webnovel

Bab 15

Tiba tiba ada yang terselip dalam benak

Sebuah tanya yang tak perlu jawab

Pada sosokmu yang memberi nyawa pada hatiku

Menyuruhku diam pada hitungan ke seribu

Saat aku mengeja rinduku yang membatu.

Pada hitungan ke seribu satu,

Kau sampaikan sebuah pesan bergurindam

Untuk simpan rindu ini dalam diam

Ada saatnya nanti untuk lemparkan segunung gumam

Ketika malam tak lagi mengeluhkan dendam.

Bantar Muncang-Pesisir Sukabumi. Panglima Baladewa meneriakkan perintah-perintah kepada pasukannya yang sekarang sedang terlibat pertempuran hebat melawan pasukan Lawa Agung pimpinan Raja Iblis Nusakambangan.

Perang ini bermula di pagi hari. Pasukan Lawa Agung menyerbu dengan gegap-gempita dan membabi-buta. Ribuan orang menyerang benteng Bantar Muncang saat fajar belum juga menyingsing. Tapi mereka salah perhitungan. Benteng ini selalu siaga setiap saat. Tidak pernah lengah sedikitpun. Ini karena Panglima Baladewa selalu menekankan kedisiplinan kepada pasukannya.

Serbuan dahsyat itu tertahan hanya sampai pintu gerbang benteng yang kokoh. Perang panah menghiasi pagi. Pasukan Galuh Pakuan tentu saja jauh diuntungkan dalam perang panah ini. Posisi mereka jauh di atas sehingga terlindung dengan baik, sementara pasukan penyerang di bawah sangat mudah menjadi sasaran empuk anak panah.

Raja Iblis Nusakambangan tidak kehilangan akal. Dia menyuruh Nini Cucara untuk menciptakan sihir-sihir menakutkan untuk membuat kengerian pada pasukan Galuh Pakuan. Nini Cucara tidak bisa melakukan sihir seperti tokoh-tokoh sihir Blambangan yang bisa menciptakan pasukan orang mati. Sehingga yang dilakukannya adalah membuat sihir kabut. Seluruh wilayah benteng dan sekitarnya mendadak diselimuti oleh kabut berwarna hitam pekat. Anehnya, yang terpengaruh terhadap kabut sihir itu hanya pasukan Galuh Pakuan. Pandangan mereka tertutupi kabut sepenuhnya sehingga serangan-serangan menjadi ngawur dan tidak tepat sasaran.

Pasukan Lawa Agung berada di atas angin. Sekarang mereka agak leluasa menyerang dengan menggunakan panah-panah yang melesat mengarah kepada pasukan Galuh Pakuan yang kebingungan di atas maupun dalam benteng.

Bahkan sepasukan pendobrak gerbang perlahan-lahan sudah mendekat sambil membawa kayu bulat besar. Situasi cukup berbahaya bagi Galuh Pakuan. Jika gerbang benteng berhasil dihancurkan, pertempuran dahsyat terbuka akan terjadi. Dan itu tidak dikehendaki oleh Panglima Baladewa. Dia tidak mempunyai tokoh-tokoh sakti yang sanggup mengimbangi kelihaian para tokoh Lawa Agung. Dia adalah seorang panglima perang yang cakap. Namun kemampuan kanuragannya jauh dari mumpuni untuk melawan tokoh sekelas Raja Iblis Nusakambangan.

Panglima Baladewa mengeluh dalam hati. Dia harus mengirimkan utusan ke Galuh Pakuan untuk mendapatkan bantuan. Tapi bagaimana caranya? Sedangkan benteng ini dikepung temu gelang oleh pasukan Lawa Agung? Tidak ada orang di benteng ini yang punya kemampuan cukup tinggi untuk menyelinap keluar tanpa ketahuan. Seandainya masih ada dua gadis itu? Pikir Panglima Baladewa nelangsa.

Panglima parobaya yang gagah ini masih berpikir keras saat didengarnya sorak-sorai dari arah kumpulan pasukan Galuh Pakuan di atas benteng. Panglima Baladewa berlari cepat ke atas di pos intai. Nampak pasukan Lawa Agung di bawah kocar-kacir tidak karuan. Pasukan itu diserbu oleh segerombolan makhluk-makhluk aneh yang mengerikan. Pasukan aneh itu terdiri dari bermacam-macam rupa makhluk gaib. Genderuwo, Banaspati, Kuntilanak, dan banyak lagi.

Raja Iblis Nusakambangan berpaling kepada Nini Cucara. Memberikan isyarat agar nenek sihir itu melakukan sesuatu. Jika tidak, pasukan akan semakin berantakan. Pasukan gaib itu menyerang dan membunuh secara sungguhan.

Nini Cucara dengan wajah sedikit memucat karena mengenal sihir itu, merapal mantra-mantra. Sihir laut selatan sifatnya berbeda dengan sihir Jawa daratan. Angin tiba-tiba berhenti berhembus. Kabut yang tadinya mencengkeram benteng berangsur bergeser ke arah tempat pertempuran antara pasukan Lawa Agung dan pasukan gaib.

Kabut itu berubah penampakannya. Jika tadi berwarna hitam gelap, sekarang berwarna putih terang dan menyilaukan. Kabut ini sanggup memusnahkan pasukan gaib atau jadi-jadian jika sampai tersentuh.

Namun rupanya sang pengundang pasukan gaib tidak tinggal diam. Sehamparan kabut yang serupa namun berpenampakan lebih gelap, perlahan-lahan muncul di antara para pasukan gaib yang masih membunuhi pasukan Lawa Agung. Kabut yang diciptakan Nini Cucara tertahan oleh kabut gelap yang baru datang. Ajaib! Seperti terjadi sebuah pertempuran antara dua kabut itu. Saling desak dan saling dorong. Bahkan kabut gelap mendorong kabut menyilaukan sampai keluar dari gelanggang pertempuran.

Ini tanda bahwa Nini Cucara kalah tangguh dibandingkan lawan. Pasukan gaib itu masih ada dan leluasa menggempur pasukan Lawa Agung. Raja Iblis Nusakambangan menjadi geram bukan kepalang. Dia sendiri juga ahli sihir. Tapi tingkatnya belumlah setinggi Nini Cucara. Dia juga tidak mengetahui bagaimana cara memusnahkan pasukan gaib itu. Raja Iblis tinggi besar itu meneriakkan raungan panjang dan menerjunkan diri menyerang pasukan gaib musuh. Diikuti oleh Lima Kobra Benggala dan Tiga Hulubalang.

Pasukan gaib itu teralihkan perhatiannya. Mereka langsung saja mengepung para tokoh Lawa Agung dan menyerang dengan dahsyat. Jumlah pasukan gaib itu ratusan. Tidak semuanya menyerbu para tokoh Lawa Agung. Yang lain tetap menyerang habis-habisan pasukan Lawa Agung.

Pasukan panah Galuh Pakuan tidak tinggal diam. Panglima Baladewa memerintahkan pasukan panah agar menghujani pasukan Lawa Agung dengan anak panah. Kali ini dengan anak panah berapi. Kontan saja ribuan pasukan Lawa Agung yang sebelumnya di atas angin, menjadi kocar-kacir. Diserbu dari depan dan belakang dengan hebatnya.

Jika sampai sore nanti keadaan tetap begini, ribuan pasukan Lawa Agung ini dipastikan bisa hancur. Tapi rupanya peruntungan Lawa Agung belum musnah. Di saat matahari mulai bergeser menjauhi sisi timur bumi, terdengar sorak-sorai lain. Bala bantuan dari Pulau Kabut datang. Pasukannya tidak sebanyak pasukan yang pertama, namun dipimpin langsung oleh Panglima Kelelawar dan lelaki tua yang cara berjalannya melayang di atas tanah.

Lelaki itu sebenarnya adalah Panglima Kedua Kerajaan Gaib Laut Selatan, bernama Amranutta. Panglima yang menjadi andalan dari Ratu Laut Selatan. Kemampuannya masih di atas Raja Iblis Nusakambangan. Bahkan bisa dikatakan setara dengan Panglima Kelelawar sendiri.

Panglima Amranutta mengebutkan kedua lengan bajunya ke atas. Pasukan gaib yang tadinya berlomba-lomba membunuhi orang, mendadak berhenti. Tubuh-tubuh mereka kejang mematung. Serangan mereka terhenti. Pasukan Lawa Agung dengan leluasa menghantam pasukan gaib yang hanya diam tanpa bisa membalas serangan.

Panglima Amranutta tersenyum dingin. Namun senyumnya tiba-tiba lenyap seketika. Pasukan gaib itu kembali bergerak dan menyerang dengan lebih dahsyat. Karuan saja, pasukan Lawa Agung menjadi kalang-kabut kembali.

Panglima Amranutta mencari-cari dengan sudut matanya. Siapa gerangan tokoh di balik pasukan gaib ini. Matanya terbentur pada seorang gadis muda di kejauhan yang sedang menggerak-gerakkan tangannya.

Panglima Kelelawar juga mengikuti arah pandangan Panglima Amranutta. Huh! Gadis murid Si Bungkuk Misteri itu lagi!

Dewi Mulia Ratri mengerahkan kemampuan sihir yang dipelajarinya dari Kitab Ranu Kumbolo. Tadi dia bertarung dengan Nini Cucara yang mencoba mengganggu pasukan gaib yang dibangkitkannya untuk mengacau pasukan penyerang Lawa Agung. Setelah berhasil menanggulangi serangan Nini Cucara, ada serangan sihir yang lebih dahsyat lagi dari orang tua yang cara berjalannya sangat aneh itu di sana. Diapun berhasil juga mementahkan sihir orang itu. Namun dia menyadari bahwa ilmu sihir orang kedua ini lebih dahsyat daripada Nini Cucara.

Gadis cantik ini melirik Bimala Calya di sebelahnya yang berjaga-jaga dan bersiap sedia terhadap segala serangan sementara dia sedang merapal mantra dan ajian Ranu Kumbolo. Dewi Mulia Ratri hanya ingin melihat bagaimana sikap Bimala Calya karena kali ini harus berlawanan langsung dengan ayah angkatnya. Dan sikapnya menimbulkan rasa kagum Dewi Mulia Ratri. Bimala Calya rupanya sudah punya ketetapan hati yang tinggi untuk melawan ayah angkatnya. Dewi Mulia Ratri tidak tahu bahwa sikap ini muncul lama sebelum dia bertemu dengannya. Sikap ini timbul ketika Bimala Calya melakukan perjalanan panjang bersama Arya Dahana.

Pertempuran berjalan semakin sengit. Hujan anak panah tak henti-hentinya mengarah kepada pasukan Lawa Agung yang juga harus mempertahankan diri dari serangan pasukan gaib yang dibangkitkan oleh Dewi Mulia Ratri.

"Amranutta, aku akan merubuhkan biang pasukan gaib ini. Kakang seranglah gadis di sebelahnya. Rebut alat tiup pusakaku yang ada padanya."

Demikian perintah singkat Panglima Kelelawar kepada Panglima Amranutta.

Yang diperintah mengangguk mengiyakan. Tubuhnya melayang menuju Bimala Calya.

Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya melihat dua sosok tokoh-tokoh tertinggi Lawa Agung mendekati mereka dengan cepat. Keduanya segera bersiaga. Panglima Kelelawar dan lelaki tua aneh itu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Mereka tidak boleh main-main dan harus selalu waspada.

Benar saja. Begitu tiba di hadapan mereka, Panglima Kelelawar langsung saja menyerang hebat Dewi Mulia Ratri, sementara Panglima Amranutta langsung menerjang Bimala Calya.

Kedua gadis cantik itu terkaget-kaget melihat betapa hebatnya serangan kedua tokoh Lawa Agung itu. Dewi Mulia Ratri tidak mau berlama-lama untuk segera memainkan jurus-jurus dari pukulan Gempa Pralaya. Bimala Calya juga mengambil keputusan yang sama. Jurus-jurus dari pukulan Pena Menggores Awan dikerahkannya untuk menghadapi tokoh tua yang belum dikenalnya ini.

Terjadilah pertempuran sengit di sudut luar benteng Bantar Muncang antara dua tokoh kawakan melawan dua gadis muda. Panglima Kelelawar mempunyai kemampuan luar biasa dalam kanuragan. Selain sihir yang mumpuni juga tentunya. Panglima ini juga menguasai ilmu pukulan dari Lima Unsur Bumi yaitu ilmu pukulan Bayangan Matahari yang merupakan intisari dari api. Bertemu dan bertanding dengan Dewi Mulia Ratri yang menguasai ilmu unsur bumi lainnya yaitu tanah dalam ilmu pukulan Gempa Pralaya.

Dewi Mulia Ratri hanya kalah dalam hal pengalaman dan kekuatan tenaga kanuragan, namun unggul dalam penguasaan ilmu sihir. Kitab Ranu Kumbolo adalah kitab ajaib yang luar biasa. Bisa dianggap bahwa kitab itu adalah sumber dari segala sumber ilmu sihir. Pertandingan keduanya sangat menegangkan. Dewi Mulia Ratri memang mulai terdesak tapi masih bisa bertahan dengan sangat baik.

Di sisi lain, Bimala Calya sangat kerepotan melawan Panglima Amranutta. Panglima Kedua Kerajaan Laut Selatan ini masih terlalu tangguh bagi gadis yang baru-baru ini saja memperdalam ilmu kanuragan dari Pendekar Pena Menawan. Apalagi ilmu-ilmu yang dipunyai oleh Panglima Amranutta adalah ilmu dengan gerakan aneh dan langka. Ilmu yang bersumber dari Istana Laut Selatan adalah ilmu yang dihawai oleh sihir-sihir aneh. Terang saja gadis ini sangat kewalahan dan mulai terdesak hebat.

Saat genting bagi Bimala Calya terselamatkan dengan kedatangan sekelebat bayangan berbaju putih yang begitu datang langsung saja membantunya menyerang Panglima Amranutta. Bimala Calya memekik kecil dengan senang melihat Ardi Brata ada di sampingnya bersama-sama menahan serangan Panglima yang sangat tangguh ini.

Kekuatan kedua muda-mudi ini setelah digabungkan sedikit bisa mengimbangi kelihaian Panglima Amranutta. Tapi tetap saja. Orang ketiga tertinggi setelah Sang Ratu dan Panglima Pertama di kerajaan gaib Laut Selatan ini masih lebih tangguh dari pasangan muda mudi yang sekarang berusaha bertahan sekuatnya menahan serangan.

Pertempuran antara pasukan Lawa Agung melawan pasukan gaib yang dibangkitkan Dewi Mulia Ratri juga masih berlangsung seru. Meskipun kalah jumlah, namun pasukan gaib yang tidak kenal takut karena memang tidak punya perasaan itu, bertempur dengan sengit melawan pasukan Lawa Agung yang berjumlah ribuan. Ribuan lainnya menahan serangan pasukan Galuh Pakuan sekaligus mencoba membangun serangan dengan cara berusaha membobol gerbang benteng yang sangat kokoh menggunakan kayu bulat besar.

Raja Iblis Nusakambangan bersama dengan Lima Kobra Benggala dan para hulubalang juga masih bertempur melawan puluhan pasukan gaib yang ternyata sangat tangguh. Pasukan ini tak kenal rasa sakit. Meski anggota badan fana mereka terkena pukulan, tendangan atau bahkan terlepas, mereka terus saja merangsek maju tak kenal ampun.

Sebentar lagi petang akan datang. Bumi mulai disirami dengan cahaya keemasan matahari yang sudah terpojok di ujung langit. Pertempuran mau tak mau akan dihentikan jika malam benar-benar telah tiba. Terlalu beresiko bagi ribuan orang untuk saling bertarung di kegelapan. Cahaya-cahaya obor terlalu kecil untuk bisa menerangi sebuah pertempuran besar-besaran.

Menyadari hal ini, Dewi Mulia Ratri memberi isyarat tak kentara kepada Bimala Calya dan Ardi Brata yang sedang terdesak hebat oleh serangan-serangan Panglima Amranutta. Isyarat yang bahkan hanya Bimala Calya yang bisa mengetahuinya dengan baik.

Sambil melompat menghindari serangan, Bimala Calya melemparkan bisikan kepada Ardi Brata mengenai arti isyarat Dewi Mulia Ratri tadi. Pemuda itu menggangguk tanpa banyak bertanya. Dirinya sedang sangat disibukkan menghadapi dan menghindari serangan dahsyat panglima yang berilmu tinggi itu.

Dewi Mulia Ratri sendiri sudah sedari tadi kewalahan menahan serangan Panglima Kelelawar. Keduanya memang sama-sama tidak mengeluarkan ilmu pukulan tertinggi yang mereka punya. Entah dengan pertimbangan apa, tapi pukulan Bayangan Matahari dan jurus pamungkas Gempa Pralaya sama sekali menampakkan wujud pukulannya sama sekali.

Panglima Kelelawar hilang kesabaran. Hari semakin gelap. Dia harus menyudahi perlawanan gadis tangguh ini. Mendadak tubuh Raja Lawa Agung ini berkilau keperakan. Pukulan Bayangan Matahari sedang dipersiapkan. Dewi Mulia Ratri sedikit banyak sudah mendengar bahwa raja yang sakti ini memiliki pukulan hebat Bayangan Matahari. Sebuah ilmu puncak dari unsur api.

Gadis cantik ini juga bersiap sepenuhnya. Ini saatnya Gempa Pralaya dikeluarkan. Dia tak akan sanggup menghadapi ilmu pukulan api itu dengan ajian biasa. Bahkan jika perlu dia harus mendahuluinya. Cepat-cepat gadis ini merapal Gempa Pralaya. Gerakannya terlambat. Dari sepasang tangan Panglima Kelelawar keluar dua larik cahaya menyilaukan mata menghantam Dewi Mulia Ratri. Gadis ini tergopoh-gopoh bertahan sekuatnya. Ditahannya pukulan dahsyat itu dengan menggunakan Gempa Pralaya.

"Blaaaarrrr....blaaaaarrr....!"

Dewi Mulia Ratri terpelanting keras. Tubuhnya terguling-guling di tanah. Bercak bercak darah dari mulutnya ikut muncrat bersama tubuhnya yang terguling. Dengan terengah-engah Dewi Mulia Ratri mencoba bangkit meski dadanya teramat sakit. Jelas sekali bahwa dia kalah tenaga dalam dan tingkat kesempurnaan pukulan. Luka dalam ini membuat dadanya sesak.

Panglima Kelelawar melanjutkan pukulannya untuk menghabisi gadis tangguh yang sedang terhuyung-huyung itu. Sekali lagi kelebatan pukulan menyilaukan Bayangan Matahari mengarah gadis yang belum tegak berdiri itu. Dewi Mulia Ratri hanya bisa mempersiapkan diri untuk menangkis dengan sisa tenaga yang ada. Dia tahu, dengan tenaga sepenuhnya saja dia tidak sanggup menandingi kehebatan pukulan itu, apalagi di saat terluka seperti ini.

"Blaaaarrr...blaaaaarrrr!!!!"

Untuk kedua kalinya udara berguncang akibat pertemuan dua pukulan hebat. Sama-sama pukulan Bayangan Matahari. Panglima Kelelawar gantian yang terhuyung-huyung ke belakang. Sementara si penangkis pukulan yang bisa membunuh Dewi Mulia Ratri tadi berdiri bergoyang-goyang. Kali ini Panglima Kelelawar yang kalah tenaga.

Dewi Mulia Ratri terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Dadanya sakit bukan main. Namun hatinya girang bukan kepalang. Meskipun hampir pingsan, gadis ini masih sempat berteriak lirih,

"Dahana....kau dataaang....."

Tubuh gadis ini hampir terjatuh dengan keras jika Arya Dahana tidak segera menangkapnya dengan sigap. Pemuda ini cepat-cepat berkelebat menuju arah benteng sambil mengayunkan tangannya mengeluarkan pukulan Busur Berbintang ke arah Panglima Amrunutta yang sedang mendesak Bimala Calya dan Ardi Brata. Mendengar desiran pukulan luar biasa dingin mengarah dirinya, panglima kerajaan Laut Selatan ini melompat jauh ke belakang. Kesempatan ini digunakan Arya Dahana untuk menyambar lengan Bimala Calya sambil memberi isyarat Ardi Brata agar mengikutinya.

Mereka berhasil melepaskan diri dan masuk ke dalam benteng yang sudah dibuka sedikit oleh penjaga atas perintah Panglima Baladewa yang sedari tadi menyaksikan pertempuran hebat itu. Bayangan-bayangan muda itu berkelebat masuk dan pintu benteng yang berat secepat kilat tertutup kembali. Panglima Kelelawar sendiri masih pening akibat benturan pukulan dahsyat tadi sehingga tidak berdaya untuk melakukan pengejaran.

Pertempuran telah berhenti sepenuhnya. Langit malam sudah mengeluarkan taringnya yang sangat gelap dan mengerikan. Tidak ada bulan malam ini. Pasukan gaib Dewi Mulia Ratri juga telah menghilang seluruhnya. Sebagian berhasil dihancurkan oleh Raja Iblis Kelelawar dan para pembantunya. Sebagian lagi diusir pergi menggunakan ilmu sihir Nini Cucara.

Kedua pihak kemudian saling berbenah pasukan. Para prajurit Lawa Agung kembali masuk dalam hutan. Para pemimpinnya termasuk sang raja dan para panglimanya kembali ke pantai untuk mengatur siasat keesokan harinya. Di sana tersedia tempat beristirahat yang sangat nyaman. Kapal-kapal besar pengangkut pasukan masih bersandar di sana.

Pasukan Galuh Pakuan juga berbenah diri. Setelah pasukan penyerang mengundurkan diri ke dalam hutan, mereka segera mengumpulkan yang cedera dan terluka untuk diobati. Tidak ada yang tewas. Ini berbeda dengan pasukan Lawa Agung yang kehilangan puluhan anggota pasukan karena terkena panah. Dan lebih banyak lagi akibat serangan brutal pasukan gaib Dewi Mulia Ratri.

Arya Dahana membawa Dewi Mulia Ratri yang tak sadarkan diri ke ruangan utama benteng. Bimala Calya mengikuti sambil tak henti-henti mencuri pandang ke wajah pemuda yang sangat dicintainya itu. Ardi Brata memandangi semua perhatian Bimala Calya yang tertuju sepenuhnya kepada Arya Dahana, dengan hati terluka. Dia mencintai gadis ini. Sudah pasti. Kepada Dewi Mulia Ratri dia sadar bahwa itu sebatas kekaguman saja. Namun Pendekar Pelajar ini diam saja. Bukan saat yang tepat untuk membuat kegaduhan atas dasar kecemburuan.

Setelah membaringkan tubuh lemas Dewi Mulia Ratri di pembaringan yang tersedia di ruangan, Arya Dahana memberi isyarat kepada para pelayan yang sudah siap berdiri di sana dengan baskom baskom air panas dan dingin. Para pelayan dengan sigap mengerjakan tugasnya membersihkan tubuh Dewi Mulia Ratri sebelum tabib datang mengobati lukanya. Sementara itu yang lain telah meninggalkan ruangan kecuali Bimala Calya yang dengan setia ikut membantu membersihkan tubuh Dewi Mulia Ratri.

Begitu selesai dibersihkan, Dewi Mulia Ratri digendong oleh Bimala Calya dipindahkan ke dalam kamar di sebelah ruang pertemuan. Tabib benteng akan segera datang untuk mengobati. Arya Dahana ingin menanyakan sejauh apa sakit yang dirasakan oleh Dewi Mulia Ratri, namun gadis itu masih dalam keadaan pingsan. Arya Dahana tetap menunggu di luar kamar, siap untuk melemparkan pertanyaan serupa jika tabib sudah selesai mengobati gadis Sanggabuana itu.

Panglima Baladewa mempersilahkan semua untuk makan malam setelah masing-masing telah selesai membersihkan diri dari debu dan keringat pertempuran siang tadi. Arya Dahana tidak beranjak dari kursi di luar kamar Dewi Mulia Ratri. Pemuda itu duduk bersila memulihkan tenaga. Benturan pukulan dengan Panglima Kelelawar tadi cukup mengguncang dadanya meski tidak sampai terluka. Pemuda ini hanya melirik sejenak lalu memejamkan mata lagi saat tabib benteng masuk kamar diiringi oleh beberapa pelayan wanita.

Bagaimana Arya Dahana tiba-tiba saja menerjunkan diri ke pertempuran Bantar Muncang? Bukankah pemuda ini sebelumnya bersama Putri Anjani hendak menuju Istana Timur? Bagaimana mereka bisa terpisah?

Terjadi perdebatan yang cukup sengit antara Arya Dahana dan Putri Anjani sejak mereka mendarat kembali di daratan Jawa. Arya Dahana mengingatkan bahwa tugas pertamanya sudah selesai. Dia akan menyusul ke Istana Timur tepat nanti pada saat purnama keduabelas saka ini. Putri Anjani bersikeras bahwa pemuda itu harus menemaninya sekarang.

Cekcok itu berakhir saat Arya Dahana mengancam tidak mau menuruti lagi permintaan Putri Anjani biarpun dia harus mati untuk menebus hutang nyawanya. Putri Anjani akhirnya mengalah dan pergi ke timur sendirian, namun dengan pesan keras bahwa Arya Dahana harus datang di waktu yang dijanjikan. Jika tidak, maka Putri Anjani akan meminta nyawa orang yang dikasihinya sebagai tebusan.

Arya Dahana mempunyai firasat buruk ketika mereka berdua mendengarkan dengan diam-diam rencana Raja Iblis Nusakambangan terhadap benteng Bantar Muncang. Pemuda itu merasa bahwa Dewi Mulia Ratri pasti ada di benteng Bantar Muncang. Dia mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Penyerbuan ini termasuk besar-besaran. Ribuan pasukan yang dipimpin tokoh-tokoh kelas tinggi memberikan pertanda bahwa penyerbuan akan dilanjutkan terus hingga ke pusat ibukota.

Benar saja. Saat pemuda ini sampai di Bantar Muncang. Telah terjadi pertempuran hebat antara Dewi Mulia Ratri melawan Panglima Kelelawar, Bimala Calya dan Ardi Brata melawan orang tua aneh yang dilihatnya di Pulau Kabut. Dia tiba tepat pada waktunya. Saat Dewi Mulia Ratri hampir saja dihabisi oleh Panglima Kelelawar.

Sekarang dia menunggu dengan cemas bagaimana kondisi gadis yang terluka cukup hebat itu setelah ditangani oleh tabib benteng. Pemuda ini tenggelam benar-benar dalam lamunan dan samadinya. Namun secepat itu pula tersadar ketika didengarnya pintu berderit membuka. Tabib benteng keluar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak. Arya Dahana melihat dengan cemas dan bergegas menghampiri.

"Bagaimana kondisinya Tabib? Kenapa andika terlihat cemas?"

Tabib itu terperangah kaget ditanya begitu tiba-tiba. Tapi segera memperbaiki sikapnya dan menjawab halus.

"Keadaan gadis itu cukup mengkhawatirkan. Luka dalamnya cukup parah. Apalagi pukulan yang mengenainya adalah pukulan langka dan luar biasa. Aku hanya bisa memberinya obat penahan sakit. Luka dalamnya membingungkan. Aku harus pergi ke tabib istana untuk menanyakan apa yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya."

Arya Dahana terkejut. Tanpa bertanya lebih lanjut, pemuda ini memasuki kamar Dewi Mulia Ratri dan memberi isyarat agar semua orang keluar ruangan. Pemuda ini meraba denyut nadi gadis yang sudah siuman namun berwajah sangat pucat ini dengan hati-hati. Denyut nadinya lemah dan tidak teratur. Dipegangnya leher gadis itu perlahan. Arya Dahana terjengit kaget. Tubuhnya panas bukan main. Betul-betul membara. Luar biasa memang akibat pukulan Bayangan Matahari. Dan ini bukan terkena pukulan secara langsung. Pemuda ini bergidik. Bagaimana jika terkena pukulan langsung?

Diam-diam dia membayangkan, dia juga mempunyai ilmu pukulan yang sama. Kembali dia bergidik. Mulai sekarang dia harus sangat berhati-hati dalam menggunakan pukulannya ini. Orang akan tewas mengenaskan atau hidup namun sangat menderita jika terkena.

Arya Dahana berpikir sejenak. Dia teringat bagaimana dulu mengobati Dyah Puspita saat terkena pukulan yang hampir sama hebatnya. Tapi di mana mencari tumbuhan Sambung Nyawa di sini? Apalagi setelah minum ramuan itu, ada acara buka baju dan menempelkan tangan di dada segala? Harus tanpa busana pula? Arya Dahana berkeringat dingin memikirkan hal ini. Gawat. Bisa-bisa pipinya remuk dihajar tamparan berulang-ulang.

Pemuda itu cepat-cepat keluar menyusul tabib benteng yang berjalan pelan menyusuri lorong menuju ruang pengobatan. Masih banyak orang terluka yang harus diobatinya di sana.

"Tabib....tunggu! Bisakah kau mencarikan Rumput Sambung Nyawa di sini? Aku tahu bagaimana cara mengobati Dewi Mulia Ratri."

Tabib benteng berhenti mendadak. Dia menoleh kepada Arya Dahana yang berdiri di depannya dengan penuh harap.

"Aeh..anak muda. Aku masih punya persediaannya beberapa. Eh, kau tahu cara mengobatinya?"

Arya Dahana mengangguk-angguk keras seperti burung pelatuk.

Tabib benteng buru-buru mengeluarkan kantong obatnya. Dicarinya sebungkus kecil serbuk Tumbuhan Sambung Nyawa, ketemu!

Arya Dahana menerima bungkusan itu sambil membungkuk berkali-kali saking senangnya. Pemuda ini langsung berkelebat lenyap dari hadapan tabib benteng yang hanya mampu terhenyak saking takjubnya.

Serba tergesa-gesa. Begitulah yang dilakukan Arya Dahana sekarang. Pemuda itu membuka pintu kamar dengan tergesa-gesa. Membuka bungkusan obat dengan tergesa-gesa. Mengaduk ramuan obat bersama air dengan tergesa-gesa. Meminumkan ke dalam mulut Dewi Mulia Ratri dengan lembut namun tetap tergesa-gesa. Dan setelah itu dengan tergesa-gesa pula menyuruh para pelayan keluar dari kamar.

Setelah kamar tertutup, Arya Dahana malah meringis ketakutan. Bagaimana cara memberitahu Dewi Mulia Ratri bahwa dia akan mengobatinya namun dengan cara membuka seluruh baju atasnya?

Pemuda ini beringsut mendekati. Dewi Mulia Ratri yang masih tergolek lemas memandangnya mesra. Arya Dahana semakin salah tingkah. Duuuhh ini bagaimana? Pikiran pemuda ini berlarian kesana kemari.

"Ehmmm...Ratri. Eee...eehh...kamu terluka parah. Aku sudah memberimu ramuan Tumbuhan Sambung Nyawa....eee..eeeh tapi ....itu masih harus diikuti dengan penyaluran tenaga dalam untuk penyembuhanmu...."

Susunan kalimat Arya Dahana semakin semrawut.

"Pukulan Bayangan Matahari...yang mengenaimu...adalah pukulan ajaib. Kau tidak akan bisa sembuh...kecuali ada tenaga dari pukulan pasangannya, yaitu hawa pukulan Busur Bintang, tersalurkan ke dalam tubuhmu....dan...dan...ah...itu harus...langsung....uh..."

Semakin tersendat sendat saja Arya Dahana menyampaikan maksudnya.

Dewi Mulia Ratri tersenyum geli namun tertahan. Dadanya sakit sekali. Dia sangat bahagia pemuda yang selalu ada di hatinya ini ada di sampingnya. Apalagi sekarang tergagap-gagap sehingga hilang tengil yang menjadi ciri khasnya.

Arya Dahana menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Lalu kepalanya. Akhirnya memberanikan diri duduk di ranjang sebelah Dewi Mulia Ratri terbaring. Dengan lembut diraihnya tangan tak berdaya gadis itu.

"Ratri...perkenankan aku mengobatimu. Aku meminta ijinmu. Lukamu bisa terus membakar bagian dalam tubuhmu jika tidak segera diobati....itu pukulan ajaib. Tumbuhan Sambung Nyawa yang kau minum tadi untuk membuka aliran darahmu agar hawa Busur Bintang bisa masuk dengan leluasa....bolehkah?"

Dewi Mulia Ratri tidak kuat lagi untuk tidak terkikik geli. Tanpa suara. Tubuhnya terguncang-guncang. Gadis ini bingung sendiri. Pemuda ini bicara panjang lebar tapi maksud dari pembicaraannya sama sekali tidak jelas juntrungannya. Atau jangan-jangan dia yang bloon? Dewi Mulia Ratri menghentikan tertawanya. Rasa sakit di dadanya kembali lagi.

Arya Dahana menghela nafas panjang. Dikumpulkannya seluruh keberanian.

"Begini Ratri, aku bisa membantumu menyembuhkan lukamu dan memulihkan diri akibat pukulan Bayangan Matahari tadi. Tetapi, aku harus menyalurkan hawa murni dari pukulan Busur Bintang kepadamu...dan itu langsung, bersentuhan kulit. Tanganku ke kulit tubuhmu....begitu."

Dewi Mulia Ratri terbelalak sekejap, lalu tersenyum manis.

"Lakukanlah Dahana. Aku berterimakasih sekali. Aku juga mencoba memulihkan diri dari tadi. Tapi hawa murniku tidak bisa mencapai rasa sakit di dadaku. Ayo lakukanlah."

Arya Dahana berkerjap bingung. Ada desir di jantungnya. Semudah ini? Tanpa tamparan?

"Oh..eh...baiklah...sekarang buka bajumu....atau aku membukanya...eh sebaiknya kamu sendiri yang membuka bajunya...atau...eh..duuuhh.."

Dewi Mulia Ratri kembali terbelalak. Kali ini dengan amarah. Matanya yang kesakitan berkilat-kilat seperti hendak menghamburkan halilintar.

"Dahana!...apa maksudmu?!...berani-beraninya kamu!"

Arya Dahana seperti disundut segerombolan obor pantatnya. Pemuda ini setengah meloncat bangkit dari pembaringan Dewi Mulia Ratri.

"Aa...aku...maksud..ku. Aa..ku... sudah sampaikan ini dari tadi Ratri....maaf....maaf...."

Wajah Dewi Mulia Ratri merah padam. Sebagian kecil karena rasa marah, sebagian besar karena malu yang menjalar tak habis-habis. Dia sama sekali tidak bisa menangkap maksud Arya Dahana tadi. Lalu dia mengatakan iya iya saja.

Suasana lalu berubah sangat kikuk. Arya Dahana tidak tahu harus berbuat apa. Pemuda ini hanya berdiri sambil menggaruk sana sini tanpa ada yang gatal sama sekali. Sementara Dewi Mulia Ratri menatap pemuda itu dengan mata menyala, redup, menyala, lalu redup lagi. Sulit untuk diartikan.

Arya Dahana terbatuk-batuk untuk mencairkan keadaan yang makin membisu. Pemuda ini mendekat lagi ke Dewi Mulia Ratri yang sekarang terbengong-bengong menatapnya.

"Ratri, percayalah. Aku sama sekali tidak berniat kotor kepadamu. Itu adalah cara yang aku tahu bisa berhasil. Aku sudah membuktikannya ketika dulu Dyah Puspita terkena pukulan yang hampir sama hebatnya. Maafkan aku. Tapi kalau kamu tidak mau, aku akan tetap memaksamu. Ini semua demi kebaikanmu."

Arya Dahana mengatakan semuanya dengan runtut dan tegas. Tidak lagi ada wajah kikuk atau malu. Dewi Mulia Ratri yang tadinya hampir membuka mulut untuk membantah, membatalkan niatnya itu ketika melihat raut muka tegas Arya Dahana. Gadis ini membuang mukanya untuk menyembunyikan kagum dan senang di hatinya. Inilah yang dia tunggu-tunggu. Pemuda yang tegas mengambil keputusan. Tapi membuka baju di depannya? Ya ampuuunn, entah seperti apa malunya.

Arya Dahana melangkah maju dan duduk kembali di sebelah Dewi Mulia Ratri. Mengangkat dan mendorong dengan lembut agar gadis ini duduk bersila. Diraihnya ujung bawah jubah Dewi Mulia Ratri. Diangkatnya ke atas tanpa membukanya. Arya Dahana sendiri mengambil posisi bersila di depan Dewi Mulia Ratri. Ditempelkannya kedua belah telapak tangan ke dada Dewi Mulia Ratri yang terbuka.

Dewi Mulia Ratri memekik kecil menahan rasa malu yang teramat sangat. Namun gadis ini terdiam saat dari kedua belah telapak tangan pemuda itu mengalir hawa dingin luar biasa. Gigi gadis ini gelemeletukan menahan dingin. Mengherankan! Begitu hawa dingin itu mulai merasuk ke dadanya yang sakit, berganti menjadi hangat bukan main. Hawa hangat itu berputar-putar di dada yang tadi sakit sekali.

Perlahan namun pasti, Dewi Mulia Ratri mulai merasakan berkurangnya rasa sakit di tubuhnya, berbarengan dengan menipisnya perasaan malu yang luar biasa tadi. Hanya perasaan nyaman yang melingkupi seluruh hatinya. Dilihatnya pemuda di hadapannya betul-betul memusatkan perhatian pada pengobatan. Matanya terpejam. Keringat sebesar biji-biji kelereng mengalir pelan pelan di kening dan lehernya.

Dewi Mulia Ratri semakin merasakan rasa nyaman di dadanya. Gadis ini membuka matanya lebar-lebar. Dia ingin tahu apakah pemuda di depannya ini memanfaatkan kesempatan dengan membuka mata dan mencuri lihat kemolekan tubuhnya. Namun pemuda ini sama sekali tak bergeming dari terpejamnya. Bahkan keringat yang mengaliri Arya Dahana makin deras saja.

Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak menyadari bahwa Arya Dahana keringatan begitu deras karena menahan perasaan berlawanan yang menghimpitnya. Di dalam hati pemuda itu, bergumul antara dinginnya hawa murni yang terus dialirkannya, dengan hangat tangannya di dada gadis cantik itu. Oleh karena itu dia memilih untuk menutup matanya agar tidak terganggu pemandangan molek dan langka yang pasti akan menyedot tatapan matanya, sehingga konsentrasinya akan buyar seketika untuk mengobati.

Beberapa jeda berlalu. Dewi Mulia Ratri sudah merasa jauh membaik sekarang. Gadis ini masih mengawasi Arya Dahana yang belum melepaskan telapak tangan di dadanya. Dia sedikit terheran. Seharusnya Arya Dahana menyudahi pengobatannya. Namun kemudian berbalik menjadi kasihan. Pemuda ini mandi keringat. Tubuh dan bajunya basah kuyup dan gemetaran. Ah, dia pasti sangat kelelahan setelah mengerahkan tenaganya untuk mengobatiku. Pikir Dewi Mulia Ratri jatuh iba.

Karena sekarang dia tidak merasakan sakit lagi di dadanya, dengan lembut dipegangnya tangan pemuda ini lalu di lepaskannya dari dadanya. Gadis ini heran, meskipun tangan itu telah dilepaskannya, namun Arya Dahana tetap menutup matanya masih dengan tubuh gemetaran.

Dewi Mulia Ratri menjadi cemas. Tanpa pikir panjang, sampai-sampai lupa untuk mencari penutup dadanya, gadis ini mengusap keringat Arya Dahana dengan lembut. Dihelanya rambut yang berjuntai menutupi mata yang tertutup rapat itu. Dewi Mulia Ratri terperanjat. Tubuh pemuda itu terasa sangat panas ketika tadi dia sempat menyentuh keningnya. Dan mata itu, masih saja tertutup dengan rapat!

Rasa hangat mengaliri wajah Dewi Mulia Ratri. Lalu turun mengaliri sekujur tubuhnya. Ih aneh sekali. Tadi rasa yang ini tidak muncul saat tangan pemuda itu di dadanya. Tapi sekarang? Ini menjalarinya dengan sangat hebat. Dia merindukan sentuhan lembut dan gemetar itu lagi! Pikiran ini kontan membuat pipi Dewi Mulia Ratri memerah seperti saga. Dicobanya menepis pikiran itu dengan mengatur nafas dan memejamkan mata.

Dalam hening dan lamunannya, Dewi Mulia Ratri merasakan ada sepasang tangan lembut merengkuh dan mendekapnya dengan hangat. Kemudian membelai halus rambutnya. Aahhh...ini lamunan terbaik yang pernah menghinggapinya. Aku tidak akan membuka mata.

Dirasakannya sebuah bibir mencium keningnya dengan sangat lembut, lalu pipinya, kanan dan kiri. Lalu telinganya kanan dan kiri. Hembusan nafas itu membuat badannya menggigil seperti terserang sakit parah. Dewi Mulia Ratri merasakan otot-otot di tubuhnya menjadi lemas. Gadis ini menarik nafas panjang mencoba memulihkan keanehan ini. Belum juga setengah dia membuka mulutnya untuk mengambil udara, mulutnya ditutupi oleh sebuah ciuman yang luar biasa hangat dan bergelora. Dewi Mulia Ratri megap-megap tapi tidak mau melepaskan ciuman itu.

Ini ajaib! Baru kali ini lamunanku seperti benar-benar menyentuh semua anggota badanku. Membuatnya merinding tidak karuan. Aku tidak akan memutus lamunanku. Ini membuatku sangat bahagia. Dewi Mulia Ratri merasa tubuhnya bergetar hebat. Dia membalas dekapan itu tidak kalah hangat. Apalagi saat bibir panas yang menempel di bibirnya mencium dengan sepenuh hati. Duuuhh, aku tidak mau ini berhenti.

Arya Dahana yang sedari tadi sudah tidak bisa mengendalikan diri karena dorongan hati yang luar biasa, semakin erat memeluk dan mendekap tubuh Dewi Mulia Ratri. Ciuman yang dilakukannya semakin membara. Apalagi gadis ini membalasnya dengan tidak kalah menyala. Biarlah, jika nantinya ada tamparan hinggap di pipinya, itu urusan nanti. Dia hanya ingin menikmati saat-saat yang mendebarkan ini selama mungkin.

Saat dua anak manusia itu saling berpagut mesra, angin terasa melambat di dalam kamar. Gerah dan panas tak tertahankan. Bahkan saat baju Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri melayang jatuh ke lantai saja, menimbulkan suara ibarat gempa. Tapi pemuda dan pemudi ini sepertinya tidak peduli. Rasa cinta dan sayang bergelung dengan rindu yang berapi-api.

Ketika semuanya nampak tidak terkendali lagi, tiba-tiba sepercik kilatan dari langit menggugah bumi. Disusul kemudian dengan suara halilintar memekakkan telinga menyatroni Bantar Muncang. Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri tersentak kaget. Keduanya membuka mata dengan segera. Menyadari dirinya hanya tinggal mengenakan baju dalam bagian bawah, Dewi Mulia Ratri menjerit tertahan. Buru-buru disambarnya tumpukan pakaiannya di lantai, dikenakannya dengan tergesa-gesa. Setelah itu gadis ini menatap tajam Arya Dahana yang juga sibuk mengenakan pakaian atasnya.

"Kau...kau...Dahana...kau..kau berani hendak menodaiku?"

"plaak...plaak...plaak...!"

Tangan Dewi Mulia Ratri bertubi-tubi singgah di pipi Arya Dahana. Pemuda ini tidak berusaha menghindar ataupun menangkis. Ini sudah diduganya sedari awal. Dia harus terima resikonya.

Melihat Arya Dahana hanya diam saja menerima tamparannya yang berulang kali, Dewi Mulia Ratri menghentikan tamparannya.

"Hayo...tangkis pukulanku Dahana! Atau kau mau jadi seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatanmu, heh?!"

Arya Dahana tidak menjawab. Dia kebingungan harus menjawab apa. Memang salahnya. Dia terbawa dorongan hati yang luar biasa besar tadi. Bersentuhan sangat lama dengan bagian pribadi pujaan hati. Ditunjang juga dengan kehangatan perhatian yang diberikan Dewi Mulia Ratri, membuatnya nekad. Pemuda ini hanya mengucap syukur bahwa tindakannya tadi belum terlalu jauh. Tapi setidaknya dia tahu bahwa bibir gadis itu hangat dan manis sekali. Waduh! Kenapa dia berpikir itu lagi?

Keadaan menjadi kikuk sekarang. Arya Dahana kelimpungan. Dewi Mulia Ratri kebingungan. Keduanya berdiri mematung berhadapan. Saat kedua mata tanpa sengaja bersirobok, keduanya langsung sama-sama membuang. Arya Dahana tidak tahan untuk tidak membuka percakapan.

"Ratri, aku..aku tidak bermaksud untuk membuatmu terluka. Aku minta maaf. Aku tidak bisa menahan diri. Aku....sebenarnya aku...."

Belum selesai ucapan pemuda itu, terdengar ketukan keras di pintu kamar. Buru-buru Arya Dahana berjalan untuk membuka pintu. Pemuda ini lega akhirnya ada sesuatu untuk memecah suasana yang sangat gawat baginya ini.

Sebelum sampai ke pintu, Dewi Mulia Ratri menggerakkan tubuhnya. Tangannya memegang tangan Arya Dahana dengan mesra. Menarik kepalanya dan berbisik lirih di telinga pemuda itu.

"Kau harus berjanji menyelesaikan ucapanmu yang belum selesai tadi ya?"

Arya Dahana mengangguk pelan sembari tersenyum tak kalah mesra. Memberanikan diri memberikan kecupan kecil di pipi gadis yang tadi marah-marah ini. Lalu membuka pintu.

Di hadapan mereka berdiri Bimala Calya dan Ardi Brata. Di belakangnya terlihat Panglima Baladewa bersedekap dengan raut muka cemas.

Bimala Calya membuka percakapan dengan suara sedikit bergetar.

"Dewi, Arya, ada laporan dari para penjaga bahwa benteng ini sedang dalam pengepungan berat. Mereka akan berusaha menyerang benteng ini saat fajar tiba kami rasa."

Panglima Baladewa menimpali dengan cepat.

"Pasukan Lawa Agung menerapkan perangkap laba-laba. Bahkan telik sandi yang aku coba kirimkan, tidak bisa keluar dari benteng untuk meminta bantuan dari Ibukota Galuh Pakuan."

Dewi Mulia Ratri saling berpandangan dengan Arya Dahana. Ini seperti perang Bubat kedua bagi Galuh Pakuan. Kekuatan yang sama sekali tidak berimbang. Jika tidak ada bala bantuan datang. Bisa-bisa di sore hari, benteng ini akan menjadi tumpukan arang.

"Panglima, apakah ada perkembangan mengenai seberapa besar kekuatan musuh? Apakah ada penambahan kekuatan atau masih sama seperti kemarin. Aku tidak bisa leluasa mengerahkan pasukan gaib karena mereka mempunyai Nini Cucara dan panglima dari Laut Selatan itu. Mereka pasti mengincarku. Aku akan cukup sibuk sehingga tidak bisa mengendalikan pasukan gaib itu."

Panglima Baladewa menghela nafas panjang.

"Yang aku dengar kekuatan mereka justru bertambah. Ada beberapa tokoh sakti dunia persilatan dari timur yang bergabung dengan mereka. Mereka baru datang malam ini. Aku belum tahu siapa saja. Anak buahku sedang menyelidikinya."

Kali ini, semua orang saling pandang. Sepertinya semua sadar bahwa situasi sedang tidak memihak mereka. Mereka benar-benar memerlukan bala bantuan prajurit dan juga tokoh-tokoh Galuh Pakuan.

Saat mereka masih berbincang-bincang mengatur siasat menghadapi perang habis-habisan besok pagi, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang datang dengan tergesa-gesa. Di belakangnya nampak seseorang berbaju hitam-hitam yang terlihat kusut dan lelah. Setelah memberikan hormat kepada Panglima Baladewa dan mengangguk takzim kepada yang lain, laki-laki itu melapor dengan suara tegas.

"Panglima, saya berhasil mendapatkan keterangan utuh siapa saja bala bantuan yang datang membantu Lawa Agung. Ada tiga orang dari timur yang tiba malam ini. Mereka disebut-sebut berasal dari Persekutuan Pesisir Gugat. Putri Anjani, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni. Ketiga orang itu malam ini telah bertemu dengan Panglima Kelelawar. Demikian yang bisa saya laporkan Panglima."

Semua yang ada di ruangan itu terbelalak hebat. Ini lebih dari gawat. Mereka tidak terlalu mengenal Mahesa Agni, tapi nama Datuk Rajo Bumi tentu saja membuat gentar. Putri Anjani tentu sangatlah mereka kenal. Pimpinan Garda Kujang Elang yang kini menjadi ketua Persekutuan Pesisir Gugat.

Dewi Mulia Ratri saling bertatapan dengan Panglima Baladewa. Keduanya sepakat bahwa pertempuran esok hari adalah pertempuran antara liliput melawan raksasa. Benteng Bantar Muncang pasti akan jatuh. Keajaiban apalagi yang bisa menyelamatkan mereka kali ini?

Meskipun sadar bahwa ini akan menjadi sebuah puputan, Panglima Baladewa sama sekali tidak merasa jerih. Panglima yang gagah ini kemudian mengumpulkan semua hulubalang pasukan untuk berunding.

Dewi Mulia Ratri, Arya Dahana, Bimala Calya, Ardi Brata, ikut serta dalam pertemuan luar biasa penting itu. Mempertahankan benteng Bantar Muncang sepertinya mustahil. Semua sepakat dengan hal itu. Tapi semuanya juga sepakat, bahwa benteng ini tidak akan jatuh dengan mudah. Kalaupun mereka harus tewas berkubang darah di sini, maka sudah menjadi tekad mereka semua untuk membawa sebanyak-banyaknya orang-orang Lawa Agung bersama mereka.

Keputusannya satu. Tidak ada satu orang pun yang akan bertempur di luar benteng. Mereka akan mempertahankan pintu gerbang benteng selama mungkin. Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana hanya akan mengawasi para tokoh Lawa Agung jika mungkin saja ada yang mencoba menyelusup masuk ke dalam benteng saat pertempuran berlangsung. Selain itu, Dewi Mulia Ratri akan lebih leluasa mengendalikan pasukan gaib yang akan dibangkitkannya jika tidak dalam kondisi bertarung.

Tokoh-tokoh yang harus diwaspadai adalah Panglima Kelelawar, Datuk Rajo Bumi, Panglima Amranutta, dan Putri Anjani. Mereka masing-masing mempunyai kemampuan membunuh secara massal, sekaligus juga bisa dengan mudah menyelusup masuk ke dalam benteng dengan cara melompat atau hal-hal lain yang tidak bisa diduga. Oleh karena itu Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana akan berkeliling benteng untuk memastikan tidak ada penyusup sakti yang masuk.

Hanya ada satu hal yang masih merisaukan pikiran semua orang. Bagaimana cara mengatasi Gendewa Bernyawa Putri Anjani? Pusaka itu sangat mengerikan untuk pertempuran besar-besaran seperti ini. Ratusan bahkan ribuan anak panah berapi bisa mengalir tak habis-habis menggempur pasukan Galuh Pakuan. Mereka harus memikirkan satu cara untuk mengatasi hal ini.

Arya Dahana akhirnya angkat bicara.

"Satu-satunya cara adalah merebut Gendewa Bernyawa itu dari Putri Anjani agar tidak bisa dipergunakan. Aku akan melakukannya. Tapi aku juga tidak mau pasukan Galuh Pakuan memanfaatkan pusaka ajaib itu. Benda itu terlalu merusak tatanan pertempuran."

Dewi Mulia Ratri mengrenyitkan alisnya.

"Bagaimana caramu merebut pusaka itu dari Putri Anjani, Dahana?"

Arya Dahana tersenyum tengil sembari mengedipkan sebelah mata kepada Dewi Mulia Ratri.

"Aku tahu beberapa cara untuk mengambil pusaka berbahaya itu Ratri. Tenang sajalah."

Dewi Mulia Ratri melengos memalingkan muka melihat cara Arya Dahana menjawab pertanyaannya. Gadis ini hanya bisa membayangkan satu pilihan saja untuk mengambil pusaka itu dari Putri Anjani. Kekerasan! Ya, itulah satu satunya cara! Tapi jawaban Arya Dahana tadi membuatnya berpikir tidak karuan. Mungkin yang disebut cara lain itu melalui rayuan. Huh! Dasar tengil dan mata keranjang!

Tidak sadar dengan kilatan mata marah gadis dari Sanggabuana itu, Arya Dahana kemudian berpamitan kepada semua orang untuk menjalankan tugasnya. Tugas yang berat. Tapi dia harus melakukannya. Benda pusaka itu terlalu berbahaya. Perang akan berjalan dengan tidak seimbang. Dia belum tahu bagaimana cara membujuk Putri Anjani untuk menyerahkan senjata itu sementara waktu. Dia tidak akan mengambil pusaka itu selamanya. Putri Anjani berhak memiliki, karena pusaka itu berjodoh dengannya saat perebutan di Ngobaran.

Fajar belum menjelang. Malam masih berkuasa. Ini memudahkan Arya Dahana yang dengan kepandaian tingginya menyelinap dari kepungan pasukan Lawa Agung. Dia tidak tahu dimana Putri Anjani berada. Tapi dia menduga pasti di suatu tempat di pinggir pantai, tempat para petinggi Lawa Agung berada.

Arya Dahana sadar. Tempat ini sekarang sedang bertebaran tokoh-tokoh sakti. Dia harus berhati-hati. Dikerahkannya semua kemampuan meringankan tubuh. Tubuhnya melayang dari pohon ke pohon dengan ringan dan tanpa suara. Begitu mendekati pantai, Arya Dahana turun dari atas pohon, kemudian berjalan mengendap-endap. Masih dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh tertinggi yang dia miliki.

Pantai Sukabumi seperti disiram matahari. Lampu-lampu besar dipancang sana sini oleh pasukan Lawa Agung. Arya Dahana sedikit tercekat hatinya. Bagaimana dia bisa mencapai sebuah kapal besar yang terang benderang, yang diduganya sebagai markas utama, sementara di setiap sepuluh meter, satu regu penjaga mondar mandir. Sehebat-hebatnya kesaktian seseorang, tidak mungkin bisa melewati penjagaan seketat ini. Dia harus mencari cara saat saat dimana Putri Anjani sedang sendiri.

Dan peluang yang sangat kecil didapatkannya secara ajaib. Sesosok bayangan berjalan pelan menuju tempatnya bersembunyi. Putri Anjani! Arya Dahana bersorak kegirangan dalam hati. Gadis ini berjalan tersaruk-saruk persis mengarah tempat Arya Dahana.

Arya Dahana bersiap-siap. Dia tahu, gadis itu tidak akan dengan sukarela menyerahkan gendewanya. Pemuda ini merogoh kantung bajunya. Sebuah ikat kepala menutupi muka cukup untuk menyembunyikan dirinya.

Putri Anjani berjalan sambil melamun. Saat terpisah dengan Arya Dahana kemarin siang, dia melanjutkan perjalanan ke timur. Namun di tengah jalan, gadis ini berubah pikiran. Lawa Agung sedang mengepung benteng Bantar Muncang. Dan dia sedang merayu Panglima Kelelawar untuk bergabung dalam persekutuan. Seharusnya dia mengambil hati mereka dengan membantu pengepungan itu. Tapi dia tidak boleh sendiri. Dia harus menunjukkan kepada Panglima Kelelawar bahwa persekutuan itu sangat kuat dan terdiri dari tokoh-tokoh hebat. Buru-buru dia mengerahkan kemampuan lari cepatnya agar bisa segera sampai di tempat gurunya di puncak Gunung Papandayan.

Begitu sampai di tempat gurunya. Putri Anjani terkejut saat melihat gurunya sedang bertarung dengan seseorang. Pertarungan yang hebat. Orang itu cukup bisa mengimbangi gurunya meskipun terdesak. Putri Anjani memekik kecil saat menyadari siapa yang sedang bertarung dengan gurunya. Mahesa Agni! Tokoh yang menjadi wakilnya di Persekutuan Pesisir Gugat.

Gadis ini dengan tergesa-gesa kemudian menghentikan pertarungan dahsyat yang sedang berlangsung. Sontak saja kedua tokoh tingkat tinggi itu kaget bukan kepalang. Adu kepandaian langsung terhenti. Putri Anjani meminta maaf kepada gurunya dan Mahesa Agni, lalu menjelaskan secara panjang lebar apa yang terjadi di tlatah kulon Jawa. Dia juga menjelaskan apa pentingnya membantu Lawa Agung bagi persekutuan.

Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni manggut-manggut mengerti sekaligus mengagumi kecerdikan gadis ini. Pertarungan yang terjadi di antara mereka juga terjadi karena kesalahpahaman belaka. Mahesa Agni sedang mencari muridnya yang sedang bertapa di Gunung Papandayan. Muridnya itu bernama Mahesa Sura. Dalam perjalanannya mencari Mahesa Sura, dia bertemu secara tidak sengaja dengan Datuk Rajo Bumi yang sedang mencari ramu-ramuan. Keduanya sama-sama tahu bahwa masing-masing berkepandaian tinggi. Seperti biasa, Datuk Rajo Bumi tidak akan melepaskan kesempatan untuk adu kepandaian jika bertemu dengan orang yang sekiranya bisa menandinginya. Dan terjadilah pertarungan tingkat tinggi yang disaksikan oleh Putri Anjani tadi.

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Putri Anjani, kedua tokoh itu setuju untuk ikut Putri Anjani menuju Bantar Muncang.

Gadis ini melanjutkan perjalanannya yang cukup melelahkan. Mereka disambut gembira oleh Panglima Kelelawar. Dipersilahkan istirahat di kapalnya yang besar dan dijamu sebagai tamu kerajaan yang terhormat hingga larut malam. Setelah semuanya hanyut di peraduan masing-masing, Putri Anjani tidak bisa tidur. Turun dari kapal dan berjalan jalan di pantai seorang diri. Dia sudah mendengar bahwa Arya Dahana ada di pihak Galuh Pakuan. Pemuda itu sangat sakti dan bisa menimbulkan kerusakan yang besar bagi Lawa Agung. Besok dia harus mencegah pemuda itu ikut campur dengan menggunakan ancaman hutang budi yang biasa dilakukannya selama ini.

Dia tidak boleh gagal memberikan keyakinan pada Lawa Agung tentang betapa pentingnya bersekutu. Arya Dahana tidak boleh menggagalkan semua ini. Pemuda itu mudah ditaklukkan dengan kata hutang nyawa dan hutang budi.

Sambil terus saja melamunkan apa yang akan terjadi besok, Putri Anjani semakin mendekati ujung pantai. Tidak menyadari bahwa di depannya telah bersiap-siap Arya Dahana menjalankan rencananya. Gadis ini baru tersadar ketika dia merasakan tubuhnya kaku terkena totokan dahsyat orang berilmu tinggi. Bahkan gadis ini bisa merasakan orang itu meraba-raba tubuhnya di bagian punggung.

Putri Anjani tercekat hatinya. Dia menjeritkan tangisan dalam hati dan mengutuk diri sendiri. Kenapa dia harus membawa-bawa Gendewa Bernyawa keluar malam-malam begini. Meskipun memang gendewa itu tidak pernah terpisah dari tubuhnya sedetikpun. Putri Anjani tidak bisa menggerakkan tubuh, namun masih bisa memperhatikan sosok tubuh bertopeng yang merampas Gendewa Bernyawa miliknya, saat orang itu membebaskan totokannya lalu berkelebat dan menghilang dengan cepat di kerimbunan pepohonan.

Gadis ini terhuyung sejenak setelah terbebas dari totokan. Dia berniat mengejar orang itu, namun tubuhnya terasa ngilu. Terutama bagian kakinya. Orang itu memang membebaskan totokannya, tapi akibat dari totokan hebat itu masih sangat berpengaruh terhadap kakinya.

Putri Anjani meneteskan airmata saking jengkelnya. Sambil membanting-banting kakinya, gadis ini berbalik menuju kapal. Besok dia akan meminta bantuan Panglima Kelelawar untuk membantunya mencari tahu siapa gerangan orang yang telah berani merampas gendewanya. Dia juga telah menghapal bentuk tubuh orang itu. Rasa-rasanya dia mengenal sosok orang itu. Laki laki yang dikenalnya. Dan juga bau tubuhnya! laki laki yang dikenalnya!

Arya Dahana kembali mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang paling tinggi untuk berlompatan dari pohon ke pohon. Dia tetap harus waspada. Banyak sekali mata-mata, telik sandi dan pasukan Lawa Agung di hutan hutan sekitar benteng Bantar Muncang.

Begitu sampai di dalam benteng dan menuju ke ruangan pertemuan, barulah Arya Dahana bernafas lega. Tugasnya sudah bisa diselesaikan. Paling tidak, besok pagi pasukan Lawa Agung tidak usah mengkhawatirkan kesaktian Gendewa Bernyawa. Pertempuran akan berjalan cukup adil.

Memasuki ruang pertemuan, ternyata semua orang masih berkumpul di situ. Rupanya Panglima Baladewa masih sibuk mengatur siasat untuk pertempuran esok hari. Memperhitungkan segala kemungkinan sambil mencari jalan keluarnya.

Semua orang menoleh ketika Arya Dahana memasuki ruangan. Semua tertuju pada gendewa yang terikat di punggungnya. Dewi Mulia Ratri tertegun, Panglima Baladewa menganga takjub, Bimala Calya dan Ardi Brata bahkan bertepuk tangan, yang juga diikuti semua panglima dan hulubalang yang hadir di tempat itu.

"Aaahh kau berhasil anak muda! Hebat! Apakah kau memerlukan tempat penyimpanan bagi pusaka hebat itu?"

Panglima Baladewa memandang kagum sambil berkata.

Arya Dahana menggelengkan kepala dan menyahut pelan.

"Terimakasih paman Panglima. Tapi tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Kelak aku harus mengembalikannya kepada Putri Anjani."

Wajah Dewi Mulia Ratri terlihat memerah mendengar ucapan Arya Dahana. Namun dia berhasil menyimpan semua perkataan yang hampir saja tersembur dari mulutnya. Biarlah. Toh yang paling penting pusaka itu tidak akan mengganggu jalannya pertempuran esok hari. Meskipun hatinya panas bukan main. Dia harus menahannya. Hmmm...pemuda ini hutang tamparan kepadanya.

Arya Dahana juga melihat perubahan wajah Dewi Mulia Ratri. Namun dia harus tegas. Pusaka ini akan dijaganya dengan taruhan nyawa. Terlalu berbahaya jika disimpan lalu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia sudah berniat dalam hati. Gendewa ini akan diserahkannya kembali nanti.

Pertemuan selesai. Semua siasat telah dipahami oleh semua panglima dan hulubalang. Saatnya untuk memberikan pemahaman kepada para prajurit yang sudah bersiaga di posnya masing-masing.

---

Fajar menyingsing dengan cepat. Kegelapan tertelan tanpa permisi. Suara kokok ayam yang pertama seperti sebuah pertanda dimulainya peperangan. Suara terompet bergemuruh kencang. Lalu disambung dengan teriakan-teriakan siaga dari para pemimpin pasukan. Desing anak panah berhamburan dari kedua belah pihak. Pasukan Galuh Pakuan tetap mendapatkan keuntungan karena posisi mereka di atas. Namun rupanya pasukan Lawa Agung juga bersiaga dengan baik. Ribuan perisai sudah disiapkan untuk memayungi mereka dari hujan anak panah.

Beberapa puluh orang pasukan Lawa Agung dengan dilindungi perisai perisai besar dan kuat, membawa gelondongan kayu besar berusaha mendobrak gerbang. Mereka berusaha keras membobol pertahanan benteng. Tapi pasukan Galuh Pakuan juga telah dipersiapkan dengan baik. Mereka tidak menghujani pasukan itu dengan anak panah. Tapi mengguyurnya dari atas dengan minyak. Lalu melemparinya dengan obor yang menyala. Kontan saja ini membuat kalang kabut para penyerbu gerbang benteng. Perisai-perisai besar itu terbuat dari kayu sehingga sangat mudah terbakar setelah disiram minyak.

Gagal. Penyerbuan pertama yang gagal untuk meruntuhkan gerbang benteng. Pasukan Lawa Agung rupanya tidak menduga bahwa pasukan Galuh Pakuan sudah bersiap sedemikian rupa.

Dari ujung jauh pelataran benteng, Panglima Kelelawar menyaksikan ini sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia berpikir bahwa penaklukan benteng akan mudah pagi ini. Ternyata tidak. Panglima benteng ini melakukan tugasnya dengan baik. Sementara, panglimanya sama sekali tidak melakukan tugasnya! Panglima Kelelawar menggeram marah.

Di samping sang Raja Lawa Agung, berderet berdiri dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. Panglima Amranutta, Nini Cucara, Raja Iblis Nusakambangan, Lima Kobra Benggala, Para Hulubalang, Putri Anjani, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Agni. Semuanya memahami kegeraman sang raja. Benteng ini sepertinya mudah direbut. Tapi ternyata sulit.

Panglima Amranutta berbisik di telinga Panglima Kelelawar. Mengundang anggukan dari sang raja. Panglima Kelelawar memandangi semua tokoh di sampingnya, lalu berhenti di Putri Anjani.

"Kita serang habis-habisan! Putri Anjani, kalau kau memang berniat untuk membuatku dan kerajaanku masuk dalam persekutuanmu, bantulah aku membongkar gerbang sialan itu!"

Putri Anjani mengomel dalam hati. Seandainya Gendewa Bernyawa masih ada padanya, tentu semua tidak akan serumit ini. Dia bisa menghajar para prajurit Galuh Pakuan di atas sana dengan mudah. Sekarang, Panglima Kelelawar menantangnya, mengujinya. Dia harus mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan sang raja.

Gadis ini menoleh kepada gurunya. Datuk Rajo Bumi paham apa arti tatapan muridnya. Tanpa banyak berkata, datuk ini mengangkat kedua tangannya ke atas lalu diayunkannya ke depan dengan cepat.

Mendadak tanah-tanah berumput di depan benteng seperti diguncang gempa dahsyat. Tanah-tanah itu terbelah lalu merekah. Mengerikan! Ratusan makhluk aneh bermunculan di sana. Pasukan gaib! Datuk Rajo Bumi membangkitkan pasukan gaib.

Ratusan pasukan gaib itu berduyun-duyun menuju ke gerbang. Tujuannya jelas. Menghancurkan pintu gerbang. Pasukan penjaga berpanah di atas benteng mengetahui hal ini. Ratusan anak panah kemudian berhamburan menyerang pasukan gaib. Tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Meskipun puluhan anak panah menancap di tubuh-tubuh pasukan gaib itu, mereka tetap maju. Satu-satunya kelemahan pasukan gaib adalah dengan menebas lehernya. Itu artinya harus berhadapan dan bertarung langsung.

Pasukan gaib sudah sampai di gerbang. Kemudian mulai menggedor-gedor gerbang raksasa yang sangat kokoh itu kuat kuat. Pintu gerbang itu berguncang-guncang. Tenaga fana para pasukan gaib itu memang luar biasa. Panglima Baladewa yang melihat dari atas benteng, cemas bukan main. Ini berbahaya! Pintu benteng itu bisa jebol lama-lama. Panglima ini menoleh ke arah Dewi Mulia Ratri.

Gadis ini mengangguk. Gadis ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi menghadap langit. Diayunkannya ke bawah secepat kilat. Terdengar gemuruh dari arah hutan. Begitu suara gemuruh itu menghilang, muncullah ratusan pasukan gaib lain dari dalam hutan dan langsung menyerbu pasukan gaib Datuk Rajo Bumi yang sedang berusaha terus merobohkan pintu gerbang benteng.

Berkecamuklah pertempuran aneh dan mengerikan di depan pintu gerbang benteng. Dua pasukan gaib itu saling hantam dengan dahsyat. Datuk Rajo Bumi terperanjat bukan main. Ini lawan yang setanding!

Melihat ini, kegembiraan Panglima Kelelawar luntur dengan cepat. Dia tadi sudah berharap pintu gerbang itu bisa dirobohkan. Tidak tahunya ada pengganggu pasukan gaib Datuk Rajo Bumi. Tidak mungkin lagi berharap kepada pasukan gaib untuk meruntuhkan pintu gerbang. Mereka sibuk bertempur melawan pasukan gaib yang datang dari hutan.

Raja Lawa Agung ini menjadi tidak sabaran lagi. dia memberikan isyarat kepada para pembantunya untuk bergerak maju. Berkelebatan berturut-turut Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta, Raja Iblis Nusakambangan dan yang lainnya menuju gerbang. Yang tertinggal di tempat semula hanyalah Datuk Rajo Bumi yang masih berusaha keras mengendalikan pasukan ciptaannya untuk melayani ciptaan Dewi Mulia Ratri.

Sambil berlari cepat, mereka harus menangkis dan menahan hujan anak panah yang berjatuhan tanpa jeda dari atas benteng. Tentu saja ini merepotkan. Ini memperlambat lari mereka.

Sesampainya di depan pintu gerbang, telah menghadang Arya Dahana, Ardi Brata dan Bimala Calya. Tanpa ba bi bu lagi, dengan dibantu Panglima Amranutta dan Raja Iblis Nusakambangan, Panglima Kelelawar menerjang Arya Dahana. Pemuda inilah yang paling tangguh di antara semuanya. Dia pernah dikalahkannya. Dengan dikeroyok bertiga, Panglima Kelelawar berharap pemuda ini cepat dikalahkan.

Ternyata tidak semudah yang dikira. Arya Dahana yang langsung mengerahkan ilmu pukulan Geni Sewindu dan Bayangan Matahari. Diselingi pula dengan pukulan Busur Bintang, sanggup menahan pengeroyokan itu dengan baik. Satu hal yang tidak disadari oleh Arya Dahana adalah, tenaga pukulannya meningkat karena ada Gendewa Bernyawa di punggungnya. Inilah yang membuat pemuda ini sanggup menahan pengeroyokan dahsyat dari tiga tokoh luar biasa itu.

Mahesa Agni ambil bagian dalam pertempuran dengan menyerang Ardi Brata. Kontan saja, pendekar terpelajar ini kalang kabut diserang tokoh sekelas Mahesa Agni. Dia hanya mampu bertahan. Namun perlahan-lahan juga terdesak.

Bimala Calya diserang oleh Hulubalang Kelabang dan Hulubalang Sanca. Gadis yang belum terlalu lama menguasai ilmu-ilmu dari Ki Biantara ini sanggup mengimbangi pengeroyokan dengan cukup baik.

Hulubalang yang tersisa berikut Lima Kobra Benggala mengambil gelondongan kayu besar yang tertinggal di situ lalu mulai menghantamkannya ke pintu gerbang. Pasukan panah Galuh Pakuan di atas benteng tidak bisa lagi menghujani musuh dengan panah. Khawatir itu akan mengenai Arya Dahana dan kawan-kawan. Mereka hanya bersiap dan berjaga-jaga jika sewaktu waktu pintu gerbang itu runtuh dan pasukan Lawa Agung membanjir ke dalam.

Sepertinya itu mendekati kenyataan. Gerbang yang kokoh itu sedikit demi sedikit mulai bisa digoyahkan karena besarnya tenaga Lima Kobra Benggala dan para Hulubalang. Panglima Baladewa di atas semakin khawatir. Andalan Galuh Pakuan terdesak di mana-mana. Kecuali Arya Dahana yang masih bisa mengimbangi keroyokan dengan baik.

Putri Anjani sedari tadi belum ikut terjun ke dalam pertempuran. Dia hanya terpaku dan terbelalak melihat Arya Dahana yang dilihatnya menggendong Gendewa Bernyawa miliknya di punggung. Hmmm...jadi pemuda inilah yang tadi malam merampas pusakanya! Hanya saja dia tidak tega untuk terlibat pengeroyokan kepada Arya Dahana. Dia akan menunggu kesempatan baik untuk merebut Gendewa Bernyawa tanpa membahayakan keselamatan pemuda itu. Dia sangat marah kepada Arya Dahana. Tapi dia membutuhkan tenaga pemuda itu untuk menjaganya saat terjadi perang melawan Majapahit nanti.

Dan terjadilah! Bersamaan dengan terpelantingnya Ardi Brata oleh pukulan Mahesa Agni, dan robohnya Bimala Calya terluka parah terkena pukulan Hulubalang Sanca, roboh pula pintu gerbang Benteng Bantar Muncang. Ribuan pasukan Lawa Agung bergelombang menyerbu ke dalam benteng. Disambut oleh ratusan pasukan Galuh Pakuan yang dengan gagah berani meladeni.

Pecahlah pertempuran terdahsyat sepanjang beberapa hari ini. Para prajurit saling beradu tombak dan pedang. Suara ringkik kuda dan denting senjata menyertai berperciknya berliter-liter darah yang tumpah dari kedua belah pihak. Pasukan Galuh Pakuan benar-benar bertahan dengan gagah berani. Hingga tetes darah terakhir bagi mereka tidak ada keberatan sama sekali demi sebuah kebanggaan membela kerajaan yang dijunjungnya.

Memang luar biasa semangat para prajurit Galuh Pakuan di benteng Bantar Muncang ini. Sudah ratusan orang tewas, namun mereka juga berhasil membuat korban yang tidak sedikit di pihak Lawa Agung. Panglima Baladewa sendiri gugur di tangan Lima Kobra Benggala yang mengeroyoknya.

Hari sudah menjelang sore saat pertempuran sudah mendekati akhir. Para prajurit Galuh Pakuan benar-benar sama sekali tidak mau menyerah. Hanya tertinggal puluhan orang, namun mereka tetap melawan. Dan pada akhirnya, semua prajurit benteng Bantar Muncang gugur berkalang tanah.

Di manakah Dewi Mulia Ratri berada? Setelah beradu sihir dengan Datuk Rajo Bumi mengendalikan pasukan-pasukan gaib. Lalu melihat betapa benteng ini sudah mendekati kehancuran, Dewi Mulia Ratri ikut terjun dalam pertempuran membantu Arya Dahana. Namun sebelumnya, dengan kehebatan ilmu kesaktiannya, pendekar wanita tangguh Galuh Pakuan ini menyambar tubuh Ardi Brata dan Bimala Calya sekaligus dan menyembunyikannya dalam hutan. Barulah setelah itu dia kembali untuk membantu Arya Dahana yang masih dikeroyok dengan hebat oleh Panglima Kelelawar, Panglima Amranutta dan Raja Iblis Nusakambangan.

Dewi Mulia Ratri sangat kagum melihat pemuda yang dikasihinya itu tidak terdesak sama sekali. Mampu bertahan dan mengimbangi serangan-serangan para pengeroyoknya dengan baik. Gadis ini langsung menyerang Panglima Amranutta untuk mengurangi beban Arya Dahana.

Namun usahanya dihadang oleh Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani. Guru dan murid itu bersama-sama mengeroyoknya dengan dahsyat. Melihat ini Arya Dahana melompat tinggi menghindari serangan sampai akhirnya bersisian dengan Dewi Mulia Ratri. Dua muda-mudi ini kemudian terlibat pertarungan yang luar biasa melawan para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang luar biasa. Dua orang ini terdesak hebat. Apalagi Mahesa Agni juga ikut terjun dalam pertarungan dahsyat itu.

Arya Dahana telah mengerahkan semua kemampuannya dengan memainkan ilmu pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang berbarengan. Dewi Mulia Ratri juga telah mengerahkan ilmu pukulan Gempa Pralaya. Tetap saja mereka berdua terdesak hebat. Meskipun terdesak, Arya Dahana masih sempat melukai Raja Iblis Nusakambangan yang buru-buru meninggalkan pertarungan untuk memulihkan diri setelah pundaknya terhantam pukulan Busur Bintang.

Petang kini mulai menjelang. Sinar matahari sudah tidak ramah lagi pada bumi. ini menguntungkan bagi Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Pemuda ini berbisik menggunakan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh.

"Ratri, keluarkan semua pukulan pamungkasmu. Kita kejutkan mereka. Lalu kita harus segera pergi. Malam akan membantu kita melarikan diri...."

Dewi Mulia Ratri memberikan isyarat mengerti. Gadis ini langsung saja menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah menggunakan ilmu Gempa Pralaya. Disusul Arya Dahana menghantamkan pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang secara bersamaan. Akibatnya luar biasa! Bumi berguncang hebat. Larikan besar sinar keperakan dan kehijauan bersatu menjadi sebuah sinar berwarna jingga yang berhawa sangat aneh, menghantam ke arah para pengeroyok.

Melihat kedahsyatan ilmu-ilmu pukulan tertinggi dari dunia persilatan itu. para pengeroyok melompat mundur jauh ke belakang. Kesempatan ini digunakan Arya Dahana menarik lengan Dewi Mulia Ratri dan melesat lenyap dari tempat pertempuran banjir darah itu.

Malam benar-benar menyelamatkan mereka berdua. Para pengeroyok yang jerih melihat betapa dahsyat pukulan mereka berdua tadi, mengurungkan niat untuk mengejar. Terlalu berbahaya untuk mengejar dua orang sakti luar biasa di kegelapan malam.

Namun Panglima Kelelawar tidak terlalu kecewa. Dia mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya. Menaklukkan benteng Bantar Muncang, menguasainya, dan kelak akan menjadi benteng terdepan untuk menyerbu ibukota Galuh Pakuan. Raja Lawa Agung ini kemudian mengumpulkan para pengikutnya dan memerintahkan untuk mengumpulkan tumpukan mayat di dalam benteng. Dikeluarkan di pelataran benteng dan membakarnya.

Suara gemeretak api yang membakar tubuh-tubuh tak bernyawa prajurit gagah berani itu seperti suara raungan serigala yang sedang berduka karena kehilangan anak-anaknya. Begitu miris dan menggigilkan hati. Mengirimkan asap yang bergulung-gulung ke angkasa. Membawa pesan kepada langit bahwa pertempuran antar manusia tidak akan pernah usai sampai zaman akhirnya menelan semuanya menjadi abu saat hari penghakiman tiba.

Kisah Air dan Api-Cinta Abadi Air dan Api

Setelah bermasa masa mendarahi petualangan

Air semakin mendekati muara

Api semakin mendekati perapian

Membawa bunga tujuh rupa dalam kendi

Membawa bara bara tak pernah mati

Seperti cintanya yang abadi

****************************T A M A T*********************************

Bersambung ke Buku-4 Kisah Air & Api; Cinta Abadi Air dan Api