Malam belum jauh. Jalan utama di pusat kota agak sepi. Lengang, remang oleh sorot lampu-lampu.
Di depan satu kantor besar, sebelum menuju Kafe Romance, Aul duduk istirahat di satu bangku tembok di trotoar. Satu surat balasan dulu dari Inah yang disimpannya di saku celana, dikeluarkannya. Surat dibukanya. Tulisan-tulisan dari Inah hanya dilihat-lihatnya.Tulisan-tulisan dari Inah juga berkali-kali diraba-rabanya.
Aul lalu bangkit, berjalan. Matanya kini memerhatikan keadaan di sekitar.
Di seberang jalan, angin sedang tiba-tiba berembus, menyentuh ranting-ranting pohon ketapang. Daun-daun yang tua, berluruhan, berurutan, hampa melayang. Aul acuh saja.
"Ada apa ya? Kok cukup banyak daun yang berjatuhan?" Aul bertanya pada diri sendiri.
"Ah, kan tadi sore, hujan telah menguyur. Percikan-percikan air hujan mengenai tangkai-tangkai daun. Daun-daun yang sudah tua atau pun tidak kuat, menjadi cepat luruh saat ada angin berembus." Aul menjawab pada diri sendiri.
Wajah Aul sesekali dihiasi senyum simpul. Aul kembali bertanya pada diri sendiri, "Kenapa aku sekarang menjadi begini ya? Ya tentu tentang ikhwalku karena dari sebangsa siluman sepertiku, juga dapat jatuh hati pada manusia."
Aul terus berbincang dengan diri sendiri.
"Aku kan siluman, aku akan pejamkan mataku. Siapa tahu luruhan-luruhan dari daun-daun sebagai satu pertanda. Akan akan memusatkan konsentrasi, ada apa di sekitar."
Aul memejamkan mata—menuruti perintah diri sendiri.
Beberapa saat kemudian, tergambar dalam pikirannya, ada seorang gadis cantik, di sudut satu bangunan di satu kafe di jalan ini, terhalang dua perempatan jalan. Tetapi siapa gadis itu, tidak dapat dipastikannya.
"Bagaimana ciri-cirinya, ya? Juga, bila menarik hati, apakah aku akan kesengsem sama gadis itu?"
Aul kembali memejamkan mata, memusatkan pikiran.
"Aneh. Aku tidak bisa mendetaikan ciri-cirinya. Untuk kali ini, juga aku tidak yakin pada diri sendiri."
Di depan satu bangunan, Aul kembali duduk di tembok, membuka lagi satu surat balasan dari Inah. Kembali, tulisan Inah diraba-rabanya.
"Aku akan ke kafe itu. Yang tergambar dalam pikiranku akan kutemui. "
Aul lalu menyeberang. Kemudian masuk ke jalan yang kecil, menuju satu perempatan. Saat sedang berjalan, Aul tiba-tiba teringat Inah yang tidak juga membalas surat terakhir. Aul merasa mangkel. Wajah Aul menjadi murung, lalu melamun. Seorang pejalan kaki melihat Aul dengan trenyuh.
Angin malam kembali berembus, kini kecil. Aul kembali bertanya pada diri sendiri. "Apa yang terjadi padaku? Secepat itukah perubahan di hatiku?"
"Ya, karena Inah belum juga membalas surat terakhirku, membuatku kecewa." Aul tak henti bicara pada diri sendiri.
"Oh Inah, kenapa kau tidak juga membalas suratku? Ah kukira, perlu usaha lebih keras dan tekat baja untuk terus mengejar sampai mendapatkanmu. Tetapi, apakah aku yakin bisa mendapatkanmu? Namun dari surat-suratku selama ini denganmu, aku yakin, kau telah memberi harapan besar."
"Ha ha ha. Aku jangan baper." Aul lalu tertawa kecil. Seorang pejalan kaki dengan heran memandang Aul.
"Maksudku, dari surat-menyurat kita selama ini, kita kan selalu saling memanggil dengan panggilan sayang." Aul terus bicara pada diri sendiri.
"Tetapi, apakah panggilan sayang di surat, sudah dapat dipastikan bahwa kau juga sayang padaku? Selama kita bersurat-suratan, ada beberapa surat yang membahas tentang keseriusan kita. Semoga itu, bukan omong kosongmu, Inah."
Usai melewati satu bangunan, Aul tiba pula di satu kafe yang tergambar dalam pikirannya. Aul langsung masuk.
Lampu-lampu bercahaya redup. Suasananya terlihat syahdu, tetapi, kursi-kursi sedang kosong.
Aul terpaku ke satu sudut meja karena tampak seorang wanita dan seorang pria yang sedang duduk berhadapan—terlihat romantis.
Aul nyaris tak percaya karena ternyata sepasang insan itu adalah Inah dan Serigala Cahya.
Aul langsung marah. Matanya memerah. Kepalan tangannya siap meninju muka Serigala Cahya.
Inah yang takut dan kaget karena tiba-tiba saja melihat Aul, dan dalam keadaan marah, langsung berdiri hendak lari.
Aul yang masih marah, berkata pada Serigala Cahya, "Bila begini, persahabatan kita bisa putus akhirnya."
Serigala Cahya diam.
"Inah, jangan mau pada Cahya."
"Kenapa?" Dalam keadaan takut-takut, Inah bertanya.
"Nanti, kau pun akan tahu sendiri. Ah, aku tidak menyangka pada kalian berdua, diam-diam di belakangku, kalian janjian bertemu. Aku juga tidak tahu, sejauh mana hubungan kalian. Sungguh busuk hatimu Cahya, sahabat saja dikhianati."
Inah dan Serigala Cahya terpaku dalam duduk masing-masing—hingga Aul pun keluar dari pintu kafe.
Serigala Cahya sempat berteriak, "Kau mau ke mana?"
"Aku pulang, ke rumah kita."
**