webnovel

Permata + Harindra = Matahari

Siang ini hujan deras. Ari dan Tata memandangi bulir-bulir yang berjatuhan di jalanan. Warung bakso itu pun sepi. Hanya Ari dan Tata duduk di pojokan. Tempat itu serasa jadi milik mereka. Apalagi setelah benar-benar tidak ada komunikasi selama beberapa hari. Pertemuan ini seperti obat rindu layaknya hujan yang menyiram rumput jalanan. Setelah selesai dengan bakso favorit mereka, lama mereka terdiam. Tak terpikirkan mengenai hal-hal yang selalu mereka bicarakan.

"Eh, nama lengkap kamu siapa sih?" suara Tata pelan memecah kebisuan.

"O iya, kita belum kenalan ya," Ari tersenyum lepas sedikit bercanda. Dia juga merasa aneh, selama ini mereka tidak tahu nama lengkap masing-masing.

"Namaku Harindra," Ari mengulurkan tangannya.

Tata menyambutnya," Hari… siapa?" tanya Tata agak geli karena dia susah mengucapkannya atau karena suara hujan yang begitu deras di luar sana.

Ari pun mengeluarkan buku kecil dan pensilnya. Dia tuliskan namanya besar-besar di sana.

HARINDRA

"Nama kamu siapa?" sekarang Ari balik tanya.

Tata mengulurkan tangannya," namaku Permata,"

Ari pun menyambut tangan Tata. Lalu Tata mengambil pensil Ari dan menuliskan namanya besar-besar di bawah tulisan Ari.

PERMATA

Mereka berdua pun tertawa. Geli dengan tingkah mereka sendiri. Lalu Tata mengamati lama tulisan mereka di buku Ari. Dia ambil pensil Ari dan mulai melingkari nama Ari di bagian HARI. Lalu dia lingkari namanya di bagian MATA. Dia tambahkan tanda + dan tanda =. Lalu dia dia tulis besar-besar di bagian bawah.

MATAHARI

Lama meraka berdua mengamati buku Ari yang terbuka di meja. Kali ini bukan perasaan geli. Tapi mereka merasa ada sesuatu yang spesial dengan nama mereka.

Hujan pun mereda. Matahari mulai menyembul di balik sisa mendung. 1 jam berlalu terasa masih kurang buat Ari dan Tata bertemu.

"Ari, kita akan selalu ketemu di sini kan?" kata Tata lirih di sisa waktu mereka.

"Iya," jawab Ari pendek

"Sampai kapanpun?" tanya Tata. Dia tersenyum kecil. Kayaknya pertanyaannya terlalu konyol.

"Sampai kapan pun." Ari menjawabnya serius.

"Ntar SMA kamu mau kemana?" Tata masih berpikir apakah masih bisa ketemu Ari saat SMA nanti. "Aku mau masuk SMA favorit."

"Aku juga mau masuk ke sana," jawab Ari cepat.

"Beneran?" kali ini Tata serius menatap Ari.

"Beneran. Kan papaku guru di situ. Dia guru fisika. Sekarang lagi diusulkan untuk jadi Kepala Sekolah."

"Kita akan selalu saling dukung kan?" Mata Tata berbinar-binar.

"Iya, kita akan saling dukung," Ari menatap mata itu lekat.

Lalu Tata mengeluarkan diarynya. Dia tunjukkan tulisan terakhirnya ke Ari. Ari membacanya dengan serius.

"Ibu-ibu yang pakai payung itu sudah masuk rumah?" tanya Ari. Diary Tata masih di tangannya.

"Iya, di teras. Sering dia ninggalin payungnya di teras. Ibuku yang selalu suruh pembantu buang tuh payung. Lama-lama jadi nyebelin. Takutnya dia masuk-masuk ke dalem." Jawab Tata. Ada kecemasan di wajahnya.

"Kamu sih, kemarin-kemarin ditanggapin."

"Iya sih."

"Kalau dia datang lagi cuekin aja."

"Iya."

Lalu Ari merogoh sesuatu di tasnya. Tapi sepertinya dia agak ragu.

"Ada gambar baru?" tanya Tata.

"Iya. Tapi ini terlalu serem," Jawab Ari.

"Mana aku lihat," Tata merasa mereka sudah berjanji untuk saling dukung.

Ari mengeluarkan gambar perempuan yang lidahnya menjulur panjang. Dia berikan ke Tata.

"Setiap malem dia keluar masuk kamar papa mamaku," kata Ari.

Tata memegang gambar Ari. Dia merasa seram. Tapi dia tahan.

"Kamu takut ya?" Tata mengembalikan gambar Ari.

"Nggak juga sih. Cuma aku khawatir sama papa mama aku," Ari memasukkan gambarnya ke tas, lalu dia melihat jam tangannya," eh, udah jam segini, ntar sopir kamu nyariin nggak?"

Tata melihat jam tangannya," O, iya. Ayo kita balik," Tata cepat-cepat memasukkan diarynya.

Setelah membayar bapak tukang bakso, mereka berjingkat menembus sisa hujan, meninggalkan tempat pertemuan mereka.

Sudah dua malam Ari terbangun karena bau kabel terbakar. Dan seperti malam-malam sebelumnya dia memergoki perempuan lidah menjulur itu lagi. Tapi tidak seperti awal Ari melihatnya. Perempuan itu hanya lewat di depannya dan menghilang menuju dapur. Setelah itu bapaknya selalu bangun dan menuju kamar mandi karena batuk dan muntah-muntah. Dan sudah dua hari pula bapaknya tidak bisa mengajar karena sakit. Esok harinya bapaknya pergi ke rumah sakit diantar ibunya. Dokter bilang bapak Ari cuma kecapekan, hanya perlu istirahat. Tapi yang terjadi justru bapaknya sering tidak mau makan, susah tidur dan kadang terlihat seperti orang linglung menyendiri di kamarnya. Hingga suatu malam setelah sekian kali kejadian yang sama, Ari mendengar orangtuanya bertengkar. Lalu ibunya masuk kamarnya dan rebah di samping Ari.

"Kenapa Ma?" tanya Ari dengan mata setengah ngantuk.

"Mama mau tidur sini aja, takut ketularan papa," jawab mama Ari sambil membetulkan selimutnya.

Ari melanjutkan tidurnya tapi matanya tak terpejam. Dia sempat mendengar ibunya terisak di sampingnya.

Malam selanjutnya Ari tidur nyenyak. Bau kabel terbakar tidak menghampirinya. Hingga hampir di penghujung malam, bapaknya membangunkannya. Ari terbangun sambil mengusap matanya.

"Ari, maafin Papa ya," kata bapak Ari lirih seolah tak mau terdengar orang lain.

"Ada apa Pa?" tanya Ari bingung campur ngantuk.

"Maafin Papa ya, kamu mau maafin Papa kan?"

Ari mengangguk. Dia melihat wajah papanya pucat. Wajah itu kini kurus. Matanya cekung. Rambut dan kumisnya tidak terawat.

"Maafin Papa kalau keliru menilai kamu," kata bapak Ari lagi. Lalu dia mengusap kepala Ari dan beranjak keluar kamar.

Ari hanya memperhatikan bapaknya yang berjalan tanpa ekspresi hingga keluar kamarnya. Lama Ari memikirkan bapaknya sampai kantuk menidurkannya lagi.

Siang berkutnya saat Ari baru sampai di rumah dari sekolah, Ari mendengar bapak ibunya bertengkar di kamar mereka. Tidak seperti biasanya, suara mereka begitu keras bersahutan. Lalu ibunya keluar dari kamar menjinjing koper.

"Ari kemasin barang-barangmu seperlunya, kita ke rumah nenek," kata ibu Ari begitu melihat Ari di ruang tengah.

Ari masih bingung. Dia ingin bertanya tapi ibunya sudah membawakan satu koper lagi buatnya. Ari pun mengemasi barangnya. Ibunya ikut membantu supaya cepat. Ari lihat mata ibunya lebam karena tangis. Sesekali ibunya menahan isaknya. Ari tidak mungkin bertanya. Dia hanya akan mengikuti kemauan ibunya. Saat melewati ruang tengah, langkah Ari tertahan. Dia mencium bau terbakar itu lagi. Kali ini baunya sangat jelas. Ari mendekat ke kamar orang tuanya karena dia merasa bau itu berasal dari dalam sana. Kamar itu tertutup. Bapaknya ada di dalam. Dan ini siang hari bolong.

"Ari cepat!" Ibu Ari berteriak. Dia sudah di depan pintu rumah.

Ari pun mengejar ibunya. Sebersit dia lihat ada ketakutan di mata ibunya. Lalu mereka berjalan cepat di jalan mencari taxi. Ari menenteng tas kopernya. Dia masih memakai seragam sekolah. Dan dia khawatir dengan bapaknya.

Pagi ini Ari harus berangkat sekolah pagi-pagi. Karena rumah nenek Ari jauh dari tengah kota. Tapi ini adalah hari yang dinanti-nanti Ari. Hari ini jadwal terapinya. Dia akan bertemu Tata. Pulang sekolah dia langsung ganti bajunya. Jarak rumah nenek Ari ke klinik lebih jauh lagi. Tapi Ari tidak peduli. Saat Ari ingin berpamitan dengan ibunya, dia dapati ibunya sedang duduk mematung di ruang depan. Dia masih menggenggam ponselnya. Air matanya menetes tapi pandangannya datar.

"Mama, ada apa? tanya Ari khawatir.

"Papa kamu, Ri," jawab ibunya tertahan.

"Papa kenapa?"

"Papa kamu meninggal."

"Papa meninggal? Meninggal bagaimana?" Ari seperti tak percaya.

"Iya, papa kamu meninggal di kamarnya," sepertinya ibu Ari tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi bibirnya terasa berat.

Ari cepat mengambil duduk karena kakinya serasa lemas. Masih dia pandangi ibunya yang duduk di depannya. Pandangan ibunya masih menerawang. Papanya meninggal di kamarnya. Kata-kata ibunya tadi masih terngiang di kepalanya. Setelah kejadian yang dia tahu akhir-akhir ini, dia masih belum bisa percaya kalau bapaknya sampai meninggal. Pikirannya kini seperti tidak menemukan ujung pangkal.

Siang ini, di warung bakso pengunjung sudah mulai ramai. Sudah berpuluh kali Tata melirik jam tangannya. Yang dinantinya tidak kunjung datang. Beberapa pengunjung yang tidak kebagian bangku meliriknya karena Tata sudah duduk di situ lama dan belum pesan apa-apa. Dia pandangi lama ponselnya. Dia sedang mengumpulkan keberaniannya untuk menghubungi Ari. Dia sudah memikirkan rencana untuk menghapus notifikasinya agar ibunya tidak tahu. Nomor Ari pun dia sudah ketik. Saat memanggil, nomor itu selalu tidak bisa dihubungi. Sepuluh menit berlalu, Tata sudah putus asa. Dia tinggalkan warung bakso itu dengan perasaan tidak menentu.

Ibu Ari hampir tidak mau menghadiri pemakaman suaminya kalau tidak dipaksa kerabat yang lain. Dan Ari merasa ibunya menyembunyikan sesuatu tentang kematian bapaknya. 2 hari setelah itu Ibu Ari sakit. Ari pun tidak masuk sekolah untuk merawat dan menemani ibunya. Mereka berencana menjual rumah bapaknya. Beberapa hari ini Ari dan ibunya sibuk mengurus pindahan. Dan terapi Ari pun harus berhenti karena tidak ada lagi yang membiayai. Siang ini Ari mengunjungi kuburan bapaknya. Hingga hujan turun pun dia masih berdiri di sana. Dia tidak tahu bagaimana bapaknya meninggal. Tapi dia tahu siapa yang menyebabkan bapaknya meninggal. Sampai kapanpun dia akan cari mahluk itu. Di tengah lebatnya hujan, dia berjanji kepada dirinya sendiri. Karena yang ada di hatinya kini hanya dendam yang membara.

Warung bakso itu sepi karena hujan lebat di luar sana. Hanya Tata duduk sendiri di pojok. Dia berharap seseorang muncul dari kucuran air di depannya. Menemaninya pada saat seperti ini. Dari tadi dia pegang diarynya. Hampir 1 jam dia menunggu. Tapi di luar dugaannya, dua anak berbaju SMU itu muncul di depannya. Sepasang remaja itu duduk di depannya dengan baju sobek-sobek penuh darah dan dengan muka rata, tak ada hidung, tak ada mulut, tak ada mata.

"Mau apa kalian!" spontan Tata berteriak. Lalu dia berlari keluar warung.

"Neng, tunggu neng!" suara bapak tukang bakso memanggilnya.

Tata menahan langkahnya. Dia lihat bapak itu menyusulnya di tengah hujan.

"Tadi kamu lihat anak saya?" tanya bapak itu.

Tata belum mengerti maksud bapak itu.

"Anak saya meninggal kecelakaan naik motor sama pacarnya," kata bapak itu lagi.

Spontan Tata tinggalkan bapak itu. Dia terus berlari di menembus hujan. Karena kini hatinya sedang hancur.