Bel tanda masuk telah berbunyi. Terdengar suara guru piket memberi aba-aba dari dalam kantor, menyuruh agar seluruh siswa-siswi yang masih berada di luar untuk segera memasuki ruang kelasnya masing-masing, dengan menggunakan pengeras suara.
"Jam istirahat telah selesai, semua siswa harap memasuki ruang kelasnya masing-masing! Jangan adalagi yang berkeliaran di luar. Tunggu gurunya di kursi masing-masing dengan tenang! Woi Parlin, ngapain lagi kau di situ. Masuk kau cepat! Ku tempeleng nanti kepala kau!" Suara Pak Je Black terdengar lantang memberikan peringatan kepada Parlin yang masih berdiri di luar. Dia masih merasa takut untuk masuk. Sebenarnya, takut bercampur malu juga. Itulah yang membuat dia ragu.
Anak yang selama ini terkenal pemberani dan tidak takut kepada siapapun, hari ini telah menemui sedikit kelemahannya. Ternyata, dia memiliki rasa takut juga. Lucunya, dia merasa takut kepada anak perempuan yang bernama Atika. Padahal, raut wajah Atika itu sangat menyenangkan dan tidak menakutkan sama sekali. Tapi, kenapa Parlin merasa ketakutan? Apakah sekarang dia mulai merasa khawatir, takut jika sampai status sosial orang tuanya akan terbongkar dan menjadi viral di area sekolahan? Entahlah. Yang pasti, hari ini Parlin sedikit mengerti bahwa tak ada manusia yang sempurna.
*
"Hari ini kamu bawa apa?"
David sudah menunggu Sari yang baru saja memasuki pintu pagar sekolah. Tadi David nggak sempat sarapan pagi berhubung ibunya pergi ke luar kota. Dia hanya di titipkan ke petugas piket saja hanya untuk sekedar memantaunya. Karena mereka tinggal di sekitar kompleks rumah dinas polisi, jadi bisa dijamin aman sembilan puluh persen.
"Saya bawa lupis, kamu mau?" Sari menawari sembari terus berjalan menuju ruangan mereka menuntut ilmu. David juga kini berjalan sejajar dengannya.
"Lupis?" Kening David mengernyit dengan mengulang kata lupis. Lupis itukan yang bentuknya segi tiga dan kalau dipegang suka lengket-lengket. Yang sering di jual sama lontong. Otak David mulai traveling. Karena dia juga sering mendengar ibu muda di sebelah rumahnya sering mengomel memarahi anaknya yang masih kecil agar menutup lupisnya. Anak kecil itu suka berlarian ke luar rumah tanpa busana untuk mencari perhatian.
"Iya, kenapa? Kamu nggak suka lupis?"
"Suka, suka, suka," jawab David cepat. Takut kalau Sari nanti berubah pikiran atau malah merajuk. Perempuan suka bawa perasaan kalau kurang dapat perhatian. Kan bisa rugi nggak dapat sarapan lupis gratis. Padahal, David sangat jarang sekali makan lupis, entah kenapa ibunya nggak pernah beli.
Dan yang paling penting, David bisa sarapan bareng lagi sama Sari. Entah kenapa, akhir-akhir ini perasaan David berbeda jika dekat dengan Sari. Dia bisa mengetahui lebih banyak hal-hal yang menakjubkan di luar sana jika mendengar cerita dari Sari. Seperti main layangan misalnya, memancing ikan di sawah, buat terompet dari batang padi dan banyak lagi. Imajinasi David seketika traveling bebas dan berkeliaran kemana-mana membayangkan apa yang di ceritakan oleh Sari yang sehari-hari bermain di sawah. Apalagi saat musim menjelang panen padi tiba. Sari hampir setiap hari selepas pulang sekolah akan pergi ke sawah buat membantu neneknya.
"Ini juga terbuat dari beras, kan?" tanya David setelah menyantap sepotong lupis yang diberikan Sari.
"Iya, tapi berasnya beda. Namanya beras pulut."
"Beras pulut? Bedanya apa?"
"Rasanya lebih gurih!"
"Ooo, berarti nasi gurih itu, terbuat dari beras pulut juga?"
"Bukan, bukan. Kalau nasi gurih ya tetep dari beras biasa."
"Tapi rasanya kok gurih?" tanya David serius.
"Ya ampun, Vid! Kamu kok bego amat jadi makhluk, sih. Masa gitu aja nggak tau?"
"Abisnya belum kamu kasi tau sih," jawab David serius.
"Kalo nasi gurih itu, beras biasa di tambahin santan, lho. Masak kamu nggak pernah denger?" David menggeleng.
"Kamu bisa membuatnya?"
"Ya bisa lah, kan aku sering bantuin Simbah buat masak."
"Kalo gitu, besok aku pesan di buatin ya nasi gurih. Aku pengen nyicipin masakan kamu!"
Dengan senang hati, Sari mengangguk cepat tanda setuju ingin membuatkan nasi gurih pesanan David. Padahal, David hanya minta bukan mau beli. Tapi buat Sari betapa bahagianya saat merasa dirinya dibutuhkan oleh seseorang. Sedangkan di rumah sendiri, sebenarnya Sari nggak begitu merasa di butuhkan. Semua-semua meski si Mbah yang ngerjain sendiri. Bukannya tak ingin membantu, tapi Mbah Legi selalu melarang jika dia berkeinginan meringankan beban Mbah Legi.
"Sudah biar simbah aja yang ngerjain. Kamu cuci tangan, cuci kaki pergi saja tidur sana!" Perintah Mbah Legi saat Sari ingin membantu sekedar mencuci piring bekas makannya.
*
"Namboru! Kalo masak nasi gurih itu, caranya bagaimana?" tanya Sari kepada ibunya Parlin.
"Tinggal di tambahin santan aja, kenapa rupanya?"
"Mau belajar aku, Namboru!"
"Kenapa nggak belajar sama Simbah?"
"Jangan Namboru, nanti Simbah yang masak sendiri. Sedangkan ini tugas dari sekolah, Sari harus praktek sendiri. Bisa Namboru mengajarin Sari kan?" Sari tampak memelas kepada Namboru Sirait, ibunya Parlin. Apalagi, demi David dia terpaksa berbohong, padahal kepada David tadi siang, dia juga sudah berbohong. Dan nanti, dia akan berbohong lagi kepada Mbah Legi. Dan kebohongan itu akan terus berlanjut untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang sudah-sudah. Padahal dia tahu sendiri kalau bohong itu adalah dosa.
"Baiklah," jawab Namboru Sirait mengalah. "Kapan kamu akan melakukannya?"
"Kalau sekarang, bagaimana Namboru?" jawab Sari dengan antusias.
"Kalo di bawa untuk besok, dingin dong! Bagaimana kalo kamu datang besok subuh saja, biar nasinya masih hangat untuk di bawa ke sekolah." Namboru menyarankan.
Sari mengangguk tanda setuju." Baiklah, Namboru!" serunya.
Tak lama, Parlin keluar dari dalam kamar dan melewati mereka berdua yang sedang berada di dapur. Sari yang sudah tertangkap basah sedang berbohong, menjadi salah tingkah merasa tidak enak sendiri. Takut kalau rencananya di gagalkan oleh Parlin. Dia berpikiran, mungkin Parlin diam-diam ikut mencuri dengar pembicaraan mereka barusan.
Tapi, kelihatannya Parlin hanya cuek saja seolah-olah tidak melihat ada orang di situ. Dia pergi menuju kamar mandi yang tak jauh dari tempat Sari dan ibunya bercengkrama. Setelah pintu tertutup, terdengar suara air mengalir deras seperti suara air kran yang dibuka sebesar-besarnya.
"Jongkok kau kencing, Parlin! Entah kemana-mana kencing kau itu merembes. Abis dinding bau kencing jengkol kau buat." Ibunya menegur Parlin yang berbuat semena-mena sama tembok kamar mandi.
Sari yang mendengar itu, segera menutup mulutnya menahan tawa. Walaupun dia juga merasa sedikit tidak enak karena sudah mulai berpikiran remaja. Tapi Parlin, memang masih bersifat seperti anak-anak sama seperti dulu, walaupun yang sekarang badannya sudah semakin membesar.
"Kau nggak ikut praktek, Parlin?" tanya ibunya setelah anak laki-laki itu ke luar dari kamar mandi.
Dia hanya diam saja tak menggubris pertanyaan ibunya. Memang begitulah sikap Parlin di rumah. Sangat irit bicara dan terbilang cuek dan nggak perduli. Yang dia tau, semua keinginannya harus bisa terpenuhi. Tapi karena ibu dan bapaknya belum bisa memenuhi permintaan Parlin, maka komunikasi mereka jadi terganggu. Sudah beberapa minggu ini, sejak duduk di bangku SMP, Parlin minta di belikan motor. Tapi karena terkendala dana, orang tuanya belum sanggup memenuhi permintaannya itu. Itulah penyebabnya Parlin tidak mau bicara lagi.
Memang aneh anak semata wayang itu....
*****