknya bisa beres.
Tak berapa lama kemudian, pak kusir kembali ke kereta kuda membawa seseorang.
"Baiklah, sesuai katamu tadi, kita akan lewat jalan gunung sendirian. Tapi akan ada tambahan penumpang di sini."
Pak kusir mempersilakan seorang pria untuk duduk di kereta kuda kami.
"Hai semua. Maaf aku menumpang di sini. Namaku Yaroslav."
Pria ini...
Penampilannya tidak seperti rakyat jelata.
Wajahnya bersih meski pakaiannya biasa saja.
Dia juga membawa pedang di pinggangnya.
"Ya, salam kenal juga. Aku Novel, ini David, ini Fyodor, dan ini Andre." Kata ayah sambil memperkenalkan kami.
"Kau sepertinya bisa bertarung." Kata David.
"Ya. Aku mendengar saudara-saudara hendak berhadapan dengan para bandit gunung. Izinkan aku membantu saudara-saudara sekalian."
Sopan sekali.
Tak lama kemudian, kereta kuda kami pun memisahkan diri dari kawanan.
Kami berjalan mengikuti rute utama.
2 kereta yang lain pergi ke arah yang berbeda, ke rute memutar.
...
Yaroslav menatapku, ia tersenyum saat melihatku.
"Namamu Andre kan? Kenapa anak sepertimu bersama dengan para veteran ini? Apa mereka adalah kerabatmu?"
"Dia ini anakku." Kata ayah.
"Oh, benarkah itu nak Andre?"
Aku mengangguk pelan.
"Tapi bukankah ksatria kudus itu tidak boleh punya pasangan?"
Baiklah, aku merasakan sedikit hawa yang aneh di sini.
"Dia anak angkatku. Aku mengadopsinya dari panti asuhan."
Entah kenapa saat ayah mengatakannya, dadaku agak sakit.
Meski aku tahu itu untuk menutupi kebohongan pertamanya.
Lagipula, orang ini kenapa bertanya begitu?
Siapa yang suruh?
Atau hanya ingin tahu saja?
"Ooh, begitu ya."
Pembicaraan pun terhenti.
Kami semua terdiam.
Kulihat David menatap Yaroslav dengan tajam.
Sepertinya ia juga merasakan hal janggal darinya.
Tak lama kemudian, Yaroslav mulai berbicara.
"Ah, iya, saudara-saudara ini kan veteran. Apa bolehk aku mengetahui posisi saudara-saudara sekalian di pasukan kudus sebelumnya?"
Woah, apa ini.
Ayah harus berbohong lagi.
Benar-benar kebetulan yang membawa sial.
"Aku dulunya kapten Divisi Glaza. David Divisi Ruke, Fyodor dari Divisi Noga."
"Jadi saudara-saudara ini dari divisi yang berbeda? Kebetulan sekali kalian bisa disatukan di sini."
"Begitulah."
Ia terdiam lagi.
Aku jadi penasaran, dia ini siapa sebenarnya.
Kenapa pertanyaan-pertanyaannya seperti itu?
"Paman Yaroslav. Aku boleh tanya?"
Yaroslav menoleh ke arahku.
"Iya, nak Andre? Ada apa?"
"Paman ini... Sepertinya kuat ya! Apa dulu paman juga veteran seperti ayah?"
Wajah Yaroslav terlihat sedikit terkejut, tapi ia berusaha menahannya.
Kenapa ia terkejut? Pertanyaanku biasa saja perasaan.
Ya aku memang mengajukan pertanyaan itu karena penasaran sih.
"Aku cuma petualang biasa kok."
Petualang biasa?
Sikap dan perawakannya seperti bukan seorang petualang.
Aku curiga sepertinya ia sedang menutupi sesuatu.
"Kamu juga sepertinya mahir bertarung ya, Nak Andre? Pedangmu bagus sekali, jarang lho ada yang bisa menggunakan rapier."
Yaroslav mengomentari rapier di pinggangku.
Jarang-jarang aku dipuji seperti ini.
Karena dipuji, aku jadi bersemangat.
"Hehe... Nggak juga kok paman. Aku belum bisa menggunakannya. Paman bisa menggunakan rapier?"
"Hmmm.... Aku belum pernah menggunakannya sih. Cuma pernah lihat orang yang menggunakannya saja."
"Ooohh, paman berarti pernah melihat cara bertarung menggunakan rapier? Bisakah paman memperlihatkannya? Aku penasaran dengan cara bertarungnya. Pak Guru David belum mengajariku sama sekali."
"Pak... Guru...?"
Yaroslav menghentikan kata-katanya lalu menoleh ke arah David.
"Namamu David kan, wahai saudaraku? Jadi kau guru dari anak ini?"
David mengernyitkan dahinya.
"Ya, aku yang mengajarinya bela diri."
Mendadak pandangan Yaroslav berubah menjadi tajam.
Tapi hanya sebentar lalu ia tersenyum lagi.
"Ohh, jadi begitu. Tumben sekali ada ksatria yang mau melatih anak kecil yang tidak tergabung dalam pasukan kudus."
"Kau... Sebenarnya apa tujuanmu? Kenapa kau mengatakan hal-hal seperti tadi?"
Tatapan David pada Yaroslav sangat menusuk.
Dari tadi padahal kami berusaha menutupi identitas kami.
Tapi dengan kata-kata David, sepertinya kebohongan kami akan terbongkar.
Aduh... Sabar dikit napa, pak guru...
"Hoo... Aku kan cuma bertanya. Memangnya tidak boleh?"
David menghunus pedangnya.
Ia lalu menunjuk Yaroslav dengan pedang tepat di wajahnya
Pak, pak! Kenapa kau melakukan itu!?
Ini kita masih di dalam kendaraan!
"Katakan tujuanmu sebenarnya."
Ah...
Selesai sudah.
Pasti akan ada masalah setelah ini.
"David, sarungkan pedangmu." Kata ayah.
Mendengar perkataan ayah, David langsung menyarungkan pedangnya.
"Maafkan dia. Dia agak temperamen dan mudah curiga. Kumohon, maafkan dia."
Yaroslav hanya mendengus mendengar perkataan ayah.
"Pak, bisa berhenti sebentar? Saya ingin buang air." Kata Yaroslav.
Pak kusir lalu menghentikan laju kereta kuda.
"Silakan, tapi jangan terlalu lama ya. Ini sudah masuk wilayah gunung." Kata pak kusir.
Yaroslav mengangguk pelan lalu turun.
"Saudara-saudara ada yang mau buang air kecil juga?" Tanya Yaroslav.
"Tidak, kau..."
"Aku juga ingin buang air."
Sebelum ayah menyelesaikan kalimat, David sudah menyelanya.
Jadi David dari tadi menahan kencing?
Pantas saja agak emosian.
David lalu turun menyusul Yaroslav.
Tak berapa lama kemudian...
Aku mendengar suara pedang yang berdentang.
- Sudut pandang David –
Orang ini... Mencurigakan.
Pertanyaan-pertanyaannya janggal.
Ia seperti ingin memancing kami.
Aku harus mengawasinya.
"Aku di sebelah sini ya."
Yaroslav menunjuk sebuah pohon.
Aku tidak benar-benar ingin buang air sebenarnya.
Itu hanya alasan agar aku bisa mengawasinya.
"Baiklah, aku di sebelah sini."
Kupilih tempat yang tidak terlalu jauh tapi aku masih bisa melihat gerak-geriknya.
Kuamati dia...
Kalau dia sampai melakukan gerakan mencurigakan, akan kuhajar saat itu juga.
"Saudara David, kalau kau melihatiku seperti itu, kau akan dikira penyuka sesama jenis lho. Atau memang iya?"
Hah?
Bagaimana dia bisa tahu aku mengamatinya?
Dia bahkan tidak melihatku sedikitpun.
"Apa maksudmu?"
"Tidak usah berpura-pura. Aku tahu saudara sedang mengamatiku sekarang."
Dia bukan orang sembarangan.
Dia bahkan bisa mengetahui apa yang di balik punggungnya meski dia tidak melihat.
Tidak perlu pikir panjang.
Ia ini orang yang mencurigakan.
Kuhunus pedangku lalu berlari ke arahnya.
"Hentikan, saudara tidak akan bisa menang."
Bodo amat, kuserang dia dengan pedangku.
Saat tebasanku hampir mengenainya...
TAANGG!!
Pedangnya bertabrakan keras dengan pedangku.
Kecepatannya... Luar biasa...
"Saudara David, mengapa kau menyerangku?"
Tak kuhiraukan kata-katanya, aku menyerangnya lagi.
Kali ini akan kuserang dari sisi kiri.
"Hyaaaahh!!!!"
TAANNGG!!!
Tebasanku berhasil ditangkisnya lagi.
"Bukankah sudah kubilang, saudara tidak akan bisa menang melawanku?"
Dia... Kuat...
Tebasanku sudah 2 kali ia tangkis.
Ia juga tampak tidak memerlukan upaya keras untuk melakukannya.
Sepertinya aku memang tidak bisa menang melawannya.
"Baiklah. Maafkan aku tadi. Aku hanya mengetes kemampuanmu."
"Hmm?"
"Ada apa, Vid?"
Novel dan Fyodor ikut turun.
Sepertinya mereka mendengar suara pertarungan singkat tadi.
"Tidak apa-apa, aku hanya mengetes kemampuannya. Dia bisa membantu kita."
Novel melihat kami berdua lalu menghela napas.
"Sebelumnya, maaf. Aku ingin tanya, apakah diperkenankan?"
Yaroslav...
Dia ini kuat dan sangat sopan...
Jangan-jangan...
"Silakan."
"Saudara-saudara ini... Sebenarnya siapa? Apa tujuan saudara-saudara sekalian?"
Nampaknya kami ketahuan.
"Sudah kubilang, kami ini veteran..."
"Aku sudah tahu saudara-saudara ini bukanlah veteran ksatria kudus. Katakan saja sejujurnya, atau aku akan menghabisi saudara-saudara sekalian di sini."
Wajahnya tersenyum, tapi kata-katanya sadis sekali.
Aku menoleh pada Novel, ia nampak pasrah.
"Baiklah, akan kujelaskan. Tapi bisakah kau berjanji untuk tidak menyerang kami?"
"Tergantung jawaban saudara."
Baiklah, kalau dia nantinya menyerang, aku harus bersiap.
"To... Tolong!"
...!!
Ada suara wanita meminta tolong.