webnovel

Kumpulan Waktu

Rumusbumi · Teen
Not enough ratings
9 Chs

Secangkir Kopi Pahit (Bab I)

Ketika Cinta membuat seseorang tak bisa berbicara, maka dari rangkaian kata lah yang bisa mereka huntarakan.

Cerita ini adalah, salah satu cara untuk mereka rasa yang tak pernah di ungkapkan itu di susun rapi menjadi sebuah cerita Cinta.

.

.

Hidup di dunia tidak selamanya berjalan lancar dan, tak juga selalu merasakan hal manis. Hidup itu ibaratkan sebuah kopi, peracik adalah yang di atas. Jika peracik memberikan banyak gula di dalam kopi itu, maka kehidupan manislah yang akan kita dapatkan. Namun, jika peracik tak memberikan sedikit pun gula, maka kehidupan pahit lah yang akan kita dapatkan. Begitu juga dengan kehidupan gadis berumur 17 tahun itu, mungkin dia sedang mendapatkan kopi tanpa gula dari sang peracik.

Kring kring~~alarm berbunyi sangat kuat di kamar berwarna putih parcel itu.

"Ah, menganggu saja" desah gadis berambut panjang ikal itu mematikan alarmnya.

Namun, saat gadis itu ingin melanjutkan tidurnya, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Gadis itu mengacak rambutnya kesal, ia beranjak dari kasur dan mulai menuju pintu kamarnya.

"Ada apa?" ucap gadis itu dengan mata yang masih terpejam.

"Nona, sudah bangun?" ujar pelayan itu sembari tersenyum.

"Aku masih ingin tidur," gadis itu kembali ke kasurnya.

"Tapi! Tuan besar sudah menunggu" tukas pelayan itu, menghentikan niatnya untuk tertidur.

Gadis itu menatap pelayan itu dengan tatapan kesal.

Setelah berapa menit, gadis itu pun turun.

"Bagus, sudah jam segini baru bangun" ujar pria tua itu sambil membaca koran.

Gadis itu tak menghiraukan, dan duduk di meja makan itu.

"Hari ini kamu ujian untuk masuk ke perguruan tinggi bukan?" tanya ibu gadis itu sambil membaca majalah.

Gadis itu hanya mengangguk.

"Kamu masih ingat bukan, kamu harus masuk ke universitas mana?" tukas ayah gadis itu sambil menikmati sarapannya.

"Massachusetts Institute Of Technology" jawab gadis dingin.

"Kamu harus bisa masuk kesana, mengerti?" ucap ibu gadis itu.

"Jangan sampai kamu kalah dari Mira" sambung sang ayah.

"Mereka hanya memikirkan diri mereka saja, daripada anaknya" batin gadis itu sambil menatap sarapan di hadapannya.

Hari ini adalah hari yang menegangkan bagi para siswa tingkatan akhir. Bagaimana tidak, mereka harus mengikuti ujian sebelum memasuki perguruan tinggi.

"Laudir!" teriak wanita seumur dengan gadis itu memanggilnya.

"Diamlah, apa kau tak lihat semua orang sedang belajar" ujar Laudir dingin sambil membaca sebuah buku.

"Ah, iya semua orang sedang sibuk memikirkan ingin masuk ke kampus mana, sedangkan aku bingung" ucap wanita itu lemas, menyandarkan kepalanya di atas meja belajar.

Laudir sedikit tertawa melihat tingkah sahabatnya itu.

"Belajarlah yang giat, Amer" jawab Laudir dengan sedikit tersenyum.

Amer menatap Luadir heran bagaimana tidak, Laudir adalah anak pediam dan jarang tersenyum, sedangkan tadi dia baru saja tersenyum pada Amer.

"Apa aku sedang bermimpi" tukas Amer sambil menatap Luadir.

"Tidak" ujarnya dengan dingin dan, kembali seperti Laudir yang tadi.

"Udah ah, ke kantin aja" ucap Amer menarik tangan Laudir.

"Aku masih belajar Amer!" tukas Laudir terkejut saat Amer menarik tangannya.

Amer tak memperdulikan perkataan Laudir.

Sesampainya di kantin, Amer langsung memesan begitu banyak makanan.

"Apa kau tak bosan belajar terus?" tanya Amer sambil menikmati makanan yang ia pesan.

Laudir sedikit tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya itu.

"Kalau aku bosan, aku tak mungkin bisa masuk ke universitas keinginan orang tuaku" jawab Laudir dengan santai.

"Orang tuamu kejam, bagaimana dia bisa memaksa anaknya belajar selama 24 jam, emang kamu robot apa!" ujar Amer mengomel.

Orang tua Amer memang tak pernah memaksanya untuk selalu belajar dan harus masuk ke universitas keinginan mereka, bagi mereka kebahagiaan Amer adalah yang utama untuk mereka. Tak seperti orang tua Laudir, mereka tak pernah membiarkan anaknya untuk istirahat belajar, setelah pulang sekolah Laudir langsung lanjut untuk mengikuti les yang telah di pilih orang tuanya, tanpa ada waktu untuk bersantai atau pun bermain bersama teman.

"Lanjutkan saja, makanmu" ucap Laudir dingin.

Setelah sepulang sekolah, gadis berambut panjang dan ikal itu memasuki sebuah kedai kopi yang selalu ia kunjungi setelah sepulang sekolah atau pun sepulang les.

"Selamat malam, mau pesan apa mbak" sapa penjaga kedai kopi itu.

"Kopi hitamnya satu mbak, ngak pakai gula" ujar Laudir dengan nada dingin dan, membayar pada kasir.

"Baik, silahkan tunggu sebentar" tukas wanita kasir itu sambil tersenyum.

Laudir hanya mengangguk tanpa tersenyum sedikit pun.

Setelah memesan, Laudir pun memilih tempat duduk yang paling pojok dekat jendela dan memasang sebuah headset pada telinganya.

Para peracik kopi sedang sibuk membuat para pesanan dari pelanggan mereka.

"Nih, ada yang pesan kopi hitam tanpa gula" ujar salah satu pegawai memberi sebuah kertas pesanan Laudir tadi.

"Lagi?" tukas pria berkacamata itu heran.

Pelayan itu cuma mengangguk.

"Baik, akan ku buat" pria itu mulai meracik kopi untuk Laudir.

Setelah beberapa menit, kopi pesanan Laudir pun datang.

"Ini mbak" pria itu mengantar kopi pesanan gadis itu.

Karna penasaran, pria itu memutuskan untuk mengantar kopi itu sendiri pada pelanggan yang selalu memesan kopi pahit itu.

"Terimakasih" ucap Laudri dingin.

"Maaf mbak, kalo boleh tau kenapa mbak selalu pesan kopi pahit ya?" pria itu bertanya pada Laudir.

Laudir menatap dingin pria itu dan, membuat pria itu sedikit ketakutan.

"Yah, biasanya wanita cantik seperti mbak lebih banyak memesan kopi susu" sambung pria itu dengan terseyum bodoh.

Mendengar hal itu Laudir tersenyum remeh.

"Emang ada di dunia ini kehidupan manis" tukasnya dingin, sambil menghirup kopi panas itu.

Mata pria itu terbuka lebar saat mendengar pernyataan gadis itu.

"Ini manis, tolong tambahkan kopi lagi" Laudir menyodorkan gelas kopi itu pada pria yang sedang terdiam itu.

"Ah? I-iya mbak" jawab pria itu terkejut, dan mengambil gelas yang berada di tangan Laudir.

Laudir membaringkan tubuhnya di kasur empuk yang sedari tadi ia rindukan, tatap kosong saat ia memandang langit-langit rumahnya. Tak terasa setetes air jatuh dari mata gadis berumur 17 tahun itu, hatinya sangat perih menanggung beban hidupnya saat ini.

"Eh, kamu ngak boleh nangis Laudir" ujar Laudir sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Ia pun beranjak dari tempat tidurnya dan, menuju dapur.

"Selamat malam nona muda" ucap para pelayan yang berkerja di rumah besar itu.

"Buatkan aku kopi pahit" perintah Laudir lalu pergi dari tempat itu.

Semua pelayan itu bingung dengan perintah yang Laudir suruh.

"Nona muda minum kopi pahit?" tanya salah satu pelayan itu.

"Sudahlah, buatkan saja yang dia perintahkan sebelum Nona muda marah" tukas kepala pelayan di rumah itu.

Saat Laudir hendak naik ke lantai atas, tiba-tiba seseorang menghentikan langkahnya. Ia menatap bingung pria yang berdiri dihadapannya sambil memperhatikan wajahnya dengan dalam.

"Ada apa?" tanyanya dingin.

Pria itu mendekati Laudir dan tersenyum.

"Kau tak ingat dengan ku?" pria itu bertanya dengan nada lembut.

Laudir menggeleng pelan.

"Eh, Verton kapan kamu datang?" ucap ibu dari belakang dan mengagetkan Laudir.

"Verton?" rintih Laudir pelan.

"Tadi pagi tante" ujar pria tinggi dan putih itu menyalami ibu Laudir.

"Laudir, kenapa kamu seperti itu?" tukas ibu melihat Laudir seperti sedang kebingungan.

"Ah?"

"Ini Verton, dia anak dari paman Galen" jelas ibu pada anak perempuannya itu.

Laudir hanya mengangguk pelan.

"Kamu lupa sama dia?" tanya ibu dan membuat Laudir semakin bingung.

"Lupa?" jawabnya pelan.

"Verton ini sahabat masa kecil kamu, kalian dulu tidak pernah mau berpisah" ucap ibu dengan sedikit tertawa mengingat masa kecil anaknya itu.

"Sahabat? Masa kecil?" ujar Laudir berbisik.

"Kau tak ingat?" tukas Verton mendekati wajahnya pada wajah Laudir.

"Tidak" jawabnya dingin lalu pergi dari hadapan Verton.

"Dia tak berubah" banti Verton sambil tersenyum kecil.

Laudir membaringkan tubuhnya di kasur, dan mengambil sebuah buku pelajaran. Namun tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar Laudir.

"Mengganggu saja" ujarnya dingin lalu beranjak dari kasur.

Laudir pun menuju pintu kamar dan, membukanya.

"Kau?" ujar Laudir saat melihat sosok pria yang baru ia temui tadi berada dihadapannya sambil memegang secangkir kopi panas.

"Ini, kopi mu" tukas Verton sambil menyodorkan gelas kopi panas itu.

"Aku menyuruh pelayan, bukan kau" ucapnya dingin.

"Tapi aku yang ingin memberinya ke kau" jelas Verton dengan senyum manisnya.

Laudir cuma menatap dengan tatap dingin, lalu mengambil gelas kopi itu dari tangan Verton.

"Sedang apa kau?" tanya Verton sambil melihat ke dalam kamar Laudir.

"Bukan urusanmu" ujar Laudir dingin dan menutup pintu kamarnya.

Verton sempat tersentak kaget sebentar sampai akhirnya mengeluarkan senyuman yang sangat manis.

Verton pun turun dari lantai atas dan menuju ruang utama.

"Dimana Laudir?" tanya ibu gadis itu pada Verton.

"Di kamarnya" jawab Verton sambil duduk disebelah ayahnya.

"Kenapa ia tak turun" bisik ibu Laudir dengan nada marah.

Sang ibu pun beranjak dari tempat duduk itu dan berniat untuk memanggil Laudir.

"Tak apa tante, mungkin dia ingin istirahat" cegah Verton.

Mendengar hal itu membuat ibu Laudir tersenyum lebar.

Di dalam kamar Laudri sedang menatap langit dari balkon jendela kamarnya, tatapannya kosong dan lagi-lagi air mata jatuh membasahi pipinya.

"Ah, aku benci kopi manis ini" ujarnya lalu menangis tersedu-sedu.

Hatinya hancur, dia hanya ingin seperti layaknya anak-anak yang lain yang bisa bermain dan bersantai-santai bersama teman-teman.

"Untuk apa kau menangis terus? Apa tidak capek?" tukas Verton dan membuat Laudir tersentak kaget.

"Kau? Kenapa kau ada disini?" ucap Laudir dengan nada kaget.

Verton tertawa kecil melihat tingkah Laudir yang sedang terkejut itu.

"Kau lupa, bukan Verton namanya kalau masuk harus permisi dulu" tukas Verton sambil menyandarkan kepala ke dinding balkon jendela itu.

"Kenapa kopinya tak kau minum?" tanya Verton yang melihat kopi itu masih utuh.

"Aku menyuruh mereka membikin kopi pahit, bukan manis seperti ini" jawab Laudir dingin.

"Aku yang menyuruh mereka menambahkan gula, bagaimana kau bisa minum kopi pahit?"  Verton kebingungan.

"Kenapa jika aku suka kopi pahit?" ucap Laudir dengan nada dingin.

"Yah, wanita semanis kau pastinya suka yang manis-manis dong" tukas Verton santai.

Mendengar hal itu membuat gadis berumur 17 tahun itu mengeluarkan senyum smirk.

"Pergi, aku ingin tidur" ucapnya dengan nada dingin.

Verton pun bangun dari duduknya.

"Kau benar ingin tidur? Atau, kau masih ingin menangis?" ujar Verton dengan nada menggoda.

Laudir hanya menatap dingin pria yang memiliki senyuman yang sangat manis itu, lalu meninggalkan Verton dan masuk kedalam kamarnya.

"Hem, baiklah aku akan keluar" tukas Verton lalu keluar dari kamar Laudir.

Tok tok~~ terdengar seseorang mengetuk pintu kamar berwarna pastel itu.

"Nona muda, apa nona sudah bangun?" tanya salah satu pelayan dari luar kamar Laudir.

Mendengar hal itu Laudir pun bangun dengan raut wajah kesal, lalu beranjak dari tempat tidurnya.

"Nona?" pelayan itu terus saja memanggil.

"Aku akan turun!" jawab Laudir dengan nada kesal.

Setelah beberapa menit Laudir pun turun.

"Selamat pagi!" tukas Verton dengan memberi sebuket bunga untuk Laudir.

Laudir hanya menatap heran bunga itu.

"Ambil lah" Verton menyodorkan bunga itu pada Laudir.

"Aku tak suka bunga" ujarnya dingin, lalu berjalan menuju meja makan.

"Kenapa kau tolak" bisik ibu dengan nada sedikit marah pada Laudir.

Laudir tak menghiraukan perkataan ibunya, ia malah meminta pelayan untuk membuat secangkir kopi pahit.

"Tidak! Bagaimana bisa kau minum kopi pahit?" cegah Verton.

Orang tua Laudir pun saling melirik mendengar perkataan Verton, mereka tak menyangka bahwa Verton berani melawan perintah dari Laudir.

"Ini perintah! Cepat bikinkan aku kopi pahit" tukas Laudir dengan nada sedikit tinggi.

"Tidak! Pokoknya tidak!" Verton melawan dengan keras kepala.

Takk! Laudir memukul meja makan itu dengan kuat dan membuat semua orang yang berada di situ tersentak kaget.

Saat perjalanan menuju sekolah, Laudir meminta sopirnya untuk berhenti sebentar di kedai yang selalu ia kunjungi.

"Tapi, sebentar lagi sekolah akan tutup nona" pak sopir pun ragu-ragu untuk menuruti perintah Laudir.

"Apa kau sudah bosan kerja disini?" ancam Laudir dengan dingin.

"Baik nona muda" ucap pak sopir pasrah.

Sesampainya di kedai itu, Laudir pun langsung memesan kopi pahit.

"Nih ada yang pesan kopi pahit" tukas salah satu pegawai di kedai itu pada seorang barista.

"Apa wanita itu lagi?" tanya barista itu.

Pegawai itu cuma mengangguk.

Setelah beberapa menit kopi pahit pesanan Laudir pun datang, ia menghirup kopi pahit itu sambil menatap kearah luar dengan tatapan kosong.

"Permisi, boleh saya duduk disini?" barista itu meminta izin untuk duduk dihadapan gadis dingin itu.

Laudir tak menjawab, ia malah memalingkan wajahnya dari barista itu.

"Nama saya Verga, mbak?" barista itu berusaha mengajak Laudir berbicara.

Lagi-lagi tak ada jawaban dari gadis di hadapannya ini.

"Huh, sabar Ver sabar" batin Verga.

Laudir pun beranjak dari tempat duduk itu dan membuat Verga terkejut.

"Eh, mau kemana mbak?" ujar Verga bingung.

Laudir tak menjawab dan malah pergi dari hadapan barista itu.

"Baiklah, akan ku cari informasi tentangnya" ucap Verga sembari tersenyum manis.

"Laudir!!" teriak Amer memanggil dan membuat semua murid yang ada di kelas itu tersentak kaget.

Semua murid pun menatap Laudir.

"Apa kau habis makan terompet?" ujarnya dingin.

"Yak! Kau ini!" jawab Amer teriak kesal.

"Kecilkan suaramu" tukas Laudir sambil menutup telinganya.

Amer tak memperdulikan perkataan Laudir, ia malah mengomel tak jelas namun, Laudir hanya diam saja.

Setelah hampir beberapa jam Amer pun berhenti mengomel.

"Ayo ke kantin" lagi-lagi Amer selalu menarik Laudir saat ia sedang belajar.

"Setiap saat belajar, ngak capek apa?" tukas Amer melihat Laudir sedang fokus belajar.

Laudir hanya menatap sebentar, lalu melanjutkan belajarnya.

"Ah, sekolah ini membosankan" batin Amer saat melihat semua murid yang ada di kantin itu fokus belajar.

Namun, saat Laudir sedang fokus mencatat tiba-tiba seseorang murid di sekolah itu datang dan menghampirinya.

"Percuma kau berlajar seperti itu, kau akan tetap kalah dariku" ucapnya dengan gaya percaya diri.

Laudir cuma melihat murid itu, ia tak perduli apa yang baru saja ia dengar, baginya itu hanyalah angin lalu saja.

"Hey kau! Jangan asal bicara!" tukas Amer kesal.

Murid itu tertawa remeh melihat tingkah Amer.

"Hey bodoh!, diamlah" ujar murid itu dengan tersenyum remeh.

Laudir mendorong kursi kantin itu dengan kuat dan membuat semua murid-murid yang ada di kantin itu tersentak kaget.

"Apa kau tak punya kaca?" tukasnya dingin.

"Akhirnya bicara juga" ujar murid itu tersenyum jahat melihat Laudir merespon ucapnya.

Semua siswa yang ada di kantin itu mulai saling berbisik-bisik.

"Bukankah, mereka itu murid terkenal di sekolah kita?"

"Iya, Mira dan Laudir mereka murid kesayangan sekolah ini"

"Mereka kan pintar sekali"

Itulah yang terdengar di telinga Laudir saat ini.

"Bagaimana kabar orang tuamu? Masihkah mereka menyuruhmu melawanku?" ucap Mira dengan senyum jahatnya.

"Bukan urusanmu" jawabnya dingin, lalu menarik tangan Amer untuk keluar dari tempat itu.

"Kau tak akan bisa mengalahkan ku!" teriak Mira dan membuat langkah Laudir terhenti.

Laudir berbalik dan mulai berjalan menuju tempat murid belagu itu.

"Kita lihat saja" bisik Laudir pada telinga Mira, lalu tersenyum puas.

Mira terkejut dengan apa yang baru saja Laudir bilang itu, ia tak menyangka bahwa murid bersikap dingin itu sangat merespon perkataannya.

"Ngapain lo?" tanya salah satu pegawai di kedai kopi itu.

"Aku sedang mencari bon pembayaran dari gadis itu" ujar Verga sambil sibuk membongkar isi laci itu.

"Lo gila ya? Untuk apa?"

"Aku ingin tau namanya, lagian ini kan kedai milikku jadi aku bebas" tukas Verga dengan santai.

"Lo ngak akan pernah menemukan namanya" jelasnya.

"Kenapa?"

"Dia ngak pernah nulis namanya saat membayar" jelas pegawai itu.

"Ah, lo mah Vin ngapa ngak bilang sih" ucap Verga frustasi.

"Yah, lagian lo nya semangat amat" ujar Davin.

Verga duduk di kursi dan menyandarkan kepalanya.

"Lo penasaran ya sama tuh cewek?" Davin bertanya.

"Menurut lo?" jawab Verga dengan judes.

"Yah ela santai aja ngapa"

"Eh, gimana kalo kita tanya sama sopirnya aja?" sambung Davin dan mendapatkan respon yang sangat cepat dari Verga.

"Serius lo?" ucap Verga dengan semangat dan di anggukan oleh Davin.

"Yah udah ayo" tukasnya dengan semangat lalu bangun dari bangku itu.

"Ngak sekarang juga Tuan Verga" ucap Davin kesal melihat tingkah sahabatnya itu.

Verga pun berbalik badan.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Emang kita tau di mana tempat tinggalnya? Ngak kan, yah udah tunggu dia datang" jelas Davin panjang lebar.

Lagi-lagi Verga membaringkan tubuhnya di bangku.

"Tenang aja Ver, nanti juga datang" ucap Davin.