webnovel

Ketika Dia Pergi Sebentar

Ini bukan kisah laki-laki yang tampan dan juga kaya raya. Dengan wajah yang jelek, dan tidak mempunyai banyak uang tetapi Prasetyo juga ingin merasakan rasanya di cintai dan mencintai seseorang, bagaimana Prasetyo mendapatkan cewek yang bisa menerima wajah buruk rupanya? Prasetyo merupakan seseorang yang sudah bekerja di sebuah Perusahaan yang cukup besar, ia di sana juga sudah bekerja cukup lama. Bekerja dengan sistem shift cukup menguntungkan bagi Prsetyo sendiri. Uang demi uang ia sisihkan untuk biaya pernikahannya yang akan terjadi sekitar beberapa tahun lagi. Namun, ketika mendekati acara pernikahannya, ia bertemu dengan seorang perempuan yang bekerja dengannya atau bisa di sebut partner kerjanya. Mengerjakan pekerjaan bersama, istirahat bersama, dan sudah sering menghabiskan waktu bersama juga dalam waktu yang cukup lama. Sampai pada akhirnya sempat di tegur oleh bosnya, apa yang akan di lakukan mereka berdua? Apakah yang harus di lakukan Prasetyo dalam masalah ini? Apakah akan tetap melaksanakan pernikahannya yang sudah di rencanakan jauh-jauh hari dengan kekasihnya yang bernama Devi atau malah memilih bersenang-senang dengan partner kerjanya yang bernama Mei? Ini juga bukan tentang kisah percintaan saja, tapi juga memberikan pembelajaran tentang dunia kerja yang sangat keras dan licik.

Ervantr · Realistic
Not enough ratings
279 Chs

Menyayangi Nenek

Setelah sampai di rumah, dan juga Devi hendak pulang ke rumahnya. Dugaan Pra salah, ia berpikir kalau manisan yang di beli tadi di makan di sini, ternyata Devi memilih untuk membawa pulang. Karena perjalanan Devi yang memakan waktu cukup lama, ia takut jika pulang di jam tengah malam. Karena sering terjadi perampokan di jam tengah malam di daerah dekat rumah Devi.

Pra masuk ke dalam, dan langsung menemui Nenek, "Mau manisan?" tanya Pra yang melihat Neneknya duduk di depan televisi menonton sinetron kesayangannya. Katanya kalau tidak menonton sinetron ini nanti malam tidak bisa tidur dengan nyenyak.

"Gila! Udah tau Nenek punya penyakit gula, malah di tawarin manisan, kamu mau membunuh nenek secara perlahan ya!" jawab sang Nenek dengan tegas, sebenarnya Pra sudah mengetahui bahwa Nenek mempunyai penyakit gula atau diabetes. Ia hanya berniat untuk menggodanya saja, tak lebih.

"Nanti kalo nggak di tawarin marah, niatku kan baik."

"Iya niatmu baik, tapi makanan ini bisa membunuh nenek secara perlahan, Pra!"

Pra masih terus ngeyel, "Kata nenek dulu, kalo sakit ada obatnya, kan?"

Nenek mempunyai penyakit gula atau diabetes ini sudah cukup lama dan semakin parah. Sekarang beliau setiap harinya di suntik obat setelah makan. Jadi, setiap harinya Nenek 3x di suntik, kulitnya juga sudah kebal dengan yang namanya jarum suntik.

Yang membuat penyakit nenek semakin parah karena ia selalu menginginan sesuatu dengan beralasan kata, 'Kan ada obatnya' selalu saja begitu ketika menginginkan sesuatu. Atau dengan kalimat, 'Mencicipi dikit kan gak masalah'

Pak Sul dan juga Ibu Rini hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya, soalnya kalau tidak di turuti Nenek malah ngambek dan tidak berbicara sedikit pun ke semua orang di rumah ini termasuk Pra. Sudah tua tapi kelakuannya seperti anak kecil.

Setiap 1 minggu sekali, Nenek juga rutin untuk check up ke rumah sakit. Beliau selalu memiliki ide yang cemerlang, sebelum berangkat ke Rumah Sakit Nenek selalu berpuasa terlebih dahulu dari semalam sampai ia di periksa oleh dokter agar hasil check up nya selalu mengalami siklus yang membaik. Tapi, setelah dari rumah sakit, Nenek selalu mampir ke warung di depan Rumah Sakit, dengan membeli es teh yang sangat manis, beberapa gorengan dan makanan yang lainnya.

Karena mendengar jawaban yang kurang enak dari sang Nenek, Pra memutuskan untuk berbaring lagi di kamarnya. Pra satu kamar dengan anaknya pak Sul yang bernama Toni, Pra berada di kasur yang bawah, sedangkan Toni berada di atasnya.

"Enaknya ngapain ya? Apa yang harus di siapkan untuk senin esok? Kerjaan seperti apa yang akam gue lakukan? Apakah susah atau malah mudah?" batin Pra yang sedang overthingking dengan yang akan menimpanya.

"Berapa juga uang yang gue dapatkan kerja 1 hari di sana? Bagaimana juga sistimnya? Apakah tunai, atau membuat ATM terlebih dahulu? Gue kan nggak punya ATM, bagaimana dong?" Pra memikirkan itu sampai larut malam, ketika sedang melamum, ia di kagetkan oleh Evan. Yang membuatnya kaget se kaget-kagetnya, bahkan tubuhnya sampai bergerak.

Evan melemparkan mainan ular yang sangat panjang di bawah tempat tidur, "Awas Praaa, ada ular panjang"

Pra kaget dan langsung berdiri untuk melihat ular itu, "Itu ularnya? Kok gak bergerak?"

"Gak tahu juga, coba lihat"

Pra mulai mendekat ke arah mainan ular tersebut, "Mainan ini mah, lu bikin gue kaget aja. Gue kira beneran"

Evan tertawa dengan sangat puas, "Hahaha, Pra ketipuuu" ledek Evan dengan menggoyangkan bokongnya.

Jantung Pra tadi berdetak sangat kencang mendengar nama ular, karena Pra sendiri juga takut dengan mahluk yang bernama ular.

"Awas aja ya lu!" teriak Pra.

"Lagian gue amatin lu diam-diam aja, kenapaa sih? Padahal tadi habis kencan, apa jangan-jangan kalian berantem ya? Hayo ngaku Pra" tanya Evan yang penasaran apa yang membuat Pra melamun.

"Anak kecil nggak boleh tahu urusan orang dewasaa!"

"Eitss, adaa yang marah nih. Berarti dugaan gue benar dong? Lu apain mbak Devi, sampai lu mikir berat kayak gitu"

"Gue nggak berantem sama dia, tenang aja. Gue kan orangnya nggak jahat, kan?"

Pra keinget satu hal lagi, di mana ia tidak mempunyai uang untuk jaga-jaga ketika ia kerja nanti. Hanya 10 ribu saja yang tersisa di saku apakah cukup?

"Kan melamun lagi, Praa. Kalau melamun mending ntar gue kasih semen, biar jadi patung sekalian, Pra. Lebih baik main sama gue" Evan mendorong Pra pelan untuk menyadarkannya.

"Gini, gue kan mau kerja. Nah, masalahnya gue hanya ada uang 10 ribu doang" Pra mengambil uang di dalam sakunya, "Nanti pinjemin ke Ibu kamu yaa" kata Pra bisik-bisik.

"Bukk, Pra pinjam uang 20 ribuu" teriak Evan.

Mengetahui Evan yang teriak, Pra langsung menutup mulutnya rapat-rapat, "Jangan sekarang! Kerjaa gue masih hari senin" kata Pra bisik-bisik lagi.

"Kenapaa harus nunggu senin kalau sekaeang bisa, Pra?" jawab Evan setelah mulutnya di buka oleh Pra.

Pra tidak berani meminjam uang langsung ke Pak Sul atau Ibu Rini, selalu melewati perantara Evan atau Nenek.

"Nanti kalau di kasih sekarang takutnya abis buat jajan" bantah Pra.

"Nanti kalau udah gajian, traktir gue makan ya sama beli mainam baruu. Eh tapi gue lebih baik makanan aja deh, kenyang" tukas Evan yang membuat Pra terdiam. Belum saja gajiam, eh udah mendapatkan palakan dari si Evan.

"Urusan belakang itu mah, masih lamaa" Pra juga sudah berjanji, jika ia mendapatkan uang dari kerjanya. Maka, ia yang akan membayar uang listrik dan juga air di rumah sini, sebagai bentuk balas budi.

"Ayo dah maenn, gue tungguin di ruang ramu"

Pra bingung, Evan mau ngajal bermain apaan, "Mau maen apaan dah, malem-malem kayak gini? Lu nggak tidur aja?"

"BESOK LIBURR!" teriak Evan sambil berlari ke ruang tamu.

Evan ingin mengajak Pra untuk bermain ular tangga, karena hanya Pra seorang yang mau menemani Evan. Kakaknya Toni maupum Anto lebih baik bermain bersama teman-temannya yang sampai sekarang belum ada di rumah.

Pra masih berdiam diri di kamarnya, sedangkan Evan sudah berada di ruang tamu. Karena Pra tak kunjung datang, Evan berniat menghampirinya sekali lagi.

"Praaa! Astaga, malah tidur. Padahal baru aja gue tinggal sebentar, emang dasar tukang tidur!" tukas Evan yang sekarang melihat Pra memejamkan matanya dan juga sudah memakai selimut.

Pra emang sengaja beralasan tidur, agar tidak jadi memainkan ular tangganya. Karena sekarang pikiran Pra sedang kemana-kemana.

Wajah Evan langsung murung dan lemas, dan berjalan kembali ke ruang ramu dengan pelan.

"Kenapa murung begituu?" tanya Nenek yang melihat Evan seperti orang yang kehilangan semangat.

"Praa mau kuajak main ular tangga, tapi udah tidur duluan" jawab Evan sebal.