webnovel

Ari dan Kelas Buangan

Wira membantu Ari berbaring di UKS. Wira sempat perhatikan ada goresan-goresan merah di leher Ari.

"Ri, leher lo ada bekas merah-merah," kata Wira.

"Iya agak sakit. Dia tadi nyekik gue" kata Ari sembari meraba lehernya yang agak bengkak.

"Si kaki kuda?"

"Iye."

Ari dan Wira menghentikan pembicaraan, karena sorang petugas PMR yang piket masuk ruang UKS. Ari pun mengencangkan kerah bajunya agar tak terlihat gorena-goresan di lehernya. Lalu si petugas PMR ingin memeriksa Ari.

"E… Dia nggak apa-apa," kata Wira,"Cuma kecapekan, butuh baring doang."

"O… Tapi itu kerahnya jangan kekencengan," kata si petugas.

"E… Itu karena tadi dia kedinginan," kata Wira ngasal.

Si petugas PMR keluar ruangan agak sewot. Wira pun menyarankan Ari segera minta ijin pulang untuk istirahat di rumah. Lalu Ari diantar Wira ke depan sekolah. Ari pun pulang naik taxi.

Sore hari, Ibu Ari pulang. Dia langsung menuju kamar anaknya, karena di sekolah tadi ada yang menyampaikan Ari ijin pulang karena sakit. Ibu Ari menemukan Ari terbaring di balik selimut. Dia memeriksa anaknya. Badannya agak panas. Lalu dia perhatikan leher Ari yang dibelit kain.

"Itu kenapa lehernya?"tanya ibu Ari.

"Nggak kenapa-kenapa Ma. Cuman dingin," kata Ari menutupi.

"Dingin bagaimana! Orang badan kamu panas begini!"

"Nggak kenapa-kenapa kok Ma."

"Jangan bohong sama mama. Ayo buka."

Pelan Ari membuka kain yang membalut lehernya. Dia tidak bisa bohong di depan ibunya.

"Ya ampun Ari! Ini kenapa leher kamu!" Ibu Ari terkejut melihat goresan-goresan merah di leher anaknya.

"Nggak usah khawatir Ma. Bentar lagi juga sembuh," jawab Ari. Dia tidak bisa menjelaskan karena nanti ada hubungannya dengan Tata.

"Nggak khawatir gimana! Ini kenapa leher kamu? Udah bengkak begini! Ayo jujur sama Mama."

Ari diam sebentar. Di depan ibunya dia harus jujur.

"Mmm… Ari tadi nyelamatin temen Ma…" Ari berusaha jujur.

"Kayak yang kemarin waktu ada kesurupan?"

"Iya Ma…"

"Ya ampun Ari! Mama ini khawatir. Mama itu percaya sama kamu. Sama yang kamu lihat. Tapi jangan keterlaluan kayak gini. Mulai sekarang kamu janji sama mama. Kamu nggak akan bertindak yang aneh-aneh lagi"

"Iya, Ari janji Ma,"Ari lega karena cuma disuruh berjanji. Tidak disuruh cerita, siapa yang dia selamatkan.

Ibu Ari pun mengompres kepala Ari. Lalu dia keluar kamar, membiarkan Ari istirahat.

Ari terbangun dari tidurnya. Suara ponsel di samping membangunkannya. Ternyata dari Tata. Ari cepat-cepat duduk dan mengangkat ponselnya. Sempat dia lihat jam di dinding pukul 11.

"Halo, Ari," Suara Tata lirih terdengar di ponsel Ari.

"Halo, Tata,"Ari berusaha menata suaranya.

"Belum tidur?"

"Belum."

"Masih sakit."

"Nggak. Udah sembuh kok."

"Besok masuk?"

"Masuk."

"Sori, aku nggak bisa kenceng-kenceng."

"Takut kedengeran mama kamu?"

"Iya."

"Kamu nggak kenapa-napa kan?"

"Aku nggak bisa tidur."

"Masih takut?"

"Masih."

"Mahluk itu udah ngga ada Ta. Sekolah kita udah bersih."

"Iya aku tahu."

"Mau janji nggak sama aku?"

"Janji apaan?"

"Janji nggak takut sama mereka."

"Iya aku janji."

"Beneran?"

"Ih, iya beneraaan."

"Awas ya kalau melanggar janji."

"Apaan sih."

"Jadi sekarang bisa tidur?"

"Nggak tahu."

"Nah, berarti melanggar janji."

"Iyaaa… aku janji kok."

"Berarti bisa tidur dong sekarang?"

"Iya, aku mau tidur ya."

"Iya, tidur gih."

"Kamu juga tidur ya."

"Iya."

"Sweet dream."

"Sweet dream…"

Esok harinya Ari berangkat sekolah membonceng ibunya naik motor. Ibunya heran, tumben-tumbenan dia mau dibonceng ke sekolahan sampai masuk parkir motor. Saat sampai halaman sekolah, Ari bertemu Toha. Tampaknya Toha sudah menunggu Ari di depan parkir sepeda. Lalu ada Nara setengah berlari menyusul Ari dan Toha.

"Ari! Tunggu!" kata Nara setengah teriak.

Tidak seperti biasanya, Ari dan Toha melihat Nara tidak memakai tudung jaketnya.

"Ari, kamu gimana? Udah sembuh?" tanya Nara sembari melihat leher Ari yang masih sedikit ada bekas kemerahan. Kemarin Wira sudah cerita kejadian yang dialami Ari.

"Nggak apa-apa kok. Cuma memar," kata Ari polos.

Lalu ada Wira datang bergabung dan langsung menyalami Ari, Toha dan Nara.

"Kenalan lagi nih?" tanya Nara.

"Sori, udah kebiasaan," jawab Wira santai.

Lalu mereka berempat berjalan menuju ke kelas. Saat melewati area kelas 10, tak jauh dari mereka berjalan, beberapa anak basket sedang nongkrong di pinggir taman. Salah seorang dari mereka melihat Ari. Lalu dia seperti memberi tahu Jodi yang juga ada di sana.

"Udah jangan digubris,"kata Wira pada ketiga temannya. Meminta ketiga temannya untuk biasa saja berjalan menuju kelas.

Saat mereka berempat sampai di depan kelas, ternyata anak-anak basket yang tadi nongkrong menyusul dari belakang. Ada 6 anak yang setengah berlari menuju kelas Ari, termasuk Jodi.

"Hoi, penggambar hantu, sini lo," kata Jodi kasar.

Ari pun berbalik, melihat Jodi sudah di depannya bersama 5 temannya yang lain. Tapi Ari sepertinya sudah pasrah menghadapi apapun yang akan terjadi.

"Ngapain kamu kemarin nguntit Tata di parkiran?" Jodi bertanya sembari menudingkan telunjuknya ke muka Ari.

"Aku nggak menguntit, aku kemarin…" Sampai sini Ari tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena dia tidak mungkin mengatakan kejadian sesungguhnya. Dia harus merahasiakan kondisi Tata. Orang tidak boleh tahu kalau Tata bisa melihat hantu seperti dirinya.

"Nah, mau ngomong apa lagi lo,"suara Jodi penuh kemenangan. "Temen Tata sendiri yang lihat lo di parkiran, sampai Nara ketakutan. Freak lo!"

"Hoi, kalau nggak tahu kejadiannya jangan so tahu lo," Wira maju di samping Ari.

"Jangan ikut campur lo! Jangan sok jagoan di sini!" Jodi mengancam Wira. Sementara teman-teman Jodi seperti sudah mempersiapkan badan mereka.

"Siapa yang sok jagoan!" Nara maju sambil menyilangkan tangan. Toha pun mengikuti Nara.

"Ok! Jadi kalian mau masalahnya mau diselesaikan kayak gimana!" kata Jodi lantang sembari mengepalkan tangannya." Ngaca dulu kalian kalau mau jadi jagoan! Dasar anak-anak kelas buangan!"

"Hoi, kalau mau ribut jangan di sini!" Kocik sang ketua kelas tiba-tiba maju ke depan dengan badan dempalnya."Mending kita selesaikan di pengadilan aja gimana!"

Jodi sedikit terperangah. Dia tahu Kocik. Semua orang tahu Kocik anak pengacara terkenal.

"Hei! ada yang lagi nyepelein kelas kite ya!" Boncel sang wakil ketua kelas cewek yang juga dempal badannya maju di samping Kocik." Sekali lagi kalau ada yang mau ngajak ribut, gue minta bokap gue turunin satu kompi polisi ke sini!" kata Boncel sambil menyruput sisa jusnya.

Jodi jadi ciut. Semua orang juga tahu Boncel anak pejabat polisi. Kelima teman Jodi juga jadi ragu. Lalu ada Haki maju ke depan. Lalu ada Profesor. Lama-lama teman sekelas Ari iku maju semua. Jodi dan kelima temannya mulai melangkah mundur. Bel masuk berdering. Ke 6 anak basket itu pun meninggalkan kelas Ari dengan bersungut. Dan mulai saat itu, tidak ada yang berani mengganggu Ari lagi.