POV : Calvin
Seumur-umur, belum pernah aku membeli pembalut wanita.
Jangankan membeli, setiap kali melewati lorong yang menjual kebutuhan privat itu, aku selalu memilih melalui tempat lain. Rasanya tidak benar dikelilingi oleh benda-benda sensitif itu.
Untung saja, hari ini aku tidak perlu melakukannya. Meskipun, jujur saja, aku sudah nyaris benar-benar akan membeli pembalut kalau Lidya yang meminta. Maksudku, aku tidak tahu bagaimana cara kerja pembalut, tapi bagaimana kalau Lidya benar-benar membutuhkannya? Bagaimanapun juga, kebutuhan tetap kebutuhan, kan?
Mungkin sebagian dari kalian mengira aku sedang pedekate dengan Lidya. Entahlah, mungkin kalian ada benarnya. Aku emang agak-agak naksir Lidya, namun aku belum benar-benar mengejarnya. Maksudku, saat ini aku masih nyaman menikmati hidup sebagai seseorang yang tidak memiliki pasangan. Apakah aku akan berubah pikiran dalam waktu dekat atau tidak, aku tidak tahu. Yang jelas, aku peduli pada Lidya, mungkin lebih sedikit daripada aku peduli pada orang lain. Aku senang melihatnya tersenyum, terutama kalau aku yang menjadi penyebabnya. Aku tidak bisa mengabaikan hatiku yang berdebar-debar setiap kali berdekatan, dan aku benar-benar merasa cewek itu tampak makin mempesona dari hari ke hari.
Aku sendiri merasa aneh kenapa bisa merasakan hal yang seperti itu. Bukannya aku sombong, tapi berkat reputasiku sebagai pemusik di lingkungan kampus, aku cukup terkenal dan memiliki penggemar yang jumlahnya lumayan. Kebanyakan dari mereka adalah cewek dan rata-rata juga cakep-cakep. Aku tidak bisa mengenali mereka semua, lantaran ada banyak sekali mahasiswi yang menuntut ilmu di kampus ini dan fisik mereka juga mirip-mirip semua, yaitu putih, cantik, dan tinggi. Setiap dari mereka selalu tampil modis, dan itu yang semakin membuatku tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Entah sudah berapa kali cewek-cewek ini meminta nomorku, meng-DM akun instagramku yang tidak pernah kubuka, bahkan meninggalkan nomor telpon pribadi mereka di kolom komentar di akun YouTubeku, sesuatu yang kurasa agak-agak berbahaya terhadap privasi mereka.
Tapi aku tidak pernah merasa tertarik dengan salah satu dari mereka meskipun mereka memang cantik-cantik. Jangankan mereka. Aku bahkan tidak pernah tertarik pada Queenie, ataupun Lisa, cewek yang sudah mengenalku dari entah kapan dan bahkan kami sudah saling mengenal keluarga yang lainnya. Maksudku, tentu saja aku menyayangi Lisa, tapi tidak seperti sayang antara cowok dan cewek.
"Kalau dilihat dari muka lo sekarang sih, kayaknya lo lebih cocok cosplay jadi zombie dibandingkan cosplay jadi waiter yang lo banggain waktu itu."
Terdengar suara Kei dari sisi kananku. Saat ini kami sedang keluar bersama untuk mencari kostum untuk dikenakan saat acara Halloween nanti. Aku tahu aku sudah bilang aku tidak akan ikut, namun saat Kei yang waktu itu yakin banget bakal disediain kostum dari panitia acara mengatakan bahwa dia harus mengurus kostum sendiri dan memutuskan untuk bergabung dengan yang lainnya, tahu-tahu saja aku sudah diseret untuk ikutan cari kostum demi kesetiakawanan.
"Ini semua gara-gara kalian pada nyeret gue kemari," aku mendumel. "Udah gue bilang, gue mau kostum yang simpel-simpel aja. Nyamar jadi waiter juga gue udah hepi."
Lisa mendecak. "Sebagai sobat lo yang dari dulu banget, gue kadang nggak ngerti sama lo. Kenapa lo bela-belain banget pake kostum kayak begitu? Lagian, pasangan kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam itu namanya bukan kostum, bro, melainkan seragam. Dan waiter itu juga bukan tokoh yang bisa dijadiin cosplay, melainkan profesi. Kalo lo ke acara itu dengan pakaian seperti itu, bisa-bisa lo dikira waiter beneran yang dihire buat malam itu."
Sial, Lisa ada benarnya juga.
"Bukannya lebih bagus begitu?" aku membalas. "Lumayan bisa dapat duit sampingan." Aku nyengir pada Lisa yang tampak emosi denganku.
"Bicara ama lo emang bikin darah tinggi deh, sumpah," desahnya. "Lidya, jangan mau sama cowok kayak begitu. Entar kalian pacaran sebulan, tahu-tahu lo udah kudu ke dokter buat cek tensi."
"Eh, eh, ada apa ini? Kok kedengarannya ada sesuatu antara Lidya dan Calvin?" Queenie langsung kepo. "Emang apa yang terjadi, Lis? Kok lo bisa ngomong gitu sama Lidya?"
"Itu si Calvin lagi pedekate sama Lidya. Udah dibawa pulang ketemu orangtua, lagi," jawab Lisa dengan nada sesantai mungkin, sementara aku memelototinya dengan mata bulat.
"Waktu itu si Lidya lagi kecelakaan, dan gue bawa dia ke rumah buat obatin dia untuk sementara. Gitu aja kok," jelasku sebelum yang lain mulai kepo juga. Aku berusaha untuk tidak melirik Lidya yang wajahnya mulai memerah. Oh God, semoga wajahku tidak memerah juga. "Nggak usah dengerin si anak setan yang satu ini. Ceritanya nggak ada yang bener."
"Alah, kan bisa aja plan A dan plan B dijalankan sekaligus," debat Lisa. "Emang lo berani bilang kalo lo nggak tertarik sama yang satu ini?" ucapnya sambil menunjuk Lidya.
Sial, ditodong seperti itu, aku harus menjawab apa?
Meskipun aku tidak bisa menjawab dalam kata-kata, sepertinya yang lain sudah menangkap maksudku dari reaksi wajahku dan reaksi Lidya. Tahu-tahu saja mereka mulai heboh, membuat wajah kami berdua semakin kemerahan.
"Seumur-umur baru pertama kali gue lihat wajah lo kayak tomat begini, Vin," ucap King yang dari tadi no comment. "Mungkin ini yang dinamakan the power of cinta."
Apa? Cinta? No way. Itu istilah yang kejauhan, kali.
"Kalian jangan salah paham," ucap Lidya sambil tetap berusaha tenang. "Aku sama Calvin nggak ada apa-apanya, kok."
Queenie tertawa. "Kalo nggak ada apa-apanya, nggak mungkin dia orang pertama yang kamu telpon dia saat kamu kecelakaan, Lidya."
Yang dikatakan Queenie memang benar. Aku juga sempat memikirkan hal itu. Aku tidak tahu pasti kenapa Lidya meneleponku dan bukan yang lainnya, tapi aku senang dia melakukannya. Dan di dalam hati, aku juga berharap ini artinya dia menganggapku lebih dari yang lain.
"Ah, kalian pada berisik. Daripada gosip, bukannya kalian harus fokus nyari kostum kalian? Kita udah muter-muter tiga jam nih, masa pada belum nemu juga?" protesku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Usaha yang sukses, karena Lisa langsung menyahut. "Ide siapa yang nyuruh kita semua cari kostum di mall begini?"
Kami semua menoleh pada Kei yang tampak ciut. "Sorry, deh. Emang aku yang nyuruh kalian ke sini." dia mengaku dengan lemah. "Maklum-maklum dong, soalnya gue kan jarang ada di Indonesia, jadi nggak tahu tempat yang cocok buat shopping beginian. Lagian, nggak buruk juga kita jalan-jalan begini, kan? Kita kan nggak pernah hangout bareng."
Aku menoleh pada Kei. Sebenarnya Kei ada benarnya. Meskipun sudah berteman lama, kami semua tidak pernah keluar bareng, kecuali untuk menonton film yang kebetulan kami minati. Itupun setelah menonton kami semua langsung bubar. Selain itu, bisa dibilang kami tidak pernah hangout bareng-bareng selain nongkrong di cafe Brandon.
"Emang kalian pada mau jadi apa di acara itu?" tanyaku penasaran.
"Gue mau jadi Yayan Ruhian pas di film The Raid. Yang gue perlu cuma wig, sebenernya. Tapi itu yang susah dicari." Tidak disangka, King yang menjawabku lebih dulu. Dan omong-omong, jawabannya sama sekali tidak mengejutkan lantaran kami semua tahu betapa ngefansnya dia dengan aktor bela diri.
"Kalau gue, mau jadi The Hulk. Meskipun bakal repot pas bersihin badan gue dari cat warna hijau nanti, nggak apa-apa. Asalkan gue keren. Asal kalian tahu, gue udah sengaja lepasin liburan gue ke Mexico cuma buat acara malam itu. Nggak sudi gue kalau gue nggak menang penghargaan kostum terbaik," ucap Kei.
Kami semua menoleh kepadanya. "Mexico? Jauh bener coy. Emang di situ lagi musim apa?" tanya Queenie penasaran.
"Nggak tahu juga ya," Kei menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi gosipnya di sana bakal banyak acara untuk celebrate Halloween juga, tapi dalam skala yang jauh lebih heboh. Pasti seru banget."
Aku hanya bisa menggeleng-geleng mendengarnya. Kalau aku jadi dirinya sih jelas aku akan memilih liburan ke belahan dunia yang lain daripada menghadiri acara Halloween Night tidak jelas yang diselenggarakan di kampus.
"Orang kaya memang berbeda," komentar Queen. "By the way, kalau aku, aku mau jadi Alice Cullen yang serial Twilight itu. Sama kayak abang gue ini, gue cuma butuh wig, plus kontak lens warna merah."
"Gue sendiri mau jadi penyihir," kali ini Lisa yang menjawab. "Jadi Scarlet Witch, tepatnya."
"Eh, Scarlet Witch itu bukannya superhero ya?" tanya Kei.
"Memang superhero, tapi sumber kekuatannya ya sihir juga. Lagian seru juga jadi cewek super kuat yang balasin dendam keluarganya ke superhero lain yang udah hancurin keluarganya."
Aku terdiam sebentar. "Kalo emang lo pengen jadi Scarlet Witch, berarti kostum lo yang paling heboh. Dimana kita mesti cari kostum serba merah, belum lagi ditambah dengan mahkotanya?"
"Eh, belum tentu punya gue yang paling heboh. Elo sendiri sama Lidya kan belum bilang mau jadi apa," debat Lisa.
Oh iya, benar juga.
"Berhubung gue tahu lo belum tahu mau jadi apa, gue udah siapin idenya buat lo," Lisa menepuk bahuku dengan sok pengertian. "Lo jadi ilmuwan gila ala-ala Bruce Banner aja. Kostumnya simpel banget, cuma butuh jas dokter doang. Paling lo cuma perlu pelihara jenggot biar jadi ilmuwan gila nan gembel sekalian."
Sialan. Aku dibilang gembel. Tapi kalau dipikir-pikir, idenya boleh juga. Simpel dan praktis.
"Wah, bagus itu. Kita bisa berpasangan, Vin," Kei langsung merangkulku tanpa aba-aba. Ya, kalau kalian peminat film Marvel, kalian bakal tahu bahwa Bruce Banner dan Hulk adalah orang yang sama. "Lo kebagian jadi Bruce Banner, gue kebagian jadi Hulk."
"Iya, bro, tapi nggak usah gandeng-gandeng gitu. Orang yang liat bisa salah paham," ucapku padanya.
Kei hanya cengengesan. "Sorry, sorry. Jadi sisa Lidya nih. Kamu mau jadi apa, Lid?"
Sial, kenapa Kei bicara kepada Lidya dengan nada yang lembut seperti itu?
"Ehm," Lidya tampak sedang berpikir. Jelas dia tidak tahu harus berperan sebagai apa. "Aku masih belum tahu."
"Aku tahu," Queenie yang menjawab. "Lidya bisa jadi Black Widow aja."
Hah? Black Widow?
Sepertinya bukan cuma aku yang melongo mendengar ide itu. Lidya sendiri juga terkejut. "Hah? Nggak deh, Queen," katanya, kemudian berbisik pada temannya, namun cukup keras untuk didengar kami semua. "Aku nggak nyaman pakai kostum seketat itu."
Tuh kan, sudah kuduga itu yang akan Lidya katakan.
"Mungkin aku bakal jadi detektif kepolisian aja deh, kayak yang ada di drama Korea yang kalian suka nonton itu," usul Lidya kemudian. "Aku lupa nama dramanya."
"Mrs. Cop?" Lisa menebak.
"Iya, yang itu."
"Kalau gitu, kostummu agak susah-susah gampang," kata Lisa. "Kita perlu nyari blazer atau sejenis rompi anti peluru yang warnanya agak-agak gelap."
"Dan semua itu nggak bakal didapatkan di sini," kataku. "Di sini jualnya pakaian branded semua, cuy. Nggak bakal ketemu benda-benda yang kita mau meskipun kita cari sampai pagi."
Setelah itu, kami semua pergi ke sebuah pasar second-hand yang ada di dekat rumahku. Kami semua berhasil mendapatkan apa yang kami mau, meskipun diiringi protes kiri-kanan yang mengatakan bahwa barang-barang yang kami beli kurang bersih. Namun, setelah aku bilang aku akan membawa semua yang mereka beli ke laundry sampai semuanya bersih, barulah mereka terdiam.
Kami semua sudah selesai, tersisa Kei yang sampai sekarang masih belum menemukan cat minyak berwarna hijau yang dapat dia gunakan di acara nanti.
"Pakai cat tembok aja," usul Lisa asal.
"Ah, jangan dong. Nanti kulit gue rusak," protes Kei.
"Kan tinggal perawatan," timpal Queenie.
Kei terdiam sebentar. "Iya juga ya. Apa aku bener-bener harus beli cat tembok?"
Dasar Kei idiot. Apa dia benar-benar memikirkan untuk menggunakan cat tembok untuk mengecat tubuhnya? "Eh, sebelum lo kepikiran ide gila, mending lo cari solusi lain deh. Pake kostum Hulk yang supergede, misalnya. Kalau lo pake cat tembok, bukan cuma kulit lo bukan cuma rusak, bisa-bisa lo kena kanker kulit. Mau kemoterapi seumur hidup?" terorku, membuat Kei langsung ciut.
"Nggak, nggak. Aku cari kostum dulu deh," katanya.
"Nggak usah nyari lagi," kata King santai. "Udah ada di depan mata," katanya sambil menunjuk ke sebuah toko mini di seberang kami.
Akhirnya, dengan begitu, acara jalan-jalan kami hari itu selesai juga. Seperti biasa, aku mengantari Lidya pulang. Saat aku mengira aku sudah bisa mengantarnya tepat di depan kosnya, Lidya menepuk bahuku saat kami berada di persimpangan yang biasanya.
"Sori," ucap Lidya segan. Aku menghentikan motorku di tepi. "Kayaknya masih harus berhenti di sini deh."
Aku mengangguk. Aku tidak ingin membuat Lidya dicecar oleh puluhan pertanyaan oleh bapak atau ibu kosnya mengenai cowok yang terus-terusan mengantarnya pulang, meskipun aku sebelumnya sudah pernah menemui salah satu dari mereka. Lagipula, luka-luka pada tubuh Lidya sudah sembuh dan dia sudah dapat berjalan dengan normal. Syukurlah. Padahal aku sudah bersiap-siap untuk membawanya ke rumah sakit.
"Aku jadi kepikiran. Gimana kalo seandainya ada salah satu penghuni kosmu yang udah punya cowok?" tanyaku tiba-tiba.
Lidya terdiam untuk beberapa saat. "Setahuku sih belum ada yang punya cowok. Kalaupun ada, ya kurasa kayak kita gini, mesti drop di sini juga."
"Hmm, agak repot juga ya kalau seandainya kita pacaran nanti," celetukku.
Segera setelah aku mengatakan itu, aku bisa merasa seluruh tubuhku membeku. Sial, kenapa aku mengatakan hal yang tidak jelas begini? Aku memperhatikan Lidya yang sedang menatapku dengan pandangan kaget, seolah tidak menyangka aku akan mengatakan itu. Tentu saja, aku saja tidak menyangka akan mengatakan hal seperti ini.
"Sorry," aku buru-buru minta maaf setelah beberapa detik kecanggungan yang terasa kental. "Salah ngomong. Abaikan aja ya?"
Lidya hanya tertawa kecil melihat tingkahku. "Nggak apa-apa."
Kami berdua terdiam lagi.
"Soal tadi…"
"Aku…"
Kami berdua membuka mulut pada waktu yang bersamaan, kemudian tertawa lagi.
"Kamu dulu deh," kataku.
Lidya mengangguk. "Ehm, aku cuma mau tanya, orangtuamu ada ngomongin apa-apa nggak soal aku?"
Aku mengerutkan dahi. "Nggak," jawabku. "Emangnya kenapa?"
Lidya tersenyum kecil. "Yah, bagaimanapun juga, aku tiba-tiba dateng ke rumah kamu dengan kondisi terluka. Bukan tipikal cara menemui orangtua teman untuk pertama kali, kan?"
Oh. "Soal itu, mereka nggak bilang apa-apa sih. Tapi mereka seneng."
"Seneng kenapa?"
"Karena itu pertama kalinya aku bawa pulang temen cewek selain Lisa," aku nyengir. "Mereka udah ngarepin itu dari kapan-kapan."
Lisa tertawa kecil mendengar kata-kataku. "Terus Lisa gimana? Kan dia sering ke rumah kamu."
"Bener juga sih, tapi kayaknya mereka udah putus asa buat jadiin Lisa sebagai calon menantu mereka," kataku jujur.
Lisa terdiam sebentar, lalu bertanya, "Aku boleh jujur?"
Aku mengangkat alis mendengar nadanya yang terdengar serius. "Boleh."
"Kalau menurutku, Lisa sepertinya suka sama kamu."
Hah?
"Kok kamu bisa bilang gitu?" tanyaku penasaran, separuh menahan tawa saking tidak percayanya.
"Firasat cewek," Lidya mengangkat bahu. "It's usually true."
Aku menggeleng. "Nggak mungkin. Lisa itu udah temenan aku sejak jaman purba. Kalau emang dia suka sama aku, seharusnya aku udah tahu dari dulu. Lagian, kamu liat sendiri kan sikapnya yang separuh cewek separuh cowok kalo sama aku? Mana mungkin itu sikap buat orang yang dia suka?"
"Justru karena sikap dia yang berbeda sama kamu, itu nunjukin bahwa dia punya perasaan sama kamu," kata Lidya sambil menyunggingkan senyumnya. "Tapi itu cuma pendapatku sih. Bisa jadi aku yang salah."
Aku mengangguk-angguk kecil. Ya, rasanya tidak mungkin kalau Lisa menyukaiku. Kami berdua sudah sahabatan sejak lama dan aku khawatir dengan adanya perasaan seperti itu hanya akan merusak hubungan kami.
"Kamu sepertinya terbebani dengan kata-kataku barusan," komentar Lidya melihat reaksiku.
"Ya," aku mengangguk. "Kami udah berteman begitu lama, dan kalau emang dia suka sama aku, pasti hubungan kami bakal kena efeknya."
"Karena kamu nggak punya perasaan yang sama ke dia?" Lidya menebak.
"Lebih tepatnya, karena cewek yang aku sukai bukan dia," jawabku langsung.
Kata-kataku itu mengundang pertanyaan tidak terucap atas siapa orang yang kusukai, tapi kurasa kami berdua sama-sama tahu. Wajah Lidya memerah mendengarnya, dan untk mengalihkan topik, dia bertanya, "Oh ya, tadi kamu mau bilang apa?"
"Hmm, soal tadi yang anak-anak omongin," ucapku, "jangan masukin ke hati ya."
"Omongan yang mana?"
"Yang mereka bilang kita pacaran itu," jawabku.
Lisa tersenyum sedikit. "It's okay. Aku tahu mereka cuma bercanda."
Aku mengangguk setuju. Ya, anak-anak itu memang bercanda, tetapi mereka tidak sepenuhnya salah. Aku memang agak-agak naksir Lidya, meskipun aku sebenarnya sedang tidak berniat pacaran dan aku juga tidak tahu apakah cewek itu merasakan hal yang sama.
"Ya sudah, aku udah harus pulang nih. Thank you udah jadi ojek pribadi aku." Lidya melambai dengan sebelah tangannya, sambil tangannya yang satu lagi menenteng benda-benda yang dia beli tadi.
Aku tertawa sedikit. "Jadi selama ini kamu cuma anggap aku ojek pribadi kamu?"
Lidya tertawa. "Kamu…" dia menyentuh bahuku. "Teman yang baik."
Teman. Hmm. Aku tidak tahu harus merasa apa mendengar yang satu ini.