webnovel

T I G A B E L A S

Mahesa terburu membuka akses pintu masuk apartemen Indira, dan kegelapan menyambutnya, ketika dirinya sudah berhasil masuk. Buru-buru dia menghidupkan lampu, dan tidak ada tanda-tanda Indira sudah kembali dari toko perlengkapan. Mahesa kembali memeriksa ponsel, tidak ada kabar dari Indira. Sedari tadi, Mahesa juga sudah berulang kali mencoba menghubungi Indira, tapi ponselnya tidak aktif. Mahesa juga urung untuk menelepon mama dan papa, takut membuat mereka khawatir. Apalagi, baru kemarin mereka resmi menjadi suami-istri.

“Kamu di mana, Indira?” gumam Mahesa, lalu tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Ya, Mbak? Belum. Dia juga belum hubungin Mbak Olive? Mungkin Mbak Olive ada bayangan, ke mana kira-kira Indira pergi, misalkan saat dia benar-benar butuh sendiri?”

Tak ada informasi berarti yang didapat Mahesa dari Olive. Olive juga sama butanya dengan Mahesa atas keberadaan Indira. Mahesa melangkah menuju kamar Indira, diperiksanya kamar istrinya—mencoba mencari petunjuk apapun yang bisa mengantarnya untuk menjemput pulang sang istri.

Saat masih sibuk mencari, Mahesa mendengar suara panel pintu apartemen dibuka. Mahesa buru-buru berlari, berharap Indira yang datang. Dan benar, Mahesa menghela napas lega saat melihat istrinya melangkah masuk dengan wajah lelahnya.

“Indira, aku minta maaf,” ucap Mahesa penuh sesal. “Kamu dari mana saja?”

Indira mendongak dan dalam diam terus menatap Mahesa. Lelah, saat ini Indira merasakan lelah yang teramat sangat. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Mahesa, Indira sepertinya tidak mampu. Indira berjalan melewati Mahesa begitu saja, lalu masuk ke kamar.

Rasa bersalah Mahesa semakin menjadi, dirinya juga tidak tahu harus bagaimana menghadapi Indira yang hanya diam. Akhirnya Mahesa memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Mahesa yakin—melihat kondisi Indira—istrinya itu belum makan malam. Segera Mahesa mengecek bahan makanan di dalam kulkas, lalu memasaknya.

Semangkuk sop dan seporsi nasi sudah terhidang di meja makan, tak berapa lama kemudian. Setelah membereskan kekacauan di dapur, Mahesa mengetuk pelan pintu kamar Indira, tapi tidak ada jawaban dari si empunya. Perlahan Mahesa mendorong pintu kamar Indira, diperhatikan dengan saksama kondisi kamar Indira yang gelap. Hati-hati, Mahesa melangkah mendekati ranjang, tidak ada Indira di sana.

Suara gemericik air mengalihkan pandangan Mahesa, membuatnya penasaran, dan tak tahan untuk menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. Samar-samar dia mendengar isak, Indira sedang menangis. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Mahesa mengetuk pintu, tapi sepertinya Indira memang tidak berniat membukanya. Namun Mahesa tidak menyerah, dirinya kembali mengambil makanan untuk dibawanya ke kamar. Mahesa berniat, berapapun lamanya, Mahesa akan menunggu Indira keluar. Tidak peduli jika istrinya itu marah, karena Mahesa masih merasa bersalah.

Sekitar satu jam kemudian, pintu kamar mandi terbuka, dan Indira keluar dari sana.

“Ngapain lo?”

Mahesa buru-buru membalikkan tubuhnya saat melihat Indira yang hanya membalut tubuhnya dengan handuk. “Maaf. Itu, aku udah buatin kamu sop. Dimakan, ya,” jawab Mahesa, lalu hendak keluar kamar, tapi ditahan oleh panggilan Indira.

“Lo mau ke mana?”

“Kamu ganti baju aja dulu. Aku keluar sebentar.”

“Enggak perlu. Kita, udah jadi suami istri, jadi kenapa mesti malu? Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau di otak lo enggak ada niat buat ngapa-ngapain gue?” Indira melangkah melewati Mahesa yang masih berdiri di balik pintu, dan seolah tak peduli dengan keberadaannya, Indira mengganti bajunya tanpa canggung. “Udah. Kalau lo masih aja ngerasa enggak enak, ya tinggal tutup mata terus balik badan.”

Mahesa menurut, lalu duduk di sofa kamar. Menepuk sisi di sebelahnya yang kosong, meminta Indira untuk duduk di sana. Indira menurut, lalu menerima sepiring nasi dan sop untuk makan malamnya.

“Kenapa kamu enggak telepon aku?”

“Hape gue mati.”

“Maaf, seharusnya tadi aku enggak pergi.”

“Udahlah, enggak usah dibahas,” sergah Indira dan langsung melahap masakan Mahesa.

Mahesa merasa sedikit lega, melihat Indira yang tidak kehilangan nafsu makannya, meskipun sedang sedih. Melihat hal itu, Mahesa beranjak dari duduknya dan memilih keluar kamar. Namun, lagi-lagi Indira menahannya.

“Setelah makan, kamu istirahat. Aku ada di luar.”

“Kenapa lo tidur di luar?”

Mahesa memperhatikan sekelilingnya. “Karena di sini hanya ada satu kasur, dan satu sofa kecil ini.”

“Memangnya di luar ada kasur?”

Mahesa menggeleng. “Ya, enggak ada sih.”

“Duduk!”

Mahesa menurut, lalu kembali terdiam. Menunggu Indira menyelesaikan makannya. Setelah selesai, Indira menyandarkan tubuhnya di sebelah Mahesa, seraya meminjam pundak Mahesa sebagai tempat bersandar.

“Kasur lo baru dateng besok pagi. Ruangan di deket dapur juga belum dibersihin. Malam ini, lo bisa tidur di sini.”

“Tapi—”

Indira memeluk lengan Mahesa erat, seolah tidak rela jika pria itu beranjak dari posisinya.

“Apa semuanya akan seperti yang lo bilang?”

“Yang mana?”

“Bahwa semuanya akan baik-baik saja?”

Mahesa mencoba melepaskan diri, tapi Indira menolaknya. Malah pelukan Indira di lengannya semakin erat.

“Ya, semua akan baik-baik saja.”

“Termasuk jika Adrian muncul lagi di depan gue?”

Mahesa terdiam sejenak. Adrian? Muncul di hadapan Indira? Kapan?

“Tadi gue ketemu sama dia.”

Hening. Mahesa tidak tahu harus merespon seperti apa untuk kalimat yang baru diucapkan Indira.

“Lo enggak penasaran apa yang terjadi antara gue sama Adrian tadi?”

“Kamu mau cerita?”

Kali ini Indira yang diam. Sebenarnya Indira tidak ingin mengungkit pertemuaannya dengan Adrian tadi siang. Bahkan, kalau bisa memilih, Indira lebih memilih melewati satu hari ini dalam hidupnya. Tidak, melewati semua hari, di mana dia pernah mengenal seorang pria bernama Adrian yang sudah menyakitinya.

“Kalau kamu cuma butuh teman bicara, supaya kamu enggak inget-inget lagi soal tadi siang …” Mahesa menarik lengannya, lalu memutar tubuhnya untuk menatap Indira. “Aku akan ada di sini.”

Benar yang diucapkan Mahesa. Pria itu tahu benar apa yang diinginkan Indira kali ini. Indira hanya ingin ada seseorang—siapapun itu, kecuali Adrian—bersamanya, sekedar untuk membuat Indira lupa tentang mantan kekasihnya.

“Terima kasih, Sa.”

Mahesa tersenyum, lalu melirik sekilas pada piring kotor bekas makan Indira.

“Udah selesai?”

Indira mengangguk. Lalu Mahesa mengangkat piring kotor itu dan membawanya ke dapur untuk dicuci.

“Sa, nanti ke sini lagi ya,” pinta Indira sebelum Mahesa keluar kamar.

***