webnovel

Kekurangan yang tak Berarti

Setelah tiga hari berturut-turut Aldi lembur malam ini Aldi bisa pulang dengan tepat waktu serta sudah melihat wanita tersayangnya sedang menunggunya di ruang utama tentu dengan penampilan yang selalu membuat perasaan Aldi behagia.

Wanita yang selalu pandai menepatkan diri dalam keadaan, wanita baik hati yang telah menolong Aldi dalam kegelapan yang melingkar begitu kuat. Kegegelapan yang dibuatnya sendiri bersama dengan orang lain yang mendapatkan sejarah kelam bagi hidupnya. Wanita yang selalu membuat Aldi yakin jika kehidupan akan bahagia jika terus bersamanya.

Aldi yakin dengan hal itu, menjaganya adalah kekuatan terbesar Aldi.

Setelah tiba dihadapan wanita tersayangnya Aldi memeluknya begitu erat, seolah membawa tubuh mungil itu untuk melebur ke dalam dirinya sebagai kekuatan.

Naura terdiam untuk beberapa saat, merasakan begitu erat pelukan Aldi dan meski kebingungan melandanya kedua tangan Naura ikut serta memeluk Aldi. Membalasnya bukan dengan pelukan erat yang sebagaimana Aldi lakukan tetapi lebih membuat pelukan yang diberikan agar terasa nyaman.

Pelukan itu melonggar dan kedua pasang mata bertemu dan Aldi mengecup kening Naura, begitu menekan seolah memang Naura adalah kekuatan yang selama ini Aldi cari.

Setelah bibir Aldi terangkat dari kening Naura kini Nauralah yang berperan, mengelus rambut Aldi dengan penuh kelembutan. Itu adalah salah satu gerakan yang disukai Aldi sampai membuat Aldi memejamkan mata.

Naura menekankan dirinya untuk terus berpikir positif, tidak ada yang salah Aldi hanya kelelahan.

"Apa ada masalah?" tanya Naura.

Naura memang selalu bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Lain halnya ketika ada sesuatu yang sangat mengganjal hatinya beberapa hari ini. Mulutnya masih tertutup rapat, serumit itu memang cara berpikir seseorang.

Kedua mata Aldi terbuka.

"Tidak bisakah aku kembali mengambil hak atas hukuman yang kemarin?"

Naura terdiam akan tetapi tidak memalingkan wajah.

"Jika kamu masih belum memaafkan memang itu adalah keharusan."

Aldi menggeleng lalu memeluk Naura dari samping dan memandunya untuk berjalan menuju kamar.

"Kamu tidak makan terlebih dahulu?" tanya Naura ketika melewati ruang makan dan kini tangan Aldi sudah masuk ke dalam kamar.

"Biasanya kamu yang selalu menyuruhku untuk mandi terlebih dahulu," ucap Aldi ketika keduanya sudah berada di dalam kamar.

Seperti sangat asing apa yang dirasakan oleh Naura akan tetapi Naura kembali memilih untuk menutup rapat mulutnya.

"Kamu sudah makan?" pertanyaan itu meluncur dan seketika lamunan Naura buyar lalu buru-buru berbalik kehadapan Aldi untuk melepas dasi suaminya.

Naura tersenyum lalu menjawab, selalu dengan suara yang paling nyaman masuk ke dalam telinga Aldi. Menenangkan setiap saat.

"Kita selalu makan bersama, aku akan menunggumu di ruang makan."

Aldi mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi.

"Hukuman apa yang dimaksud? Dan kenapa pelukan itu?" lirih Naura lalu buru-buru menggelengkan kepalanya dan melangkah keluar.

Harus segera menyiapkan makanan untuk mereka berdua.

***

Seperti biasa rambut basah dengan setelan baju santai adalah pemandangan yang sangat luar biasa ketika mata Naura menatap Aldi. Laki-laki itu selalu sempurna dimata Naura, kekurangan yang telah diperlihatkan sama sekali tidak mengoyahkan Naura untuk terus mengagumi Aldi. Kesempurnaan yang selalu Aldi lakukan sedangkan apa yang Naura lakukan hanya sebatas cukup, itu yang selalu Naura rasakan.

Selalu kurang jika sudah berhadapan dengan Aldi, laki-laki yang selalu memikat Naura sampai kini.

Aldi menarik kursi lalu duduk dihadapan Naura.

"Jam berapa besok kita ke dokter?" tanya Aldi yang baru saja duduk ditempatnya serta menunggu Naura yang telah siap siaga mengisi piring Aldi dengan nasi dan beberapa lauk serta mendekatkan minum didekatnya.

Sebaik mungkin selalu cepat untuk mengurus keperluan Aldi.

"Kamu bisanya jam berapa?" tanya balik Naura dengan kedua tangan yang masih sibuk untuk mengisi piringnya sendiri dengan nasi dan beberapa lauk.

Naura menatap Aldi.

"Aku bisa saja tidak masuk kantor."

Naura langsung merespon dengan gelengan kepala cepat.

"Kamu selalu mempermudah keadaan, nanti bagaimana jika kamu dipecat? Tidak ada bos yang mau bawahannya tidak disiplin waktu," omel Naura.

Aldi memang seperti itu, selalu membuat Naura gemas dengan mengucapkan berbagai keremehan tentang kantor yang ditempati kerja. Laki-laki yang tidak takut nantinya akan dipecat ketika semua ucapannya terjadi.

Pernah juga Aldi mematikan sambungan telpon rekan bisnisnya dan memilih waktu berdua dengan Naura. Bahkan pernah juga Aldi langsung pulang ke rumah ketika Naura sakit dan tidak kembali ke kantor lagi.

Perbuatan Aldi memang selalu membuat Naura bingung, bukan apa, ketika Aldi kehilangan pekerjaan bukan berarti Naura meninggalkannya. Dulu Naura tidak setuju jika tidak ada uang maka sangat sulit untuk menyuburkan kisah cinta oleh dua orang yang sudah terikat janji suci tetapi sekarang berbeda ketika keduanya terus bekerja sama, ketika di titik terendah saling menguatkan itu sangat cukup berarti.

Bukan mempermasalahkan kehilangan pekerjaan yang paling Naura takutkan adalah Aldi terkurung di rumah ketika mununggu panggilan pekerjaan maka akan kesepian dan akan membuat Naura tidak tenang.

Tujuan bersama yang belum mendapat jawaban.

Tiba-tiba saja Aldi tertawa lalu mencubit pipi Naura gemas.

"Bosku sangat baik, semua bisa dibicarakan."

"Tapi tetap Aldi, sebagai pekerja juga harus disiplin."

Melihat Naura yang seperti sangat serius menyudahi drama Aldi kali ini, bagaimana mungkin Aldi membiarkan awan mendung pada raut wajah istri tersayangnya.

Itu sangat mustahil terjadi.

"Aku hanya bercanda."

Naura melirik Aldi lalu mengembuskan napas panjang.

"Aku akan meminta izin ketika jam istirahat," ucap Aldi yang memilih jalan tengah.

Menyelesaikan masalah segera mungkin dan menyudahi candakan jika terlihat salah satu diantara keduanya mengubah raut wajah.

"Aku hanya tidak mau disiplin, suamiku selama ini selalu disiplin dan bertanggung jawab hanya saja memang sekali-kali bandel," sahut Naura memperlihatkan senyum kecilnya lalu menyendok makanan.

Aldi yang melihatnya dengan gemas lalu mengulurkan tangan untuk mengelus kepala istri tercintanya. Untuk sejenak apa yang ditakutkan kini meredup tidak seterang tadi untuk mengikuti langkah Aldi. Meredup dan mengrapakan untuk segera menghilang, jika tidak sekarang mungkin suatu hari nanti. Aldi percaya jika bersama Naura ketakutan itu akan segera benar-benar menghilang.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah cukup melelahkan? Lihatlah terlihat jelas kantung matamu sekarang."

"Sangat melelahkan tetapi juga menyenangkan, tahun ini butik mengalami berkembangan yang bisa dikatakan baik. Atas semangat dan tanggung jawab dari para karyawan banyak yang kini menjadi pelanggan juga banyaknya pesanan yang masuk." Naura langsung menceritakan apa yang terjadi tentang butiknya terlalu semangat sampai terlihat kedua mata Naura memancarkan kobaran api. Cerita yang mengalir deras dengan sendirinya.

Wanita ini memang selalu bersemangat.

"Cantik," lirih Aldi.

Seketika Naura terdiam dan sebisa mungkin untuk tidak tersenyum.

"Memang kamu cantik." Aldi mengulangnya dengan suara yang lebih keras.

Meski sering sekali mendapat pujian tetap saja Naura tersipu malu seperti sekarang ini.

"Sudahlah, cepat habiskan makananmu lalu istirahat."

Aldi meletakkan sendok dan garbunya secara bersamaan lalu menatap Naura sedang yang ditatap merasa bingung.

Kesalahan yang diperbuat.

"Bahkan aku belum menghukummu."

Naura hanya ber-oh ria lalu melanjutkan makanannya, Naura sudah siap menerima hukuman itu demi rasa bersalahnya.

Hukuman yang justru akan membuat suasanya keduanya semakin akrab. Aldi selalu bisa menarik Naura untuk semakin dalam dalam dunianya sampai-sampai Naura sekarang tidak tahu jalan keluar. Mengendap pada dasar dan merasakan rasa kenyamanan yang sangat luar biasa besar.

"Sekarang aku sudah selesai, dalam waktu lima menit jika tidak masuk ke dalam kamar maka hukuman akan bertambah."

Aldi meninggalkan senyum genitnya lalu melangkah pergi menuju kamar meninggalkan Naura dengan perasaan yang tidak menentu.

Keanehan yang membuat candu lalu senyum itu muncul dengan bersamaan dengan perasaan yang menghangat.

"Siap Tuan." Terika Naura yang masih bisa didengar oleh Aldi karena belum masuk ke dalam kamar.

Lalu sebuah senyuman muncul di bibir Aldi akan tetapi langsung menghilang ketika deringan ponsel dan melihat siapa yang menelponya di malam hari.

"Dia lagi," lirih Aldi.