webnovel

Gerbang Dimensi Lain

2)Gerbang Dimensi lain

"Ines! Sadar Nes. Ini gue!" Gladis berusaha berontak. Sayangnya, tenaga Ines sangat kuat.

Posisi tubuh Gladis yang tertindih oleh Ines mengunci setiap pergerakannya.

Gladis berteriak sekencang mungkin. Sampai akhirnya, dia melihat Zio dan Edwin berada sekitar sepuluh meter darinya.

"Zio! Edwin!" teriak Gladis. Aneh, sungguh aneh. Dua lelaki yang tengah sibuk saling menghajar itu tidak menggubris suara Gladis.

Mereka seolah tidak bisa mendengar keributan yang terjadi.

Gladis hampir menyerah. Antara takut dan bingung.

Ines yang siap melahap bulat-bulat dirinya semakin beringas.

Gladis sudah kehilangan kesabarannya, terlebih saat cakaran kuku Ines menyayat salah satu pipinya.

Brugh! Sekuat tenaga Gladis menendang Ines. Wanita itu tersungkur tak jauh darinya.

Gladis mengerutkan kening keheranan. "Kenapa bisa seperti itu? Padahal, tadi rasanya aku hampir mati ditindih Ines?!" batin Gladis masih sempat bertanya-tanya di tengah situasi genting.

"Arrrr!!" Ines kembali menggeram. Lehernya berputar--seperti leher boneka Barbie yang bisa dengan leluasa diputar seratus delapan puluh derajat.

Gladis bangkit. Dia berlari secepat mungkin menghampiri Edwin dan Zio.

"Tolong! Tolong gue!" teriak Gladis. Semakin cepat ia berlari, semakin terlihat menjauh sosok kedua lelaki di depan sana.

Berbarengan dengan hal itu, kabut pekat semakin menyelimuti. Jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Petir yang tiba-tiba menggelegar membawa serta hujan turun.

"Kemarilah Gladisss!!" Suara berat dari sosok mengerikan yang merasuki Ines kembali menggaung.

Gladis menutup kedua matanya dalam-dalam, batinnya seolah memanggil nama teman-temannya.

Edwin dan Zio yang menyadari situasi alam memburuk, tertegun. Mereka menghentikan perkelahian yang membuat satu sama lain babak belur.

"Di mana Ines dan Gladis?" tanya Edwin kebingungan.

Zio menyugar rambutnya dengan kasar. Bulu kuduknya meremang begitu saja.

Hujan deras disertai petir dan angin kencang membuat Zio tanpa pikir panjang langsung menuju tenda.

Tanpa mempedulikan pacar serta sahabatnya yang lain.

"Ines, Gladis!" panggil Edwin.

Lelaki itu berlari kecil menghampiri tempat memasak. Di sana, tak ia temukan siapa pun, kecuali alat masak yang berserakan.

Kabut yang semakin pekat membuat penglihatan Edwin tidak bisa menangkap apapun.

"Edwin! Gue di sini, tolong!" Suara Gladis terdengar.

Edwin menajamkan indera pendengarnya. Semakin diresapi, semakin jauh suara Gladis menggema.

Edwin menginjakkan kaki ke tempat di mana Gladis tersungkur. Setelahnya, barulah dia bisa melihat keberadaan Gladis yang tengah terpojokkan oleh Ines.

Kaki Gladis tidak lagi menapak di tanah.

"Astaga! Gladis!" Edwin berlari secepat mungkin, Gladis hampir kehabisan napas.

Tubuhnya terangkat ke udara, Ines mencengkram kuat leher Gladis dengan satu tangannya saja.

Edwin berusaha menyingkirkan Ines, sayangnya, tenaga Ines yang sangat kuat tidak bisa tertandingi.

"To-tolong gue, Win …." Gladis sudah tidak kuat lagi.

Edwin yang juga sudah mulai kehilangan tenaga langsung merogoh saku jaketnya.

Ia mengeluarkan pisau lipat dan tanpa pikir panjang menyayat lengan Ines begitu saja.

"Arghhh! Manusia kurang ajar!" Suara Ines yang berat menggelegar.

Gladis akhirnya bisa melepaskan diri. Darah yang keluar dari lengan Ines berwarna hijau.

Sontak saja, hal tersebut membuat Gladis dan Edwin terpaku di tempatnya.

"Akan kubalas kalian manusia tidak tahu diri!" Gema suara mengerikan itu menjauh mengikuti terpaan angin.

Ines lalu terkulai lemah di tanah. Gladis ketakutan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Edwin menajamkan netra, memperhatikan sekeliling yang memancarkan aura berbeda.

"Gladis, kamu masih kuat jalan, 'kan? Kita harus buru-buru ke tenda!" tegas Edwin. Tangan kekarnya langsung mengangkat tubuh Ines ke pangkuannya.

Gladis terlihat masih sangat sock tapi dia berusaha untuk tetap kuat. Gladis mengangguk cepat seraya menarik jaket Edwin untuk dia pegangi.

Kondisi tanah yang basah membuat langkah Gladis terasa berat. Dia bahkan yakin bahwa ada sesuatu di bawah sana yang menarik kakinya.

Gladis merasa ada sebuah tangan yang mencengkeram pergelangan kakinya, tangan anak kecil yang terasa sangat dingin.

"Win," gumam Gladis dengan suara bergetar.

Edwin menelan saliva. Dia nampaknya tahu apa yang menimpa Gladis.

"Jangan liat ke bawah. Lo terus aja jalan!" titahnya setenang mungkin.

Gladis menggigit bibir bagian bawahnya. Dia semakin erat memegang bagian bawah jaket Edwin.

Dengan susah payah--padahal jarak mereka ke tenda tidak seberapa, akhirnya Gladis dan dua temannya sampai.

Zio yang keheranan melihat kedatangan tiga orang itu langsung memburu Gladis.

"Kamu kenapa, Yang?" tanya Zio. Ia menangkupkan kedua tangan ke wajah Gladis.

"Cepat masuk! Ini sangat berbahaya!" sergah Edwin.

Mereka berempat berada dalam satu tenda. Untuk beberapa saat, Edwin tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Begitu juga dengan Gladis yang sangat terpuruk.

Sedangkan Zio, dia tidak bisa menunggu lagi untuk meminta penjelasan.

Dia menarik kerah baju Edwin. "Apa yang Lo perbuat sama cewek gue, hah?"

Edwin terdiam. Selama ini, dia memang sudah cukup sering mendaki gunung. Hal-hal diluar nalar sudah bukan hal aneh baginya.

Hanya saja, kali ini berbeda. Ada sesuatu yang tidak bisa dia pahami.

"Katakan bodoh!" sarkas Zio.

Gladis menarik tangan Zio. Tatapannya yang kosong sudah cukup membuat Zio luluh dan duduk kembali dengan tenang.

"Sesuatu yang berbahaya sedang mengintai kita. Dan …." Edwin menggantung kalimat.

Dia menatap bergantian dua orang di dekatnya.

Gladis merekatkan posisi duduknya dengan Zio.

"Gue gak yakin kita masih ada di dunia kita," sambung Edwin lirih.

"Apa maksud, Lo, hah? Jangan main-main sama gue!" Zio lagi-lagi tidak bisa mengontrol emosi.

Dia pikir Edwin tengah mempermainkan mereka semua.

Hiks! Hiks … di tengah situasi yang mulai kembali keruh, terdengar rintihan seorang wanita di luar sana.

Semua orang terdiam. Zio terbelalak, dia hampir meloncat tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.

Edwin menyimpan jari telunjuk di bibirnya. Dia lantas merogoh sesuatu di bawah alas tenda.

Sebuah kantung kecil berwarna hitam Edwin ambil.

"Kalian pegang ini!" Edwin menyerahkan beberapa bungkusan kecil yang tidak lebih besar dari ukuran permen.

"Apa ini?" tanya Zio. Ia meraba-raba apa yang baru saja Edwin berikan.

"Itu garam. Untuk berjaga-jaga, gue selalu bawa."

Zio berdecih, dia membuang muka lalu terkekeh. Tanpa mau mendengar penjelasan Edwin, Zio malah melemparkan bungkusan garam ke sudut tenda.

"Lo kira kita anak kecil yang bisa Lo kerjain, hah? Garam, Lo kira setan mau masak?"

Plak! Gladis menampar Zio, dia tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Zio sadar akan marabahaya di luar sana.

Zio baru saja akan kembali meracau, sampai akhirnya, perhatian mereka kembali teralihkan pada Ines yang mulai sadar.

"Ines, Lo udah baikan?" Edwin membantu gadis itu untuk bangkit.

Saat terbangun, Ines kebingungan sendiri. Dia memegangi kepalanya yang terasa pening. Lalu, setelah beberapa saat, Ines sadar akan luka di pergelangan tangannya.

"Gue kenapa? Tangan gue?"

Edwin, Gladis dan Zio saling melempar pandang.

Sejujurnya, Gladis masih ragu-ragu untuk berdekatan dengan sahabatnya itu.

"Kita bakal kasih tahu Lo nanti. Sekarang, Lo harus tenangin diri dan jangan sampai pikiran Lo kosong," jelas Edwin selembut mungkin.

Bukannya membuat Ines tenang, perkataan Edwin justru semakin membuat Ines mengerutkan kening.

Tatapan Ines tertuju lurus pada Gladis yang duduk tepat di depannya.

"Gladis, are you oke?" Melihat wajah Gladis yang pucat pasi, Ines merasa khawatir. Dia bahkan beringsut mendekati Gladis.

Gladis secara refleks menghindar.

"Kenapa? Gladis, ada apa sama Lo?" Kali ini, Ines melirik dua lelaki di sana secara bergantian.

Tanpa memiliki pilihan lain, Edwin akhirnya menceritakan setiap kejadian yang baru saja mereka alami.

Awalnya, Ines menentang keras semua itu. Dia sama sekali tidak mengingat apa-apa.

Terakhir kali hal yang dia ingat adalah setelah Sabrina memberitahu dirinya bahwa dia akan menemani Faris.

"Tidak pernah ada yang masuk akal mengenai hal-hal diluar nalar," tandas Edwin.

Dengan sedikit pengalaman yang dia miliki, berdasarkan hal mengerikan yang beberapa waktu lalu Gladis alami, Edwin mengambil kesimpulan.

"Darah salah satu dari kalian adalah pemancing aura mistis, sekaligus obat penawar!"

Gladis tertegun. Dia ingat, sebelum mengalami hal-hal ganjil, terlebih dahulu jari tangannya terluka oleh cutter.

Lalu, saat di mana dia berhasil menendang tubuh Ines untuk menyingkir darinya adalah saat di mana pipinya tergores oleh cakaran Ines.

"Itu cukup masuk akal, bisa jadi memang begitu alasannya!" batin Gladis.