webnovel

Permintaan Konyol dan Gila

"Istri Bapak mengalami kelumpuhan akibat adanya penyempitan pada saraf otak. Tapi, Bapak jangan khawatir, karena masih ada kesempatan sembuh jika istri Bapak melakukan perawatan intesif sesuai anjuran dokter."

Berulang kali Juan mencerna perkataan dokter yang merawat Kiara, kemarin sore. Bahwa, masih ada kesempatan untuk istrinya bisa sembuh jika dilakukan perawatan rutin. Namun, karena terhalang biaya yang sudah pasti tak sedikit, Juan pun memutuskan untuk membawa Kiara pulang saja.

Sebenarnya, Kinarsih kembali menawarkan sejumlah uang untuk perawatan Kiara selanjutnya. Akan tetapi Juan menolak. Ia takut kalau hutangnya akan membengkak, setelah sebelumnya meminjam uang untuk biaya operasi.

Setibanya di kontrakan, Kiara hanya terbaring lemah di ranjang. Jangankan mengurus anak yang menjadi tanggung jawabnya, mengurus dirinya sendiri saja ia tak bisa. Namun, ia beruntung karena memiliki suami pengertian dan juga perhatian. Ia ridho meski harus mengurus semuanya sendirian.

Kiara juga beruntung karena tinggal di salah satu kontrakan, di mana penghuni dan pemiliknya tak abai satu sama dengan yang lain. Mereka selalu datang untuk saling membantu di mana ada yang membutuhkan.

"Kamu aku titip ke Bu Kinarsih dulu nggak apa-apa, kan? Tadi aku ada buka aplikasi lagi buat nyari orderan. Sekarang malah langsung dapat pesanan."

Juan yang baru saja menyuapi Kiara meminta izin untuk berangkat kerja, setelah beberapa hari libur karena menunggu istrinya itu di rumah sakit. Bukan ia tak lelah, tetapi memikirkan kebutuhan yang tiada habisnya membuat ia memang harus segiat itu.

Namun, Kiara justru seolah tidak mau ditinggal. Ia seketika memasang wajah sendu setelah Juan meminta ijin.

"Kenapa kamu sedih gitu, Ay? Ada yang sakit?" Juan pun mengusap air mata yang jatuh menetes di pipi Kiara.

"A-aku k-kan mem-memang sa-sak-sakit, Yang." Raut wajah sedih Kiara makin kentara. Meski, tangisnya berhasil ia tahan.

"Ya, bukan itu maksudnya. Aku pikir, mungkin kamu demam atau apa gitu setelah menempuh perjalan yang lumayan jauh tadi?" Juan yang sedang menggendong anaknya pun segera mengecek kening Yunita. "Tapi nggak ya ternyata," sambungnya sembari menahan pilu. Bagaimana pun, Juan tak ingin menunjukkan kesedihannya. Ia harus terlihat kuat agar Kiara pun demikian.

"Ng-nggak, Yang. Aku mem-memang l- lagi pengen la-ma-lama s- sama kamu aja. L-lagia-an k-kita kan b-baru pu-pulang dari ru-ru-mah sakit." Kiara pun bicara dengan susah payah, agar dapat dimengerti oleh Juan.

"Lagi pengen dimanja lah intinya, ya? Duh … kasihan banget istrinya aku. Tapi kan aku memang kuat. Mana ada capek kalau cuma abis pulang dari rumah sakit?" timpal Juan, sembari membercandai istrinya itu. Ia bahkan langsung mengajak anaknya yang bernama Gio Nino bicara. Padahal, Gio yang baru berusia beberapa hari mana bisa mengerti.

"Ma-malah kamu y-yang kas-kasihan, Yang."

"Loh, kok aku?" Juan langsung mengernyit. "Kan, yang biasa ditinggal itu kamu, Ay."

"Ak-aku m-memang ser-sering dit-diting-tinggal kamu, Yang. T-tapi … beberapa h-hari i-ini ka-kamu si-sibuk ng-ngurusin a-aku di-di r-rumah s-sakit. Nggak per-pernah i-is-tirahat. L-lalu, se-sekarang m-malah aku ng-nggak bi-bisa ng-ngurus k-kamu."

"Hei, suami istri itu kan kewajibannya adalah saling mengurus, saling menitipkan diri. Nah, kalau kemarin kamu yang ngurus aku … biar sekarang aku yang urus kamu sama Gio. Tapi, ya kamu harus ngerti juga, kalau siang ,.. aku kan harus kerja."

"Te-tetep aja. Di s-sini, di an-ta-tara kita b-bertiga, kamu i-itu orang y-yang pa-paling k-kasihan." Kiara bersikukuh dengan apa yang ketahuinya selama ia di rumah sakit. "K-kamu pa-pasti ke-kese-sepian ju-juga."

"Mana ada aku kesepian, Ay? Kan, ada kamu sama Gio. Orang-orang juga banyak yang peduli dan perhatian sama kita. Aku malah seneng karena akhirnya, ada begitu banyak orang yang sayang sama kamu. Kamu bisa lihat sendiri kan ... saat kita baru datang, orang-orang langsung pada datang jengukin kamu."

"Tapi t-tidak deng-dengan hatimu, Y-yang."

"Nggak apa-apa. Aku beneran baik-baik aja loh, Ay. Malah kadang aku tuh yang takut kalau kamu merasa kesepian dan putus asa."

Kiara pun tersenyum tipis begitu mendengar apa yang dikatakan Juan barusan. Di sini, yang dikhawatirkan Kiara adalah perihal kebutuhan biologis suaminya. Akan tetapi Juan malah mengkhawatirkan istrinya itu.

"Malah senyum kamu." Juan pun mencubit pipi Kiara yang tak lagi segembil dulu. Gemas, karena akhirnya, Kiara dapat tersenyum meski hanya setipis kulit ari.

Kiara langsung menghela napas panjang usai mereda senyumnya yang tipis. "Aku pu-punya s-satu per-perminta-taan, Yang. K-kira-kira, ka-kamu b-bisa kabulin ng-nggak, Yang?" ucapnya setelah itu.

"Um, itu sih tergantung permintaannya, Ay. Kalau aku mampu, pasti aku bisa kabulin. Tapi, sekalipun permintaanmu cukup berat, aku akan berusaha mengabulkannya. Memangnya, kamu mau apa?" tanya Juanbalik.

"Aku m-mau ka-kamu nik-nikah lagi," balas Kiara sembari menyunggingkan bibirnya lagi. Kali ini ia tersenyum lebar, meski sesak seketika menyeruak di rongga dada. Sungguh, dirinya ingin agar Juan menikah lagi. Namun, tetap saja, ada rasa tak ikhlas di dalam sana.

"Gila kamu!" Juan pun sontak berkata kasar. Padahal, itu adalah hal yang tak pernah ia lakukan. "Ngaco!" sambungnya seraya bangkit dari duduk. Gio yang sedari tadi ia gendong sudah terlelap, sehingga Juan segera menidurkannya di ranjang khusus yang didapatinya dari Kinarsih sebagai hadiah.

"A-aku serius!" balas Kiara, masih dengan senyum beserta sesak yang bertabrakan.

"Dah lah. Aku mending kerja, Ay. Mumpung Gio tidur, kamu istirahat lah. Aku berangkat sekalian titipin kamu ke Lusi sama Raina, ya? Mereka kebetulan ada tuh tadi."

"Yang," panggil Kiara, yang belum puas bicara dengan Juan. Namun, ia sama sekali tidak dapat bergerak meski ingin menghentikan suaminya itu.

Alih-alih berhenti atau menoleh pada Kiara, Juan justru langsung melengos pergi keluar dari kontrakan. Ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang dikatakan istrinya barusan. Meski memang, sebagai lelaki normal, Juan menginginkan pelayanan. Namun, cintanya terhadap Kiara, membuat ia merasa harus melupakan hal tersebut. Kepuasan batin yang mungkin akan susah dinikmatinya, sedikit tercukupi oleh kehadiran Gio dalam hidupnya.

Tiba di depan pintu kontrakan Raina dan Lusi, Juan menyapu wajahnya yang kusut dulu. Ia juga melap air matanya di sana sebelum kemudian mengetuk pintu. "Assalamualaikum," sapanya dengan mengucap salam.

Lusi yang memang sedang duduk santai sembari nonton drakor kesukaannya itu pun langsung membuka pintu. "Abang," katanya sambil tersenyum dan menutup pintu kembali. Ia harap, Raina yang sedang berada di dapur, tak melihat kedatangan Juan. "Abang mau kerja? Terus itu Gio sama Kak Kiara gimana? Mau dititipin ke aku atau?" tanyanya, menebak-nebak

"Iya," balas Juan. "Itu pun kalau kalian nggak keberatan," sambungnya sembari tersenyum malu.

"Nggak lah. Masa iya keberatan. Kan, mama Gio baring aja tuh."

"Hehe, iya. Ya, sudah kalau kamu nggak keberatan, aku berangkat dulu, ya??" pinta Juan.

"Sebenernya sih masih ingin lama-lama berdua. Tapi, ya mau gimana kan Abang kerja," jawab Lusi sambil tergelak pelan. "Bercanda, Bang!" sambungnya sambil menyengir. Padahal, apa yang dikatakannya adalah kenyataan.

Sudah biasa mengadapi Lusi yang bawel juga humoris, Juan hanya tersenyum dan kemudian melengos pergi, ia harus segera bekerja, agar tak terpikir akan permintaan konyol dan gila istrinya itu.

"Menikah lagi? Hah!" batinnya sambil menggeleng.

**

"Siapa yang datang, Lus?" tanya Raina yang baru saja selesai memasak.

"Bang Juan. Katanya nitip Gio sama Kak Kiara. Tapi, kayaknya Gio tidur, deh. Kalau nggak kan mana mungkin ditinggal." Sembari masuk, Lusi membalas apa yang dikatakan temannya itu.

"Nggak lu tanya emang?" tanya Rania.

"Lupa. Tapi, gue lagi tanggung ini. Tugas masih belum selesai. Gio dan mamanya lu dulu yang cek nggak apa-apa?"

"Kagok nonton drakor? Hedeh, ya, dah kalau gitu gue ke rumah Kak Kiara dulu, deh. Udah mandi ini tadi."

"Gosah nyinggung. Gue nggak mandi juga tetep cantik!"

Raina yang tadi langsung ke luar dari kontrakan pun meninggalkan Lusi sendiri sambil tertawa. Puas rasanya kalau sudah membuat Lusi kalah dalam bicara. Lebih-lebih masalah mandi, karena temannya itu benar-benar jarang mandi.

Diketuknya pintu kontrakan Kiara. Sebab tidak dikunci, Rania pun masuk seperti biasanya. Ia langsung menuju kamar di mana Kiara memang berbaring di sana. Namun, begitu masuk, rania justru mendapati Kiara sedang tersedu.

"Kak, ya ampun. Kak Kiara kenapa? Apa ada yang sakit?" Gugup Rania yang takut kalau sesuatu telah terjadi pada tetangganya itu pun langsung menghambur ke ranjang. Ia duduk di samping Kiara, seraya menilik setiap inci dari tubuh wanita lumpuh nan kurus itu.

Kiara menggeleng pelan, tanpa mampu menyapu air matanya sendiri sebab tangan yang belum bisa ia gerakkan. Namun, seketika bibirnya tersenyum, meski Rania tahu kalau itu hanya senyuman palsu. Tetangganya itu jelas-jelas sedang merasa sedih.

"Kak, kita sudah saling mengenal selama lebih dari satu tahun. Jadi, kalau ada apa-apa, aku harap Kak Kiara nggak sungkan buat cerita sama aku," katanya seraya menyapu cairan bening di pipi Kiara.

Kiara pun terpejam barang sebentar sembari menelan ludahnya yang melumer. "A-aku baru sa-saja m-menyakiti Juan, R-Rania. Aku u-udah bi-bikin Juan n-nang-ngis. Ta-tapi, padahal, a-apa ya-yang aku i-ingin a-ada-adalah untuk k-kebaikannya," katanya.

"Memang, yang Kak Kiara pinta apa?" tanya Rania. Bukan kepo atau pun ingin mengurus rumah tangga orang. Namun, untuk memberikan sebuah solusi, memang harus mengetahu sebab akibatnya.

"Aku … me-meminta-tanya u-untuk m-menikah la-lagi, Rania."

'Ya, ampun, Kak." Rania langsung menangkup mulut. Ia tak menyangka kalau tetangganya itu sampai berpikir sejauh itu karena kondisinya, yang tak lagi sempurna.

"Juan ju-juga k-kaget gi-gitu," balas Kiara.

"Aku saja kaget, Kak. Apalagi Bang Juan yang jelas-jelas sayang dan cinta banget sama kamu, Kak." Rania pun berdeham dan membenahi duduk. Ia pikir, dirinya paham akan apa yang diinginkan tetangganya itu. Yunita yang lumpuh, sudah pasti merasa bersalah karena tidak dapat mengurus suami beserta anaknya lagi. "Tapi, memangnya Kak Rania yakin, akan ada yang menyayangi Gio seperti anak kandungnya sendiri?" tanya Rania lagi.

"Y-yakin!"

Rania menggeleng, masih tak percaya. "Memang Kak Kiara sudah punya calonnya?" tanya Rania, semakin penasaran.

"A-ada!" balas Kiara sambil berdeham. "Dia i-itu wa-wan-wanita yang ba-baik, c-cerdas, per-perhatian dan p-pe-pekerja keras. Se-setidaknya, sebelum k-kemudian ia me-memu-mutuskan ber-berhenti k-karena ha-harus p-pulang dan me-menetap di kam-kampung be-beberapa lama."

"Wah? Siapa dia, Kak?" Rania yang tiba-tiba merasa ada yang aneh pun langsung bertanya tanpa berpikir lagi. Bodo amat meski mungkin akan dikata kepo. Sebab, ciri-ciri wanita yang disebutkan Kiara mirip dengan dirinya.

"Kamu!" balas Kiara yang seketika membuat Raina terpaku. Begitu juga dengan Lusi yang baru saja tiba di ambang pintu kamar.

Sebab Lusi, ialah gadis yang justru sangat menyukai Juan. Akan tetapi, Kiara justru lebih memilih Raina untuk menjadi istri kedua Juan, seandainya Juan mau menikah lagi. Lusi yang terkejut pun seketika kembali, berlari keluar dari rumah kontrakan Kiara. Ia tak terima.

"Apa-apaan? Kenapa Kak Kiara lebih memilih Raina daripada gue? Padahal. Selama ini, gue yang lebih sering bantu dan nemenin dia dan bayinya. Rania mah banyak diem dan duduknya." Lusi mengumpat sembari menutup, dan membanting pintu masuk.

"Eh, apa itu?" tanya Rania yang tak menyadari kehadiran Lusi.

"L-Lusi!" balas Kiara yang memang sempat melihat Lusi tiba di sana.

"Beneran Lusi, Kak?" tanyanya, memastikan.

"I-iya!" balas Kiara, yang sebenarnya tahu kalau Lusi sangat menyukai Juan. Namun, ia sama sekali tak menyukai tabiat gadis usia dua puluh empat tahun itu.

Yakin kalau Lusi baru saja mendengar percakapannya dengan Kiara, Rania pun izin untuk ke luar sebentar. Lantas, setelah Kiara mengangguk, ia pun buru-buru menyusul Lusi untuk menjelaskannya. Bahwa, ia sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Kiara tadi.

"Gue harap lu nggak salah paham, apalagi sampai marah, Lus!" batinnya, panik. "Gue sama sekali nggak tau, kalau Kak Kiara benar-benar mempunyai pikiran seperti itu. Lagi pula, apa iya ada wanita yang akan dengan suka rela memberikan suaminya sendiri pada wanita lain?" sambungnya, masih dalam hati.