webnovel

Sahara

Sahara melipat lagi baju-baju yang baru dicoba pelanggan toko pakaian tempat ia bekerja. Tangannya dengan terampil melipat baju-baju dan menyusunnya lagi dengan rapi. ia memastikan susunan baju sesuai dengan model dan ukuran yang berurutan. Titik keringat membasahi pelipisnya. Sahara tak punya waktu untuk sekedar menyekanya, hari ini banyak pelanggan yang datang sehingga ia dan dua temannya kewalahan melayani mereka.

Begitu selesai merapikan rak baju, Sahara bergegas menghampiri beberapa pelanggan yang datang. dengan senyum manisnya ia menyapa mereka dengan ramah sambil menawarkan beberapa model pakaian yang cocok buat mereka.

tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, toko tempat Sahara bekerja pun sudah tutup.

"Ra, aku pulang duluan yaaa...kunci toko kamu aja yang pegang, besok kamu datang pagi yaa...jangan sampai telat lho! ntar ketahuan mbak Nurul bisa habis kita diomelin," kata Nita, teman satu kerja Sahara.

"Ya, jangan khawatir. aku nggak akan telat kok." jawab Sahara.

"oke lah kalau gitu. Nik, kamu jadi kan nginap di rumah aku?" tanya Nita mengalihkan pandangan ke arah Nike yang sedang membantu Sahara menutup toko.

"Jadi, doong. aku kan mau curhat," jawab Nike sambil terkekeh.

"Ya, udah. yuk pergi!" ajak Nita sambil naik ke motornya.

"Bentar, aku lagi bantuin Sahara nutup toko nih!"

"Alaahh, nggak apa apa itu. Sahara bisa sendiri kok. Ya kan, SAR?"

Sahara mengangguk. "Udah pergi aja Nik. aku tinggal kunci pintu aja lagi kok."

"Nggak apa apa nih?" tanya Nike tak enak hati.

"Iya. nggak apa-apa. pergi gih sana, Nita udah nungguin tuh, " jawab Sahara sambi tersenyum.

"Ya deh." Nike pun menghampiri Nita.

"Daaah, Sahara!" pamit Nita sambil melajukan motornya meninggalkan Sahara yang sedang memastikan pintu toko sudah terkunci rapat. Sahara melambaikan tangannya ke arah mereka.

Sahara berjalan kaki ke tempat kosnya. tempat kos Sahara hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari toko tempat ia bekerja sehingga ia tak pernah mengeluarkan uang untuk biaya transportasi.

sambil berjalan menuju tempat kos, pikiran Sahara melayang ke rumahnya. bayangan wajah ibu dan dua adiknya melintas di benaknya. suasana hangat saat bersama mereka membangkitkan rindunya. sudah enam bulan ia meninggalkan orang-orang tersayangnya. jauh dari mereka pertama kali dialaminya. ia harus kuat. ia harus membantu ibunya untuk menyekolahkan kedua adik-adiknya. terutama Aldi, adik laki-laki satu-satunya. setahun lagi Aldi tamat SMA, ia tak mau nasib Aldi sepertinya, yang harus memasrahkan mimpinya untuk jadi sarjana. ia mau Aldi melanjutkan pendidikannya hingga sarjana, kemudian mendapatkan pekerjaan yang layak, dan ikut membantunya menjaga ibu dan Reika.

Sebenarnya Sahara anak yang pintar, ia bahkan juara satu di kelasnya dan diterima sebagai mahasiswa undangan di salah satu universitas negeri. namun ia menolaknya karena semua itu tetap membutuhkan biaya yang besar. bayangan wajah ibu yang lelah membuatnya tidak tega untuk tetap mempertahankan mimpinya. meskipun ibu bersedia membiayainya, Sahara tetap menolaknya. karena ia tahu hal itu akan menjadi perjuangan yang berat bagi ibunya. sudah saatnya ibu sedikit beristirahat, pikirnya. karena itu ia memutuskan untuk datang ke kota ini dan bekerja. sebagian besar gajinya ia kirim ke kampung, Sahara berusaha keras untuk menghemat pengeluaran agar semakin banyak gaji yang bisa ia kirimkan. selama enam bulan disini, tidak pernah sekalipun ia membeli pakaian baru untuknya. makan seadanya, menggunakan kosmetik murah dan tidak pernah tergiur saat teman-temannya mengajaknya untuk sesekali makan bakso di pinggir jalan. setiap rupiah dari uang itu sangat berharga bagi Sahara.

Sahar sudah sampai di kamar kosnya. ia melihat Amel, teman sekamarnya masih berkutat dengan laptopnya.

"Belum tidur, Mel?" tanya Sahara sambil membuka sepatunya.

"belum, lagi ngerjain makalah nih. besok mesti dikumpulin, " jawab Amel sambil terus mengetik di laptopnya.

"Oo.." ujar Sahara menanggapi. ia kemudian mengambil handuk dan segera membersihkan tubuhnya.

"Ra, udah makan belum?" tanya Amel saat melihat Sahara sudah keluar dengan handuk dikepalanya.

"Udah." jawab Sahara berbohong.sebenarnya ia belum makan sejak siang tadi. tadi pagi adalah beras terakhir ia belum sempat membelinya. uang yang ada ditangan hanya tinggal tiga puluh ribu, sedangkan hari gajian masih satu Minggu lagi. ia harus menghemat pengeluaran hingga gajian.

"Duh, mubazir dong," keluh Amel sambil menghadap ke arah Sahara. ia menarik tangannya ke atas untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku karena mengetik sejak tadi.

"Kenapa?" tanya Sahara.

"Itu tadi ibuk kos bawain banyak makanan, ada rendang, ada ayam bakar juga. katanya dari hajatan di rumah keluarganya."

Mata Sahara membola, air liurnya serasa mau menetes mendengarnya. tapi ia malu, karena ia sudah mengatakan bahwa ia sudah makan padahal perutnya sangat lapar saat ini.

"Oo.."

"Kok oo lagi? nasi ku masih ada tuh, tinggal dikit sih. kamu habisin aja dari pada mubazir kan?"

Sahara menelan ludah. "Benar boleh nih?" tanyanya ragu.

"Ya elah, makan aja sana. lagian sambil kamu makan kan bisa Nemani aku buat ngerjain tugas makalah ini."

Sahara tersenyum, dengan semangat ia mengambil piring dan makan nasi serta lauk pauknya.

"Iya, Ra. kamu dapat gaji berapa di tempat kamu kerja sekarang?"

"Kenapa?"

"Minat pindah kerja nggak?"

"Emang ada lowongan dimana?"

"Di butik tantenya teman kuliah aku. kemaren dia nanyain kalau ada diantara teman aku yang butuh kerjaan. soalnya butiknya lagi kekurangan orang banget."

Sahara tercenung. sebenarnya bukannya ia tak mau pindah kerja, tapi tempat ia bekerja sekarang dekat dari tempat kosnya, sehingga ia tak perlu mengeluarkan uang transportasi.

"Gajinya lima juta, Ra. itu diluar transfor dan bonus. tertarik nggak?" lanjut Amel.

Mata Sahara membelalak. "Benaran, Mel?" tanya Sahara antusias. Gaji yang ia terima saat ini tiga juta tanpa uang transfor. karena itu ia semakin semangat saat mendengarnya. "Trus tempatnya jauh nggak?"

"Nggak jauh. kalo mau jalan kaki bisa juga sih, tapi lumayan juga sih capeknya kalau jalan kaki."

"Nggak apa apa. berarti masih bisa jalan kaki, kan?"

"Ihh, segitunya suka jalan kaki. Nggak takut ya ntar kakinya gede kayak gajah?"

Sahara tertawa. "Biarin, deh. yang penting bisa hemat."

Amel geleng geleng kepala. "Ingat, Ra. kamu tu juga manusia. jangan keras amat kerjanya. tubuh juga mesti dijaga." nasihat Amel.

"Justru itu Mel, jalan kaki kan olah raga, Mel. artinya aku setiap hari olahraga, dong. tubuh sehat, uang pun hemat." balas Sahara sambil tertawa.

"Ya deh, ya deh. emang nggak bisa kalah sama ratu hemat. "

"Oya, Mel. gimana caranya buat dapatkan pekerjaan itu? kapan aku bisa datang bawa berkas lamaran?"

"Besok pagi juga bisa."

"Bisa...agak siangan nggak, Mel? soalnya aku harus buka toko kalau pagi." tanya Sahara ragu.

"Bisa, sih. kenapa kamu nggak langsung mengundurkan diri aja?"

"Nggak bisa gitu, Mel. aku takut nggak diterima di butik itu. kalau aku juga mengundurkan diri di tempat sekarang, ntar aku nggak punya pekerjaan, dong." jelas Sahara.

"Nggak mungkinlah. kamu pasti diterima di butik itu. lowongan ini nggak dibuka secara umum. ntar aku bilang sama teman aku. dia bakalan rekomendasikan kamu ke Tantenya. owner butik itu sendiri. jadi nggak mungkin kan sampai kamu nggak diterima disitu."

Sahara tersenyum lega. "Ya deh. tapi aku tetap agak siangan aja kesananya. soalnya kunci toko sama aku. nggak enak sama karyawan lainnya kalau aku telat datang."

"Ya udah. terserah kamu saja. yang penting besok tetap datang ya ke butik tantenya teman aku? biar aku kasih tahu sama teman aku nih," kata Amel.

"Iya. Jadi kok. Lagian siapa yang juga nolak rezeki lebih."

Malam itu, Sahara menghela nafas lega. jika gajinya bertambah maka akan semakin ringan tugas ibunya. Bu, doakan Hara Bu, biar rezeki Hara semakin banyak dan bisa membantu ibu menyekolahkan Aldi dan Reika.