webnovel

Surat

"Bagaimana kalau lo yang salah, dan justru malah lo sendiri yang nantinya menyesal." Ucap Melani dengan nada angkuh.

Bagaimana tidak, seseorang menyuruhnya untuk menggantikan posisinya hanya untuk memutuskan sebuah hubungan.

"Gue gak pernah ketemu dengan orang itu, dan demi apapun itu. Gue juga gak akan tertarik." Weni berucap dengan nada meyakinkan. Melani kembali melirik jam tangannya, "Lima menit lagi."

"Hah..." Weni mendengus kesal, karena Melani benar-benar menghitung waktu yang ia berikan, hanya untuk membahas dengan singkat persoalannya.

"OK, seorang pria tentunya. Usia dua puluh dua tahun. Mengenyam pendidikan S1nya di Singapura, mengambil jurusan tekhnik sipil. Anggap saja sebuah perjanjian antara kedua keluarga yang masih bersifat kolot. Dan tenang saja, pada dasarnya kedua orang tua kami hanya berteman." Weny mulai menjelaskan.

"Kami tidak pernah bertemu sebelumnya, lo cuman cukup mengatakan kalau lo hanya ingin perjodohan ini di batalkan. Pertama karena umur gue masih muda, kedua karena gue juga udah punya pacar." Lanjut Weny.

"Apa? Semudah itu? Gue rasa lo bisa lakuin itu sendiri bukan?" Ucap Melani masih mencoba memahami tugas yang akan diberikan oleh Weny.

"Masalahnya gak semudah itu, gue udah pernah coba waktu gue telpon dia untuk pertama kalinya. Dan dia bilang, itu semua bisa digagalkan kalau gue bisa ngalahin dia dalam permainan adu pintar." Weni mendelikkan matanya saat menjelaskan, karena dia sendiri tidak percaya ada hal seperti itu.

"Asal lo tau Lani, dia termasuk lulusan terbaik di universitasnya, semenjak SMA dia juga sudah bersekolah di Singapura."

Weny berhenti sesaat, dan melihat reaksi Melani yang masih datar. "Yang gue tau, dia itu pastinya freak dan seorang kutu buku. Entah permainan kepintaran apa yang akan dia lakukan nanti."

"Dan gue menceritakan ke Wenny, soal kamu Lani. Gue bilang, kalau kamu itu sebenarnya orang yang pintar dan cerdas. Dan pastinya bisa bantu Weny, untuk hadapin pria kutu buku itu." Rika menambahkan cerita temannya.

Melani melirik ke arah jam tangannya, "Waktu habis." Ucap Melani seraya mengambil buku dari tasnya dan menyobekkan kertas dengan asal, Melani langsung menuliskan sesuatu pada secarik kertas tersebut.

"Ini alamat email gue, tolong lo send email ke email gue, nanti gue kirim contractnya. Dan itu pun setelah kita deal mengenai biayanya." Ucap Melani sambil bangkit dari duduknya, dan dengan cepat sudah berlalu dari mereka berdua.

***

"Kak Lani..." anak laki-laki berumur empat belas tahun memanggilnya, dan ini bukan panggilan yang pertama kalinya.

"Ahh... iya maaf Doni." Ucap Melani yang sudah sadar dari lamunannya. Ia masih saja mengingat percakapan terakhirnya dengan Weni dan Rika.

Biasanya, orang-orang yang menemuinya meminta bantuan untuk mengerjakan tugas sekolah, ujian, bahan presentasi. Apapun itu yang berhubungan dengan kepintarannya, tapi kali ini sedikit berbeda. Ya dia masih akan menggunakan kepintarannya, tapi untuk melawan seorang pria yang sebenarnya juga bukan menjadi urusannya.

Tapi Weny menawarkan nominal yang fantastis hanya untuk sebuah penolakan, lima juta terbayang-bayang di pikirannya.

"Gilaa.." Ucap Melani tiba-tiba, dan lupa kalau Doni murid bimbelnya sedang memperhatikannya sedari tadi.

"Siapa yang gila kak?" Tanya Doni heran, dan mulai memilin-milin pensilnya sendiri.

"Ahh Doni, maafkan kakak ya. Coba kaka lihat soal yang kamu kerjain tadi." Melani langsung fokus pada anak didiknya, mulai mengecek kembali jawaban Doni satu persatu.

Setelah selesai melakukan bimbel dengan Doni, Melani pun berpamitan. Tidak lupa ia berpamitan dengan Ningsih, ibu dari Doni.

Ningsih langsung saja menyambut Melani yang ingin berpamitan, tangannya sudah memegangi amplop putih yang ia lipat dengan kecil.

"Lani, sebentar. Ini bayaran untuk bulan ini." Ningsing langsung menempelkan amplop tersebut ke tangan Melani, "Minggu depan kan Doni sudah ujian, kamu juga ujian bukan? Nanti kita lanjut lagi setelah semester baru dimulai ya." Ucap Ningsing dengan ramah.

Melani pun menunduk dengan hormat, dan mengucapkan terimakasih kepada Ningsih. Baru saja Melani berada di luar gerbang rumah Doni dan ingin memesan ojek online. Seorang pria sudah mendekatinya, dan tersenyum-senyum tidak jelas.

"Lani, gue antar lo pulang ya?" Ajak Kenzo tampak malu-malu, "Gak perlu Ken, aku naik ojek aja." Tolak Melani halus.

"Hmm.... kalau lo tolak, lo harus ketemu sama nyokap gue." Tunjuk Kenzo ke dalam arah rumahnya.

Terlihat Ningsih memberikan senyuman lebar, dan memberika jempol ke arah putra dan tutor anaknya. "Lani, kamu diantar Kenzo aja ya.. sudah mau maghrib." Teriak Ningsih dari dalam rumah, Melani pun tidak berani untuk berteriak dan mengatakan tidak.

Hati Kenzo berbunga-bunga, sepanjang perjalanan senyumnya selalu merekah. Karena berhasil mengantar Melani untuk pulang.

"Ken..?" Panggil Melani dari kursi penumpang.

"Ya..?" Ucap Kenzo terlalu lembut dan membuat Melani menjadi bergidik dan aneh.

"Kamu tau kan Supermarket yang ada atmnya, di seberang jalan itu."

"Ya.. aku tau Lan, kenapa?"

"Aku mau mampir sebentar ya, bolehkan? Kamu gak ngerasa direpotin kan."

Kenzo pun mengantar Melani ke supermarket yang dimaksud. Tidak perlu menunggu lama, Melani sudah keluar dan membawa satu kantong plastik belanjaan.

"Bukannya kamu punya warung sembako ya Lani?" Tanya Kenzo.

"Ohh.. ini maksud kamu (Mengangkat belanjaannya sendiri), aku beli roti kesukaan adikku Adit." Jawab Melani, padahal belanja roti hanyalah sebuah alasan. Melani hanya ingin melakukan tarik tunai, dan tidak mau terlalu mencolok dihadapan Kenzo.

Tidak lama Melani dan Kenzo tiba di depan rumahnya, Melani melihat Adit yang sedang duduk di teras dan berpangku tangan. "Ada apa ya?" Batin Melani, karena biasanya jam sore Adit adalah bermain di kamar atau menonton acara kartun kesayangannya.

"Ken, terimakasih ya. Sudah antar sampai rumah." Ucap Melani sungguh-sungguh. "Oh iya ini untuk kamu Ken, anggap saja ini ucapan terimakasih dari aku." Melani menyodorkan cokelat yang ia beli di supermarket tadi.

"Lani, aku juga punya sesuatu untuk kamu." Kenzo tampak lebih malu-malu dari sebelumnya, tangannya sudah dengan cepat merogoh saku jaketnya. Dan sebuah kotak merah kecil ia sodorkan ke arah Melani.

"Apa ini?" Tanya Melani bingung, dan belum mau menerima pemberian dari Kenzo.

"Mmm...anggap ini hadiah. Dan bukanya nanti aja ya." Jawab Kenzo. Melani pun dengan terpaksa menerima pemberian Kenzo. Kotak merah itu mungkin berukuran 10x10cm, Melani belum bisa menebak apa isi dan maksud dari Kenzo memberikannhya hadiah. Pikirannya masih memikirkan adiknya yang berada di teras rumah.

Selesai berpamitan, Melani langsung menghampiri adiknya. Adit sedang membaca buku pelajarannya. Ia sudah menyadari kehadiran kakaknya, saat baru turun dari motor Kenzo, dan berbincang-bincang sebentar dengan pria tersebut.

("Siapa kak? Pacar baru kakak ya?") Ucapan Adit lebih mengarah ejekan ketimbang pertanyaan,

("Bukan... itu bukan pacar) sanggah Melani dan Adit hanya merespon dengan tersenyum tidak percaya.

("Kok kamu ada di luar? Kenapa? Oh ya kakak belikan kamu roti kesukaan kamu.") Ucap Melani dan mengeluarkan roti dari plastik bawaannya. Adit pun menerima dengan senang hati, ia langsung memeluk roti pemberian kakaknya.

("Bunda sudah pulang, dan tidak lama bertengkar dengan ayah") Adit menggerakkan tangannya memberitahukan kepada Melani, raut wajah Adit terlihat sedih.

Langsung saja Melani memeluk adiknya dengan erat.

("Maaf ya, harusnya tadi kakak ajak kamu bimbel sama doni.") Melani menatap warung kecil yang tidak jauh dari teras mereka, melihat ayahnya yang sedang menatap mereka berdua.

Mata Melani terlihat tidak ramah ketika ayahnya masih terus menatap dengan tajam.

("Kita kedalam yuk, besok kakak mau belikan kamu tas baru."), raut wajah Adit langsung terlihat bahagia. Ia pun menuruti Melani yang mengajaknya untuk membantu menyiapkan makan malam.

Melani sesaat menatap pintu kamar ibunya, dan hanya bisa menghela nafasnya. Mencoba untuk tetap bertahan dan harus terlihat tegar di hadapan adik-adiknya. Hanya itu yang dia bisa lakukan saat ini.

Makan malam itu berlangsung dengan sunyi, tidak ada obrolan antara sesama anggota keluarga. Masing-masing diam dan larut dalam pikiran masing-masing.

Fani sudah tiba sebelum jam makam malam, dia pun tidak banyak berbicara. Selesai makan malam, Fani membantu Melani merapikan sisa-sisa piring dan gelas yang harus dibersihkan.

"Fan.." Ucap Melani yang sudah menyelesaikan piring terakhir untuk dibilas. Melani melap tangannya, dan duduk di meja makan. Kali ini ruang dapur hanya terdapat mereka berdua, Adit sudah kembali ke kamarnya untuk mengerjakan perkerjaan rumah. Orang tua mereka, sudah kembali dengan kesibukan masing-masing.

"Ya? Kenapa kak?" Ucap Fani membalikkan badannya, tangannya memegangi teh hangat yang ia buat sendiri untuk dirinya sendiri.

"Kakak mau teh?"

Melani menggeleng, dan tersenyum memandang wajah adiknya. "Bisa duduk sebentar, kakak mau ngobrol." Ajak Melani dengan nada suara yang penuh kelembutan, berharap adik perempuannya tidak berontak ataupun marah.

Melani sadar, belakangan ini sikap Fani berubah. Labil, gampang emosi, berdiam diri, dan yang lebih mengagetkan adalah ketika Melani tanpa sengaja menemukan sebuah surat peringatan dari sekolah tempat Fani belajar.

Surat peringatan tersebut mengatakan, bahwa Fani sedang diskors selama dua minggu akibat perbuatan dan tingkah laku yang mengganggu ketertiban sekolah. Sebagai kakak tentunya Melani terkejut dan khawatir, karena selama dua minggu ini Fani tidak mengatakan apapun dan setiap harinya selalu pamit untuk berangkat ke sekolah.

Jadi kemana Fani selama ini? Sedangkan dia sedang diskors? Dan kenapa Fani harus menutupi surat peringatan tersebut, Melani harus mencari tau. Dan dia sadar, tidak akan berhasil kalau dia menunjukkan emosi di depan adiknya.

Fani menarik kursinya, dan masih memegangi gelas teh. Pelan-pelan Fani meniupkan udara ke arah gelasnya yang masih panas.

"Kakak mau tanya, kamu ada masalah apa di sekolah?" Tanya Melani, dan raut wajah Fani langsung berubah. Kelihatan sekali kalau dia merasa panik, apakah kakaknya tau kalau dirinya sedang diskors?

Melani menggenggam tangan kiri Fani yang tidak memegang gelas, "Kalau kamu gak mau cerita sekarang juga gak apa-apa. Asal kamu tau kakak sayang sama Melani dan Adit, kakak berharap kamu bisa dengan bebas bercerita apapun pada kakak."

Fani masih tertunduk dengan bingung, masih berpikir penjelasan apa yang harus ia berikan kepada kakaknya. Melani menggeser duduknya, dan kini berada di samping Fani. Ia pun merangkul adiknya, dan semakin mengeratkan pegangannya. Mata Fani mulai berkaca-kaca, sepertinya ia sudah tidak bisa menahan semuanya.

"Kakak tau keluarga kita tidak sempurna, tapi jangan sampai hubungan persaudaraan kita hancur hanya karena keluarga kita yang tidak sempurna."

Fani sudah tidak bisa menahannya, isak tangis keluar dari matanya. Ia membenamkan wajahnya pada pundak kakaknya. Melani semakin merangkul adiknya, dan ia membelai lembut kepala adiknya.

Suara tangisan adiknya sangat memilukan hatinya. Melani sendiri tidak tau apa yang sudah dialami oleh adiknya, pastinya itu adalah hal yang sangat berat. Sampai-sampai adiknya menahannya sekuat itu.

Fani yang sudah puas dengan isak tangisnya, sudah berbaring dengan lelah di atas tempat tidur. Ia menyelimuti adiknya, dan melihat wajah Fani yang masih terlihat sembab.

Kembali Melani menghela nafasnya dan menatap dinding kamarnya, tatapannya memang kosong. Tapi pikirannya sedang berkecamuk, memikirkan semua yang terjadi pada diri dan keluarganya.

Melani menatap tasnya, tiba-tiba dia teringat dengan pemberian Kenzo. Melani mengeluarkan kotak merah, menatapnya sesaat sebelum dia memutuskan untuk membukanya.

Dengan hati-hati Melani membuka kotak merah tersebut, melani bisa melihat sebuah parfum berwarna pink dikemas dengan botol kaca yang unik.

"Parfum?? Untuk apa Kenzo memberikannya parfum?"

Melani juga melihat ada sepucuk surat yang tersemat diantara pita yang melilit parfum tersebut. Melani semakin aneh dan tiba-tiba ia bisa menebak apa isi surat tersebut.

_____________________________________________

Untuk Melani – Sang Gadis es (Melani langsung menaikkan dahinya, padahal baru membaca barisan pertama)

Hai Lani, aku harap kamu bisa menyukai parfum yang aku berikan. Dan jika kamu gak suka, mohon jangan dibuang.

Sebenarnya, aku selalu punya keinginan untuk ngobrol sama kamu dan mengenal kamu lebih jauh. Tapi sepertinya kamu lebih sering mengobrol dengan Doni, ketimbang dengan aku yang teman satu kelasmu.

Aku berharap kita bisa menjadi seorang sahabat, dalam arti sebenarnya. Aku tidak tau kenapa kamu selalu bersikap menjauh dengan siapapun, tapi aku justru semakin penasaran untuk bisa mengenal dan bisa lebih dekat denganmu.

Entah kapan perasaan itu muncul, tanpa aku sadari aku semakin menjadi menyukaimu. Mungkin aku mulai jatuh cinta ketika melihat kau sedang serius mengerjakan soal ataupun belajar. Mungkin juga ketika kau selalu menyibukkan diri di perpustakaan pada saat jam istirahat, atau mungkin karena kau yang tidak pernah tersenyum.

Tapi aku bisa melihat senyumanmu ketika kau bersama dengan adikku Doni.

Maaf jika aku mengungkapkan perasaanku terlalu cepat, sampai ketemu besok di sekolah

(He??? Melani semakin mengernyit dengan sebuah tanda tanya yang besar dalam pikirannya)

______________________________________________

Melani memasukkan kembali parfum dan surat ke dalam kotaknya, jujur ia tidak begitu peduli. Kenzo memang siswa yang baik. Tapi untuk urusan percintaan, bukanlah waktu yang tepat untuknya saat ini.

Melani mengambil laptopnya, dan sebenarnya laptop tua lungsuran dari kakaknya Rangga. Ia langsung membuka emailnya, dan melihat satu pesan masuk. Weni sudah mengirimkan email kepada dirinya.

Perlahan Melani mulai membuka attachment yang dikirimkan Weni, mulai membaca hati-hati setiap permitaan klientnya. Weni pun sudah menyetujui dengan nominal biaya yang telah disepakati, Melani pun tersenyum senang, dan puas.

Kembali ia melirik ke arah adiknya, memastikan Fani sudah tertidur dan tidak mengetahui pekerjaan sampingan yang selama ini ia kerjakan.

Next chapter