Sepoi angin dimalam itu, tak membuat seorang gadis cantik jelita mengalami kedinginan. Baginya malam adalah teman terbaik untuknya.
Gaun merah yang indah membalut tubuhnya yang mungil. Bibir yang berwarna merah muda, tak ada hentinya memberikan senyum. Tahi lalat diatas bibir memberikan kesan manis yang semakin menambah kecantikannya. Angin malam semakin memainkan rambut hitam nan panjang milik si gadis.
Dibalik semua keindahan dan kesempurnaan yang dimilikinya, gadis cantik tersebut tetap tak mampu menahan laju air mata setiap malam harinya. Duka apa yang sebenarnya sedang Ia tanggung?
Menangis ditengah malam sendirian, merasa terasingkan dan terabaikan. Pancaran mata yang layu seolah menggambarkan kepedihan yang ada didalam hatinya.
Dunia seolah tidak adil kepadanya, Gadis cantik itu merasa dunia telah menolak kehadirannya. Hanya jembatan ini lah yang memberikan tempat untuknya.
Sementara ditempat lain, seorang pemuda yang tak lain adalah Rico, dia masih saja melamun. Walau pun sekarang dia telah tersadar dari tidur nyenyaknya, tetapi bayangan bersama gadis itu masih menghantuinya.
Ada rasa penasaran didalam dirinya, banyak pula pertanyaan yang hinggap dihatinya.
"Sebenarnya siapa gadis itu? Apa mungkin memang benar hantu? Ku rasa itu tidak mungkin. Tapi dari tingkahnya dan cara bicaranya, dia persis seperti hantu," ucapnya panjang lebar.
Karena terlalu serius memikirkan gadis penunggu jembatan, Rico sampai tidak sadar ada seorang wanita yang duduk disampingnya.
"Rico!" sapa wanita itu. Wanita sexy berambut coklat kemerahan.
"Hah ... sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Rico penasaran.
"Sejak kamu berbicara sendirian. Oh ya, tadi kamu sebut-sebut nama gadis. Siapa gadis itu? Apa mungkin pacar barumu?" tanyanya.
"Sembarangan kamu Din, bukan lah," ucapnya kesal.
"Oh ku pikir dia kekasih barumu yang kesekian. Haha ..." ucapnya brcanda yang dibarengi tawa renyahnya.
Namanya Dinda, gadis cantik yang tak lain sahabat dari Rico, yang sudah menemaninya sejak kecil. Bisa dikatakan Dinda begitu mencintai Rico. Hanya saja dia tidak mau mengakui hal tersebut, baik kepada orang lain maupun dirinya sendiri. Dinda mengira perasaan yang dimilikinya hanya lah sebatas perasaan seorang sahabat tidak lebih.
"Oh ya Din, ngapain kamu ke sini?" tanya Rico.
"Aku diberi tahu sama Mamih kalau kamu tuh lagi kurang sehat, ya sudah aku sempatkan mampir." Dinda memang memanggil Mamih kepada Mamihnya Rico, itu karena dia sudah sangat dekat dengan keluarga Rico dari sejak kecil.
"Hn ... udah sana pulang aja! Aku baik-baik saja kok," tutur Rico.
"Ngusir nih?"
"Ya gak gitu juga, maksudnya kalau mau pulang juga gapapa. Aku udah baikan," ucap Rico.
"Heuh ... iya dah, aku pulang! Dadah," Dinda beranjak dari duduknya lalu melambaikan tangannya.
Dinda pun pergi meninggalkan Rico, dan kembali kerumahnya. Sebenarnya Dinda masih ingin berada didekat Rico, tapi Rico sudah memintanya untuk pulang.
Kembali termenung, Rico masih saja penasaran dengan gadis yang ia temui. Terlintas dipikirannya untuk kembali kejembatan waktu itu.
"Cantik, manis, menawan, dan ... eh apaan sih aku ini, kenapa mikirin gadis hantu itu lagi sih?" ucapnya berbicara sendiri.
"Tapi jujur aku penasaran sekali dengan gadis itu," lanjutnya.
Malam semakin larut, tapi seseorang yang duduk diatas jembatan, sepertinya masih enggan untuk pergi.
Tatapan mata yang kosong, yang dibanjiri oleh cairan bening dengan tiada hentinya mengalir. Sekarang isak tangisnya mulai terdengar. Sepertinya gadis itu sudah tidak bisa lagi menahan kesedihan didalam hatinya.
"Hiks ... hiks ... hiks ... siapa pun, tolong lah aku! Aku sudah tidak bisa seperti ini. Aku pun ingin memiliki duniaku sendiri. Aku tidak ingin seperti ini, aku ingin tenang. Hiks ... hiks ..." tangisnya semakin kencang.
Tak lama kemudian, ada seorang wanita yang melewati tempat itu, wanita itu sepertinya melihat si gadis menangis dan merasa kasihan. Karena tidak tega dia pun mendekatinya dan mencoba mengajak si gadis berbicara.
"Neng! Ngapain di sini malam-malam? Kenapa Neng, nangis?" tanyanya.
"Pergi lah! Ini bukan tempat yang baik untukmu," ucapnya dengan nada suara yang lirih dan menakutkan, membuat siapa pun yang mendengarnya merinding.
"Eh Neng, jangan buat Ibu takut!" ucap si Ibu mulai ketakutan.
"Aku sudah memintamu untuk pergi, cepat pergi! Atau kau tidak ingin pergi lagi dari sini untuk selamanya?" setelah mengatakan itu, si gadis berbalik menatap si ibu.
Matanya yang merah membulat sempurna, rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Seketika itu juga si Ibu melemas. Tanpa pikir panjang lagi, Ibu itu langsung berlari dan berteriak.
"Huwa ... tolong! Tolong! Ada setan tolong!"
Segera setelah itu, dia langsung berlari terbirit-birit.
Si gadis menatap kepergian Ibu tersebut, sedih rasanya menjadi sesuatu yang ditakuti oleh orang lain.
Gadis itu ingin mengulang waktu seperti dulu lagi. Hidup damai dengan penuh kebahagian. Sekarang mana bisa dia seperti itu.
"Ibu, aku rindu, aku ingin pulang, Bu! Bawa aku bersamamu!" isak tangisnya semakin pecah.
Lalu gadis itu pun pergi meninggalkan tempat tersebut. Entah kemana dia pergi. Tapi dia memasuki tempat yang sangat gelap. Tempat yang tak mungkin dimasuki oleh orang-orang.
Pagi yang cerah, suara burung berkicauan seakan saling bersautan. Embun pagi membasahi tanaman-tanaman hijau yang menyegarkan.
Rico terlihat sedang mencuci sepeda motor miliknya. Dengan hanya menggunakan kain sarung dan kaos tipis. Rico begitu tidak bersemangat, tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini Rico terlihat bermalas-malasan.
Anak-anak kecil yang akan pergi kesekolah, melintas didepan rumah Rico.
"Bang Rico!" panggil salah seorang anak tersebut.
"Apa bocah? Manggil-manggil Abang?" tanya Rico.
"Hehe ... engga kok Bang, cuman iseng aja," ucapnya dengan seringai kecil.
"Asem lu, Tong, sana pergi sekolah! nanti kesiangan," titah Rico.
"Siap Bang," ucap mereka dengan tangannya memberi hormat kepada Rico.
"Dasar bocah. Oh iya, aku kan sekarang harus kekantor polisi, untuk mengurus surat-surat dan KTP ku yang hilang. Ini semua gara-gara rampok sialan itu, huh bikin repot saja," Rico menggerutu sendirian seperti emak-emak.
Dengan segera Rico menyelesaikan tugasnya mencuci sepeda motor. Keringat pun mulai mengalir dipelipis Rico.
Mamih dengan tiba-tiba muncul, Dia ingin menyuruh Rico menyelasaikan pekerjaannya secepat mungkin, setelah itu menghabiskan sarapannya.
"Rico! Cepat lah! Kenapa lama sekali? Itu makanan kamu udah dingin. Bukannya kamu juga harus kekantor polisi ya? Jangan bilang kalau kamu lupa lagi," ucap Mamih.
"Iya Mih, Rico ingat kok. Mamih tenang saja," jawab Rico.
"Cepat Rico! Kalau dibilangin sama Mamih tuh nurut, gak usah jawab mulu," ucapnya dengan sedikit nada bicara tinggi ala emak-emak yang sedang mengomeli anaknya.
"Iya, Mih," hanya itu yang dapat Rico katakan, dari pada panjang lebar, nanti Mamih bisa tambah murka.
Mamih pun kembali masuk kedalam rumah setelah mendengar jawaban dari Rico.