webnovel

SEMUDAH ITU

"Ka-- kau menungguku?" tanya Bara yang lagi-lagi tergagap kala berhadapan dengan Yolanda. Jantungnya berdetak semakin cepat berbanding terbalik dengan deru napasnya yang justru seakan gagal mendapatkan pasokan oksigen dari sekitar.

"Ya, dan sebagai pasangan baru, aku ingin mengajakmu pulang bersama," terang Yolanda begitu gamblang yang justru menambah sebuah rasa terkejut di benak Bara dan teman-temannya. Apakah primadona di sekolah ini benar-benar jatuh cinta dengan pria culun seperti Bara? Sesaat mereka saling melemparkan pandangan.

"Oh astaga, betapa beruntungnya temanku ini," ujar teman-teman Bara menepuk pelan bahu pria itu. Sementara Bara yang diajak Yolanda untuk pulang bersama justru masih bergeming di tempatnya. "Pu-- pulang bersama?" gugupnya tidak menyangka jika Yolanda akan menunggunya dan bahkan mengajak dirinya pulang.

"Ya, ayo!" tutur Yolanda lalu menarik tangan Bara dan membawa pria itu pergi begitu saja. Teman-teman Bara yang melihat itu sontak tersenyum senang.

"Hati-hati di jalan kawan!"

"Jangan lupa untuk ambil napas! Hahaha!" ledek mereka saat melihat Bara yang berjalan dengan gerakan begitu tegang. Mereka tau bahwa mungkin ini adalah pertama kalinya untuk Bara berdekatan dengan wanita.

"Beruntung sekali dirinya. Padahal aku kemarin sudah menyangka jika dia akan ditolak," ucap Ramond seraya memandang tubuh Bara yang semakin melangkah jauh.

"Kau sungguh tega jika niatmu hanya untuk mempermalukannya," balas temannya.

"Tetapi sungguh sial karena niatnya tidak terkabulkan," sahut teman Ramond yang lain sembari terkekeh pelan.

"Ya, kau benar." salah satu temannya itu membenarkan.

"Ngomong-ngomong, apakah kau menyesal telah memberikannya tantangan untuk menyatakan cinta kepada Yolanda?" Seluruh teman-temannya sontak mengarahkan pandangannya kepada Ramond.

"Tidak, bagaimana pun Bara adalah teman kita, kan?" jawab Ramond seadanya.

"Tumben kau menganggapnya teman," sindir teman yang berdiri tepat di sisi kanan Ramond.

"Pasti setelah ini dia ingin meminta suntikan dana lagi!" sahut temannya yang lain seraya menggelak tawa.

"Betul, seperti tidak tau Ramond saja kau," tambah temannya yang lain.

Sejenak Ramond bergeming. "Aku tidak seperti itu. Lagi pula, setelah dipikir-pikir kembali, aku rasa tidak begitu buruk berteman dengannya," terang Ramond yang masih memandang lorong tempat terakhir Bara terlihat, sebelum akhirnya pria berkaca mata itu berbelok ke arah tangga.

"Ya, bahkan kita sering kali mendapatkan keuntungan, kan?" timpal temannya yang lain setelah memikirkan apa yang selama ini terjadi setelah mereka menganggap Bara sebagai temannya. Pria itu selalu menawarkan diri untuk mentraktir teman-temannya di saat waktu istirahat telah tiba.

"Jika kau menganggapnya teman, lalu kenapa kau memberikan tantangan itu?" ujar temannya yang lain dengan penuh tanya.

Ramond menolehkan pandangannya. "Memangnya kenapa? Toh hasilnya baik, dan Yolanda benar-benar mau menerimanya. Sudahlah, ayo kita pulang," paparnya, lalu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya di belakang.

Sementara itu, Bara dan Yolanda benar-benar berhasil membuat seisi sekolah menjadi jauh lebih gempar dari sebelumnya, saat mereka melihat kedua sejoli yang dikabarkan baru saja memulai hubungan di meja kantin sekolah itu kini tampak sedang pulang bersama.

Awalnya, mereka yang tidak berada di kantin saat kejadian itu merasa tidak percaya dengan kabar yang sedang beredar, sementara mereka yang benar-benar melihat kejadian di kantin siang tadi secara langsung saling menebak jika mungkin saja Yolanda sedang ingin bergurau atau melucu.

Namun, melihat dua sejoli yang kini tengah berjalan berdampingan sembari saling berpegangan tangan itu seketika menepis segala rasa tidak percaya mereka. Jadi, Yolanda benar-benar menerima si cupu itu?

"Kau membawa kendaraan?" tanya Yolanda saat mereka sudah tiba di parkiran sekolah.

"Hm, iya." Bara menganggukkan kepalanya pelan, lalu mengeluarkan kunci miliknya.

Yolanda menatap kunci itu sejenak, lalu gadis itu terlihat mengembangkan senyumnya. "Baiklah kalau begitu." Yolanda menyandarkan diri pada salah satu tiang penyangga yang ada di parkiran itu, kemudian tampak gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. "Tunggu sebentar," ucap Yolanda kepada Bara, lalu kembali memfokuskan pandangan ke layar ponsel di tangannya.

"Hallo, Cintya. Di mana kau?" ucap Yolanda setelah menekan tombol hijau di layar, lalu menempelkan benda pipih itu ke salah satu telinganya.

"Baguslah kalau begitu. Bisakah kau menyusulku ke parkiran sekolah sebentar?" tanya Yolanda pada seseorang yang tengah dia hubungi.

"Oke, aku tunggu," ujar Yolanda, lalu segera mematikan panggilan tersebut. Yolanda kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Lalu gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada tanpa berbicara apa pun.

Bara yang melihat Yolanda hanya terdiam akhirnya ikut berdiam berdiri sembari menutup rapat mulutnya. Entah apa yang tengah ditunggu oleh gadis di sampingnya itu. Namun Bara sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan suaranya. Dia masih merasa gugup, dan selalu berpikir bahwa ini hanyalah mimpi.

"Woah! Kalian bersama?" pekik salah seorang wanita saat dirinya tiba di parkiran sekolah. Sebenarnya parkiran itu pun sedari tadi sudah ramai dengan para siswa-siswi yang mengeluarkan motor mereka. Namun mereka tidak berani seheboh itu di depan Bara dan Yolanda, sehingga akhirnya memilih pergi dengan pikiran yang masih berkecamuk.

"Ya, kami akan pulang bersama. Hari ini kau tidak membawa kendaraan, kan? Bawalah milikku pulang," ujar Yolanda langsung menuju poinnya seraya melemparkan kunci kendaraan ke arah temannya yang baru saja menyusul itu.

"Kau serius?" tanya wanita itu kepada Yolanda saat dia sudah menerima kunci di tangannya. Sebenarnya, pertanyaan itu bukan karena dia tidak yakin dengan Yolanda yang menyerahkan kendaraan miliknya, namun dia lebih tidak yakin dengan pilihan Yolanda untuk pulang bersama pria berkacamata di sampingnya itu.

"Hm ... sekarang ayo kita pergi," ucap Yolanda yang lagi-lagi kembali menggandeng lengan Bara. Sontak temannya itu melebarkan matanya, namun belum sempat dia bereaksi Yolanda sudah lebih dulu kembali menengok ke arahnya sembari melambaikan tangan. "Bye, Cintya ..." ucap gadis itu tanpa ragu, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

Sementara Cintya masih diam di tempat seraya membalas lambaian tangan temannya itu. "Dia pasti sudah gila!"

*****

"Di mana rumahmu?" tanya Bara setelah sekian lama mengumpulkan keberaniannya. Lagi pula, Yolanda sudah memutuskan untuk pulang bersamanya, jika dia tidak memberanikan diri untuk mengeluarkan suara, bagaimana nanti dia bisa mengetahui tujuan mereka?

Sebenarnya, Bara bahkan merasa tidak yakin jika dia akan mengendarai mobilnya dengan benar kali ini, mengingat sekarang dia sedang bersama dengan primadona di sekolahnya. Hal itu benar-benar membuat tubuh Bara gemetar dan jantungnya memompa lebih cepat dari waktu biasanya.

"Bagaimana jika kita makan dahulu? Aku lapar," pinta Yolanda kepada Bara, yang kemudian hanya diangguki oleh pria itu.

Akhirnya mereka tiba di restoran pilihan Yolanda, restoran itu cukup terkenal dengan harganya yang mahal, namun Bara berpikir mungkin inilah harga setimpal yang harus dia bayar jika memang ingin menjadi pacar Yolanda yang sesungguhnya. Yolanda merupakan gadis yang sangat cantik dan bergengsi, tentu saja soal pilihan dan selera makan juga akan jelas berbeda. Dan Bara memaklumi hal itu.

Lagi pula, meskipun terkenal cupu, namun nyatanya Bara cukup kaya. Terbukti dari mobil yang selalu dia bawa ke sekolah. Juga uang saku bulanan yang diberikan oleh orang tua untuknya. Tidak akan terasa berkurang jika hanya digunakan untuk sekedar membayar bill makanan yang akan mereka pesan nanti.

Namun, tunggu dulu! Menyadari bahwa dia baru saja menyebut Yolanda sebagai kekasihnya benar-benar kembali membuat pikiran Bara mengganjal. Apa benar Yolanda semudah itu menerima cintanya? Apa benar gadis sesempurna Yolanda, menyukainya?

Eeaaaa!!!!! Coba tebak, kira-kira beneran suka apa enggak ya?? Kuy, lanjottt!!!

Seinaaikacreators' thoughts
Next chapter